GURU JUGA MANUSIA
Menurut bapak pendidikan kita, Ki Hajar
Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti, pikiran, dan tubuh anak dalam rangka kesempurnaan hidup dan
keselarasan dengan dunianya. Beliau juga mengatakan, setiap orang adalah guru.
Setiap rumah adalah sekolah.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut
diterjemahkan dalam kerangka pengembangan kurikulum 2013 yang berbasis
kompetensi. Semua kompetensi yang dikembangkan berpedoman pada 8 Standar
Nasional Pendidikan. Sehingga, untuk mencapai kompetensi yang diharapkan, dalam
pengimplementasiannya mengutamakan kemampuan kecakapan abad 21 dan pembentukan
karakter.
Penerapan dalam pembelajaran kurikulum 2013
di SD menggunakan model tematik terpadu. Di dalam buku Model Silabus Tematik SD
yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dijelaskan bahwa,
menurut Piaget, anak-anak di usia 7-12 tahun masuk pada tahap operasional
konkret dimana anak belum bisa memahami problem abstrak, segala sesuatu akan
bermakna bila dikaitkan dengan objek konkret (nyata) yang mereka temui
sehari-hari. Untuk itu pembelajaran yang cocok di SD menggunakan pendekatan
tematik. Pembelajaran tematik merupakan pendekatan pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran dalam
berbagai tema.
Tetapi, bagi guru yang belum terbiasa
menggunakan sistem pembelajaran tematik tentu membutuhkan waktu yang cukup
untuk memahami dan menerapkannya. Diperlukan pembiasaan, kesempatan melakukan
kesalahan, dan waktu yang sesuai untuk merancang perangkat pembelajarannya,
pelaksanaannya, maupun cara mengevaluasinya. Guru juga membutuhkan refleksi
untuk melihat ketercapaiannya.
Dengan demikian, agar pengimplementasian
kurikulum tersebut berjalan sesuai harapan, maka pemerintah memberikan dukungan
sepenuhnya. Bentuk dukungan pemerintah dengan memberikan pendidikan dan
pelatihan. Para guru juga dibekali contoh perangkat pembelajaran lengkap
termasuk panduan cara membuatnya. Tujuannya agar guru menjadi lebih mudah dalam
menerapkannya. Dan yang paling melegakan, pemerintah membuka ruang kreatif bagi
guru dalam menerapkannya sesuai kebutuhannya.
Lalu, apakah dukungan seperti itu sudah
cukup? Belum!
Semua dukungan yang diberikan tersebut
belum mampu menjamin guru merasa mudah dalam menerapkannya dan mau
melaksanakannya. Bukti keberhasilan dari suatu upaya peningkatan kompetensi
guru adalah jika para guru sudah merasa berdaya. Apakah guru-guru kita sudah
berdaya?
Apa sebenarnya dukungan yang dibutuhkan
guru?
Jawabannya adalah “Kepercayaan”
Saya mengapresiasi upaya pemerintah
menerbitkan buku guru dan buku siswa dalam mengimplementasikan kurikulum 2013.
Tujuan mereka sangat baik, yaitu untuk membantu guru agar tidak merasa
kesulitan dalam menerapkannya. Apalagi bagi guru yang belum pernah menggunakan
model pembelajaran tematik, tentu buku-buku tersebut sangat membantu.
Tetapi, akan menjadi masalah besar ketika
regulasinya tidak tepat sasaran. Guru menjadi semakin kebingungan.
Mengapa?
Karena sebagian besar guru menganggap bahwa
buku guru dan buku siswa adalah tempat rujukannya. Mereka sama sekali tidak
mempedulikan KD-nya. Mungkin membaca KD-nya, tapi bukan sebagai acuan. Mereka
membacanya hanya untuk mencocokkan dengan buku rujukannya. Para guru merasa
melakukan kesalahan fatal apabila yang diterapkannya melenceng dari buku yang
dianggap sebagai acuannya.
Ketika ada guru yang mengajar dengan model
tematik yang mengaitkan pelajaran matematika dengan pelajaran lainnya juga
dianggap salah. Alasannya karena di buku guru ada keterangan kalau RPP
matematikanya harus dibuat parsial.
Para guru juga merasa keberatan dan
mengeluh ketika harus membuat jadwal yang selalu berganti tiap bulan sesuai
tema yang ada di buku. Bahkan ada yang mengganti jadwalnya tiap minggu. Mengapa
demikian? Karena dalam membuat jadwal pelajaran, guru tidak berpedoman pada
struktur kurikulumnya. Mereka berpedoman pada contoh yang diberikan.
Ada lagi, guru merasa sangat khawatir
ketika perangkat pembelajarannya tidak lengkap. Semua harus ada, mulai dari
prota, promes, silabus, RPP, dan lain-lainnya. Guru dianggap melakukan
kesalahaan jika tidak membuat silabus, padahal sudah membuat RPP-nya.
Dalam suatu kegiatan sosialisasi kurikulum
baru di suatu wilayah, seseorang yang berwenang, memberikan file yang berisi
perangkat pembelajaran yang sangat lengkap. Beliau menyampaikan bahwa perangkat
pembelajaran tersebut juga digunakan oleh para guru di SD percontohan di luar
kabupaten. “Padahal harganya lumayan mahal lho, tapi mereka mau membelinya. Tapi
Anda jangan khawatir, untuk para guru di sini saya memberikannya secara gratis,
karena kita bersaudara, sedaerah”, kata beliau dengan suara lantang. Saking senangnya, para guru
memberikan applause karena menganggap beliau adalah pahlawan bagi mereka.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat
saran dari seseorang yang juga memiliki kewenangan dalam mensosialisasikan
kurikulum baru tersebut. Beliau mengatakan seperti ini, “Memang bagus
jika guru mau membuat sendiri, tapi bebannya sangat berat. Saya yakin guru akan
kesulitan memenuhinya. Jadi lebih baik menyontoh yang sudah ada saja. Bukankah
perangkat tersebut sesuai untuk pembelajaran di sini?”
Saya sangat memahami niat baik
beliau-beliau. Mereka melakukannya karena tulus ingin membantu para guru. Tapi
entah kenapa, ucapan-ucapan itu membuat saya patah hati.
Karena penasaran, saya bertanya pada
beliau, “Jika disuruh memilih antara guru yang perangkat pembelajarannya
lengkap tapi hasil dari copy paste, dengan guru yang perangkat pembelajarannya
membuat sendiri tapi tidak lengkap, Anda memilih guru yang mana?”
Beliau menjawab, “Tentu memilih yang lengkap, kita
kan dituntut untuk melengkapinya. Wong sesuai koq dengan pembelajaran di sini.
Kenapa kita harus mempersulit diri sendiri? Kita ini kan hanya bawahan, jadi ya
mau tidak mau harus mengikuti aturan yang di atasnya. Dan saya pun patah hati
untuk kedua kalinya. Hikz....
Jika kita mau memahami isi hati guru,
sebenarnya yang diinginkan para guru bukan dukungan seperti itu. Mereka
mengharapkan supaya Anda mengatakan bahwa guru mampu mengatasi permasalahan
pembelajaran yang dihadapinya sehari-hari dengan efektif. Percaya bahwa guru
juga mau belajar. Percaya bahwa guru juga menginginkan prestasi siswanya
meningkat. Mereka juga selalu mendoakan agar kelak para siswanya menjadi
manusia yang bermanfaat.
Anda pernah mendengar, bahwa sebenarnya
banyak guru yang mau meningkatkan kualitas pembelajarannya meskipun tidak ada
yang memberikan uang saku? Meskipun tempat diklatnya tidak di hotel? Meskipun
tidak ada sertifikatnya? Bahkan mereka rela menggunakan biaya sendiri? Itulah
bukti bahwa sebenarnya guru juga mau belajar dan meningkatkan kompetensinya.
Saya yakin, jika diberi kepercayaan mereka akan termotivasi.
Bagaimana cara memberikan kepercayaan pada
guru?
- Jangan menganggap para guru seperti bayi yang harus disuapi karena tidak bisa makan sendiri. Perangkat pembelajaran dibuatkan, buku dibuatkan, bahkan LKS-pun dibelikan. Akibatnya para guru tidak pernah memiliki inisiatif sendiri. Guru tidak pernah memiliki kesempatan berpikir kreatif. Sehingga kompetensinya tidak berkembang. Karena itulah Anda sering mendengar banyak guru yang mengatakan begini, “Bagaimana mungkin kita bisa mengajarnya, kalau bukunya tidak ada?”Bahkan saking fanatiknya dengan buku, ada guru yang menganggap bahwa jawaban siswanya salah jika tidak sama persis dengan yang tertera di buku.
- Jangan menakut-nakuti guru dengan mengatakan bahwa setiap guru harus memiliki perangkat pembelajaran lengkap. Ucapan itu mengakibatkan sebagian besar guru menghalalkan segala cara untuk memenuhinya. Jika anda jeli menangkap signal, sebenarnya sumber permasalahan dari budaya copy paste yang sekarang tumbuh subur dan semakin merajalela itu berawal dari hal tersebut.
- Berikan kesempatan pada guru melakukan kesalahan dan memperbaiki kesalahannya. Mereka juga membutuhkan waktu untuk merefleksikannya . Ajaklah untuk memulainya dari yang paling mudah untuk diterapkan. Lama kelaman mereka akan tertarik dan berupaya melakukannya dengan baik. Sehingga mereka menjadi semakin giat belajar dan berlatih sendiri meskipun tidak ada yang mensupervisinya.
- Berikan kebebasan pada guru untuk berekspresi, bereksplorasi, dan berinovasi. Jangan memberikan batasan, karena mereka akan takut melangkah. Jangan mengatakan, “Sudahlah, nggak perlu berpikir yang rumit, yang penting perangkatnya lengkap”. Anda tahu, ucapan itu sama sekali tidak membantu guru, tapi justru menyesatkan guru. Ucapan tersebut membunuh kreatifitas guru.
Kita perlu menyadari, bahwa selama puluhan
tahun para guru terbelenggu oleh sistem birokrasi yang menjadikan mereka sulit
berpikir dan bergerak. Bahkan sampai sesak nafas. Seringkali setiap ada
kebijakan baru, para guru hanya bisa mengeluh di antara mereka, tanpa mampu
berbuat apa-apa. Mereka lebih sering menyerah karena merasa tidak memiliki kuasa
untuk menolaknya. Karena itulah, mereka membutuhkan waktu lama untuk memulihkan
kesadarannya kembali. Mereka membutuhkan dukungan dan kepercayaan agar mampu
menapak di bumi dengan kokoh.
Mengapa saya harus mengatakan semua ini?
Karena saya seorang guru.
Jadi, bantulah kami....
Nina Wina
Komunitas Guru Belajar Jember
Sumber:
http://bit.ly/GuruJugaManusiaFB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar