Indahnya Cinta karena Allah
Sesungguhnya dalam Islam, cinta
dan keimanan adalah ibarat dua sisi mata uang. Antara yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan. Cinta tidak dapat digambarkan tanpa iman. Dan iman pun
tidak dapat dibayangkan tanpa cinta. Dengan cinta dan keimanan inilah hati
setiap mukmin yang satu dengan lainnya terikat kuat. Bila mukmin yang satu
sakit, maka mukmin yang lain pun merasakan hal yang sama. Karenanya, tak
berlebihan bila seorang ulama Mesir yang telah syahid, Al Ustadz Imam Hasan
Al-Banna mengatakan bahwa dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan
setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Bagaimana tidak, jikalau dengan iman
dan cinta, persatuan ummat akan terbentuk dan permasalah pun akan terpecahkan.
"Dan orang-orang yang
beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan
Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Alloh Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(Qs. At Taubah : 71).
Hal itu juga tidak lain karena
orang mukmin itu laksana sebuah bangunan. Bagian yang satu akan mengokohkan bagian
yang lain. Sebaliknya, jika bagian yang satu hancur, maka yang lain pun akan
merasakan kehancurannya. Karena itu, hadits Rasulullah saw juga menegaskan: "Gambaran
orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling
berempat di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh, jika ada sebagian
dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut merintih,
merasakan demam, dan tak bisa tidur."
Sejarah Islam telah
menggoreskan pena emasnya, betapa para generasi pendahulu kita mempunyai
kehidupan yang sangat mulia dan jarang kita temui dalam kehidupan kita saat
ini. Mereka selalu saling tolong
menolong, sepenanggungan dalam suka dan duka, mempunyai rasa empati yang
tinggi, dan selalu mengutamakan kepentingan saudara seimannya daripada
kepentingannya sendiri (itsar).
Abu Bakar as Shiddiq, misalnya,
beliau rela menginfaqkan seluruh hartanya demi kejayaan Islam. Ketika
Rasulullah saw menanyakan pada beliau, "Harta apakah yang kamu tinggalkan
untuk anak-anakmu?" Beliau menjawab, "Saya tinggalkan Allah dan
Rasul-Nya untuk mereka." Karena kedermawanan dan keikhlasan Abu Bakar
inilah, maka Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada harta seorang pun yang
memberikan manfaat kepadaku melebihi harta Abu bakar."
Kaum Anshor pun tak kalah
tingginya memiliki sifat itsar. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa
suatu hari kaum Anshor datang menemui Rasulullah saw mengutarakan pendapatnya,
"Wahai Rosulullah bagilah menjadi dua tanah yang kami miliki untuk kami
dan saudara kami muhajirin". Rasulullah menjawab, "Jangan lakukan
itu, tapi cukupilah kebutuhan mereka dan bagilah hasil panen kepada mereka.
Sesungguhnya tanah ini adalah milik kalian". Maka kaum Ansor berkata,
"kami ridho atas keputusan engkau wahai Rasulullah."
Dalam kisah lain juga
disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw menawarkan kepada para sahabat,
siapakah di antara mereka yang bersedia menjamu tamu Rasulullah saw, maka salah
seorang dari kaum Anshor berdiri dan menyatakan kesediaannya. Padahal, ketika ia pergi enemui keluarganya,
teryata istrinya mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai makanan, kecuali untuk
anak-anaknya. Maka, orang Anshor ini mengatakan kepada istrinya, "Kalau
begitu, bila anak-anak hendak makan malam, tidurkanlah mereka. Dan kemarilah
kamu, matikan lampu, tidak apa-apa kita tidak makan pada malam ini."
Pagi-pagi sekali, ketika orang
Anshor ini datang kepada Rasululloh saw, bersabdalah beliau, "Allah kagum
atas perbuatan si fulan dan fulanah." Maka Alloh swt berfirman: "Dan
orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung." (Qs.Al Hasyr :9).
Akhlaq mulia kaum Anshor dalam
mengutamakan kepentingan kaum muhajirin tidak hanya sampai di situ. Dalam
hadits disebutkan bahwa kaum Anshor berkata kepada kaum Muhajirin agar mereka
memilih salah satu dari dua istrinya yang mereka senangi. Kemudian kaum Anshor
akan menceraikan istri tersebut lalu menikahkannya dengan istri yang telah
diceraikannya itu.
Sifat itsar juga
melahirkan refleks-refleks yang tidak dibuat-buat, tapi murni dari hati yang
salim (bersih). dalam satu peperangan dikisahkan, seorang mukmin terkena
pukulan pedang musuh di tengkuknya. Ia
tidak berteriak atau mengaduh karena sakit, tapi ia langsung jatuh tersungkur
dan pada akhirnya syahidnya menjemputkan . Tetapi yang menakjubkan ketika
mukmin itu terpukul pedang tersebut, justru mukmin lain yang melihatnya lah
yang mengaduh kesakitan dan merasakan perihnya ketajaman pedang menembus
tubuhnya, seakan-akan pukulan itu mengenai dirinya. Dan ucapan yang terlontar
dari mulut mukmin yang mengaduh tersebut adalah, "Saudaraku, engkau
mendahuluiku menuju surga!" Ucapan itu merupakan refleksi kebahagiaan dari
seorang mukmin melihat indahnya ‘masa depan’ yang akan dialami oleh mukmin
lainnya.
Kisah lain yang tak kalah
mengesankan indahnya ukhuwah adalah suatu ketika sepasukan dari kaum muslimin
keluar untuk berperang. Posisi antara pasukan kaum muslimin dengan musuh
terbatasi oleh sebuah sungai. Kedua pasukan tersebut saling berhadapan.
Komandan pasukan muslim berkata, "Bagaimana pendapat kalian menghadapi
musuh-musuh kalian, sementara mereka bisa memperoleh perbekalan dan air tanpa
harus susah payah? Bagaimana pendapat kalian?" Salah seorang dari mereka
kemudian menjawab, "Kita seberangi saja sungai ini, lalu kita perangi
mereka di tempat mereka berada." Mereka pun akhirnya menceburkan diri bersama
kuda-kuda mereka melintasi sungai agar dapat bertempur dengan musuh. Di depan
mereka terlihat pasukan musuh sudah siap siaga untuk menghunuskan pedang
mereka. Tiba-tiba, salah seorang di antara pasukan kaum muslimin ada yang
berteriak, "Qab (Kantung air bejana yang terbuat dari kayu) –ku………
Qab-ku…jatuh ke air". Sang komandan pun berkata, "Carilah dulu Qab
milik saudara kalian yang hilang". Mereka pun sibuk mencarinya. Sementara,
pasukan musuh sedang menanti mereka dan kematian pun mengitari kepala mereka.
Ketika komandan pasukan musuh itu melihat perilaku pasukan muslim, ia berkata,
"Apa-apaan mereka itu?" Bawahannya menjawab, "Salah seorang dari
mereka kehilangan Qab-nya, dan mereka pun sibuk mencarinya."
Komandan ini pun berkata,
"Jika karena masalah Qab saja mereka sudah seperti itu, lalu bagaimana
jika kalian membunuh salah seorang saja dari mereka? Pasukan.......! Berdamai
sajalah dengan mareka sesuai dengan apa yang mereka inginkan!"
Subhanallah, demikianlah
sejarah kaum salaf telah memperlihatkan kepada kita bahwa kumpulan manusia itu
seluruhnya adalah laksana satu tubuh, melakukan aktivitas yang satu, serta
merasakan perasaan yang sama, walau pun dalam kondisi yang teramat sulit. Dan Betapa 'pancaran ukhuwah' saja telah
mampu mengalahkan musuh dan memenangkan kaum mukminin, sekaligus menaklukkan
kota itu.
Itulah buah dari persaudaraan dan
kesatuan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kemesraan ukhuwah seperti itu
tidaklah terbentuk begitu saja, sikap takaful (saling membantu) yang
mereka lakukan terbentuk karena ada proses lain yang sebelumnya mereka jalin.
Kemesraan ukhuwah tersebut mereka mulai melalui proses ta’aruf atau
saling mengenal. Dari mulai fisik, karakter, kadar keseriusan taqarruf
(kedekatan) pada Allah, kesenangannya, latar belakang keluarga, dan sebagainya.
Ta’aruf yang baik akan
meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama muslim. Ia juga dapat
membuat hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan. Bila
wilayah ta’aruf telah terbentang, maka akan tumbuh sifat tafahum (saling
memahami). Sikap tafahum akan menjaga kesegaran dalam berukhuwah. Karena,
ketika keterpautan hati telah terjalin maka timbul sikap saling toleransi, dan
saling kompromi pada hal-hal yang mubah (boleh) sehingga akan membuat hubungan
satu sama lain menjadi lebih harmonis. Puncak tafahum adalah ketika seorang
mukmin dengan mukmin lainnya dapat berbicara dan berpikir dengan pola yang
sama.
Setelah dua proses itu berjalan
barulah terbentuk sikap takaful yang darinya lahir sifat itsar, puncak
amal ukhuwah Islamiyah.
Sungguh, kemesraan
'pancaran ukhuwah' yang telah dicontohkan oleh generasi dahulu adalah ukhuwah
Islamiyah yang tak lapuk oleh waktu dan musim. Ia akan panjang usia dan kekal hingga hari
akhirat kelak. Oleh karenanya, patutlah kita bercermin pada generasi awal Islam
dan para salafussalih dalam berukhuwah. Dengan demikian, 'pancaran ukhuwah'
yang demikian tingginya dimiliki oleh mereka, tidaklah sekedar menjadi kisah
yang sering kita dengar dan kita baca, tetapi juga menjadi bagian dari hidup
kita, Insya Allah.
"Di sekitar Arsy ada
menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari
cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’,
tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya oleh para
sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung
karena Allah". (HR.
Tirmidzi). Wallahu’alam bishshowaab.
Sumber :
- Hadits Tsulatsa, Ceramah-ceramah Hasan Al-Banna, Intermedia, Februari 2000
- Majalah Tarbawi, Edisi 2 Th I, 20 Juli 1999 M / 7 Robi’ul Akhir 1420 H
- Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Gema Insani, Jakarta 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar