BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perlu secara khusus meninjau
hubungan NU dengan Masyumi karena di dalam organisasi
ini untuk pertama kali golongan Islam bersatu dalam satu wadah politik di dalam
degara yang sudah merdeka. Kalau Partai
Persatuan Pembangunan merupakan gabungan partai politik Islam karena
anjuran pemerintah melalui undang-undang
kepartaian, maka Masyumi adalah gabungan semua golongan Islam yang
didorong oleh semangat persatuan agar umat Islam mempunyai kekuatan yang utuh
dan padu untuk memperjuangkan aspirasi Islam.
Pengertian Pembaharuan Islam adalah
upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang
ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian
pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks
Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun
hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu
tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan,
situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang
mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin
sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Dalam makalah ini kita hanya akan
membahas tentang Nahdatul Ulama, Masyumi dan pembaharuan kontemporer yang akan
dipaparkan secara singkat.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Nahdatul Ulama ?
2. Bagaimana Msyumi ?
3. Bagaimana Pembaharuan Kontemporer ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nahdatul Ulama (NU)
1.
Sejarah Berdirinya
Nahdlatul ‘Ulama dilahirkan pada
1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan jawa timur.
Pembentukaanya sering kali dijelaskan sebagai reaksi terhadap berbagai
aktivitas kaum reformis, Muhammadiyah, kelompok modernis moderat yang aktif
dlam gerakan politik. Rapat pendirian NU berlangsung di Surabaya dan kebanyakan
anggota pendirinya menetap dan bekerja di kota tersebut, namun opriendati
dasarnya bersifat perkotaan.[1]
Nahdhatul Ulama pada waktu berdirinya
ditulis dengan ejaan lama Nahdlatoel Oelama (NO), didirikan di Surabaya, Jawa
Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H.
Tokoh pendirinya ialah KH. Hasyim Asy’Ari dengan didukung oleh para tokoh alim
ulama yang di antaranya yaitu:
a.
KH. Abdul Wahab Hasbullah
b. KH. Bisri
Jombang
c.
KH. Ridwan Semarang
d. KH. Nawawi
Pasuruan
e.
KH. R. Asnawi Kudus
f.
KH. R. Hambali Kudus
g. K. Nakhrawi
Malang
h. KH. M. Alwi
Abdul Aziz
Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya, NU
mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhabiy
(bermazhab):
a.
Di bidang aqidah, NU mengikuti paham
Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori Abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935
M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M). Dalam konteks ini, NU memahami
hakikat Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ajaran Islam yang murni sebagaimana yang
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW. bersama para sahabatnya.
b.
Di bidang fiqih, NU mengikuti salah
satu mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah an-Nu’man (80-150 H/700-767 M), Malik
bin Anas (93-179 H/713-795 M), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204
H/764-820 M), dan Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).
c. Di bidang
tasawuf NU mengikuti antara lain al-Junaid al-Baghdadi (w.297 H.) dan Abu Hamid
al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).[3]
Pada mulanya NU merupakan organisasi keagamaan, akan tetapi dikarenakan
sebagai organisasi yang lahir dan tumbuh pada masa menghebatnya perjuangan
pergerakan nasional, maka NU tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang
berisi dan berjiwa pergerakan anti penjajahan, atau terlibat dalam bidang
politik di antaranya:
a. Menolak subsidi
yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolah kerja rodi yang dibebankan
kepada bangsa Indonesia.
b. Menolak rencana
ordonasi perkawinan tercatat
c. Menolak
diadakan milisi
d. Mendukung
tuntutan berparlemen
e. Mengadakan
usaha-usaha sosial dalam masyarakat
f. Mendidik mental
beragama di antaranya mendirikan pondok pesantren.
Motivasi utama berdirinya NU adalah
untuk mengorganisasikan potensi dan peranan ulama pesantren yang sudah ada,
untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas, yang bagi NU digunakan sebagai
wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah ulama pesantren di dalam tugas
pengabdian yang tidak terbatas kepada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual
Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama lebih peka terhadap
masalah-masalah sosial, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan pada
umumnya.[4]
2.
Tujuan dan Usaha
Sebelum menjadi partai politik, NU
bertujuan memegang tegug salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Syafi’i,
Maliki, Hanbali, Hanafi) serts mengerjakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan
untuk agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
organisasi NU melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
a.
Mengadakan silaturrahim di antara
ulama-ulama yang bermazhab tersebut di atas.
b. Memeriksa
kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu
termasuk kitab-kitab Ahlussunnah wal Jama’ah atau kitab-kitan ahli bid’ah.
c.
Menyiarkan agama Islam berdasarkan
mazhab tersebut dengan jalan yang baik.
d. Berusaha
memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan agama Islam.
e.
Memperhatikan hal-hal yang berhubungan
dengan mesjid-mesjid, surau-surau, dan pondok-pondok, anak yatim dan fakir
miskin.
f.
Mendirikan badan-badan untuk memajukan
urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat
agama Islam.
Berdasarkan usaha-usaha di atas, tampaknya pada mulanya NU (sebelum menjadi
partai politik) merupakan perkumpulan sosial keagamaan yang mementingkan
pendidikan dan pengajaran Islam.[5] Untuk itu, NU
ikut serta mempertinggi kecerdasan dan budi pekerti masyarakat Indonesia dengan
cara mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting. Pada masa
pemerintah Belanda dan penjajah Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren,
mengadakan dakwah dan pengajian-pengajian dan lain-lainnya.
Tanggal 22 Oktober 1945, tiga bulan setelah Indonesia merayakan
kemerdekaan, NU mengeluarkan resolusi jihad yang berisi ajakan kepada umat
Islam untuk mempertahankan tanah airnya yang merdeka. Dalam resolusi tersebut
menyebutkan bahwa jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia adalah fardhu
‘ain, tiap-tiap muslim wajib jihad di mana saja berada. Resolusi ini
kenyataannya mendapatkan sambutan yang baik dan hangat dari kalangan umat
Islam.[6]
Untuk memperkuat posisi dan perjuangan umat Islam, pada maka kongres umat
Islam di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 di ambil keputusan bahwa Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) dijelmakan menjadi partai politik Islam di
Indonesia. Di Masyumi, NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan NU (KH. Hasyim
Asy’ari) menjadi ketua Masyumi. Masyumi merupakan badan federasi pergerakan
umat Islam dan berusaha dalam rangka perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.[7]
Namun NU pada tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi melalui keputusan
kongresnya pada tanggal 26 april-1 mei 1952 di Palembang. Perbedaan kepentingan
politik antarkelompok dalam Masyumi yang berupa pendistribusian kekuasaan
adalah faktor-faktor yang cukup berpengaruh, di samping ketidakmampuan para
pemimpin Masyumi melakukan negosiasi dan kompromi antaranggota. Jika dilihat
dari latar belakang masing-masing individu yang ada dalam Masyumi, secara umum
dapat dikatakan bahwa politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau mereka
yang merupakan alumni pesantren dan kalaupun ada yang berpendidikan barat
jumlahnya sedikit. Sementara kalangan non-NU memandang rendah lulusan
pesantren. Inilah yang berpengaruh terhadap kurang harmonisnya hubungan antara
anggota Masyumi dari NU dan kelompok lain.[8] Mulai saat itu, NU berpisah
dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dan mengubah Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian, NU setelah menjadi parta
politik di samping Masyumi, PSII dan Perti, maka NU bukan hanya mengurusi
madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian, melainkan juga
memperjuangkan cita-cita politiknya dengan turut serta dalam pemerintahan dan
Dewan Perwakilan Rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Ketika menjadi partai politik, NU dalam Anggaran Dasarnya menyatakan
sebagai berikut:
a. Menegakkan
syariat Islam dengan berhaluan salah satu dari mazhab yang empat (Syafi’i,
Maliki, Hanafi dan Hambali).
b. Melaksanakan
berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
usaha yang dilakukan adalah:
1) Menggiatkan
usaha-usaha kebajikan (sosial).
2) Mempererat
perhubungan di antara umat islam, terutama ulamanya.
3) Menyadarkan
umat Islam dalam tata kenegaraan.
4) Mengadakan
kerja sama dengan organisasi lain dan golongan lain dalam usaha mewujudkan
masyarakat Islam.
5)
Memperjuangkan tujuan NU dalam
badan-badan pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam segala lapangan
masyarakat.[9]
6)
Menyiarkan agama dengan tabligh,
kursus-kursus dan penerbitan.
7)
Menggiatkan amar ma’ruf nahi munkar
dengan sebaik-baiknya.
Begitulah
perjalanan NU dalam historisnya, yang pada awalnya dibentuk bukan untuk
berpolitik, namun dikarenakan kondisi pada waktu itu, memaksa NU untuk terjun
ke panggung politik, dan bergabung dengan Masyumi, berdiri sendiri sebagai
partai politik, sampai dengan difusikannya partai-partai Islam ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), yang membuat NU kembali kepada fungsinya semula
sebagai gerakan sosial keagamaan dengan semboyan “Kembali kepada Jiwa 1926”.
Dewasa ini, NU bergerak di bidang
sosial dan pendidikan agama menurut paham yang diyakini yaitu Ahlussunnah wal
Jama’ah. Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai banyak sekali Pondok
Pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, terutama di
daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan
yang sangat kuat. Di samping itu NU juga mempunyai sekolah-sekolah umum dari
tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran
formal ini, NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu yang
disebut Ma’arif, di mana tugasnya adalah untuk membuat perundangan dan program
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di bawah
naungan NU.
Berdasarkan hasil Rapat Kerja Ma’arif
yang diselenggarakan pada tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja
Ma’arif, antara lain:
a.
Pemantapan sisteem pendidikan Ma’arif,
meliputi:
1) Tujuan
pendidikan Ma’arif
a) Menumbuhkan
jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi
anak didik sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
b) Menanamkan
sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak untuk lebih
baik, keterampilan menggunakan ilmu dan teknologi, yang kesemuanya adalah
perwujudan pengabdian kepada Allah SWT.
c) Menciptakan
sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai
sebuah kesatuan.
d) Menanamkan
penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang
dinamis.
2) Penataan
kembali orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi pencapaian pengetahuan
scholastik yang diakhiri dengan pemberian ijazah, ke orientasi kemampuan
melakukan kerja nyata di bidang kemanusiaan dan kemasyarakatan.
3) Mengaitkan
pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum,
lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan sebagainya.
4) Mengembangkan
watak kultural ke-NU-an.
5) Secara makro,
memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan nonformal.
b. Peningkatan
organisasi Ma’arif
c.
Penyediaan data dan informasi tentang
sekolah-sekolah Ma’arif.
d. Penerbitan
e.
Peningkatan mutu guru Ma’arif.[11]
B.
Masyumi
Masyumi
merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia, berdiri di Jakarta
pada masa pendudukan tentara Jepang tahun 1943 di bawah pimpinan KH. M. Mansur
sebagai ketua dan Wahid Hasyim sebagai wakil ketua.[12]
Masyumi
dipandang sebagai pengganti MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Pembubaran
MIAI pada bulan Oktober 1943 dilakukan Jepang karena organisasi ini didirikan
atas prakarsa kaum muslimin sendiri, sebagai suatu federasi
organisasi-organisasi Islam. Para pemimpin organisasi itu mempunyai latar
belakang sikap anti kolonial dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah
kolonial. Atau dengan kata lain, MIAI bermula dengan sikap anti Belanda,
kemudian bersikap anti asing, dan karena itu mungkin sekali menjadi anti
Jepang. Serta alasan Jepang menggantikan MIAI dengan Masyumi adalah karena dua
organisasi Islam yang terpenting tidak menjadi anggota MIAI, yaitu NU dan
Muhammadiyah.[13]
Setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka pada bulan November 1945 diadakanlah
kongres umat Islam Indonesia bertempat di Yogyakarta. Saat itu lahirlah satu
partai politik baru dengan nama Masyumi. Dalam kongres itu diputuskan bahwa:
1. Masyumi adalah
satu-satunya partai politik Islam di Indonesia
Kemudian
dilakukanlah ikrar bersama di antara mereka yang isinya hanya mengakui Masyumi
sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Semua perkumpulan atau
organisasi Islam non politik dijadikan anggota istimewa dalam Masyumi.
Partai-partai politik Islam yang telah berdiri sebelum proklamasi kemerdekaan
ditiadakan dan dilebur menjadi Masyumi.[15]
Pada awal
berdiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk masyumi yaitu; Muhammadiyah,
NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat islam. Setelah itu barulah
organisasi islam yang lainnya ikut bergabung ke Masyumi antara lain persatuan
islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul Washliyah dan Al-ittihadiyah
(dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949 setelah rakyat pendudukan
belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah yang dikuasai oleh
RI, banyak di antara organisasi islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan
masyumi. Mudahnya persyaratan untuk masuknya organisasi Islam ke dalam Masyumi
menjadi salah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi Islam yang masuk ke
dalamnya, namun yang lebih penting mengenai alasan mereka masuk kedalam Masyumi
di karenakan semua pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan islam.
Hampir di
seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masyumi atau organisasi-organisasi
Islam yang bergabung dengan Masyumi. Faktor penyebab Masyumi cepat berkembang,
ialah peranan ulama masing-masing daerah serta ukhuwah Islamiah yang relatif
tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.
Setelah
diproklamirkannya kemerdekaan RI, Islam merupakan agama mayoritas yang dianut
oleh masyarakat Indonesia, namun dengan kemayoritasan itu tidak dibarengi
dengan adanya pandangan yang sama terhadap Islam dan Politik, Dalam hal ini ada
dua pandangan masyarakat Indonesia mengenai hubungan tersebut, yang pertama
bahwa, Islam merupakan agama yang lengkap, yang mengatur semua sendi kehidupan,
termasuk di dalamnya, mengatur hubungan dengan politik (Negara). Sedangkan
pandangan kedua, bahwa Islam sebagai sebuah panduan dan kode etik dalam
kehidupan bernegara, bahkan juga terdapat pemisahan total antara keduanya.
Masyumi, yang
didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan
RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan
Politik di Indonesia. Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan
kepentingan Islam.[16]
C.
Pembaharuan Kontemporer
Perkembangan
masyarakat Indonesia dalam bentuk pemikiran dan gerakan pembaharuan, kecuali
yang berbentuk formal, tidaklah muncul atau terhenti pada satu patokan tahun,
melainkan biasanya mengandung proses awal dan akhir yang menyebar dalam jarak
waktu yang relatif panjang.
Walaupun Delian
Noer menyusun buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
ini bukan berarti bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia baru dimulai
tahun itu atau dengan tahun 1911 sebagai tahun berdirinya Sarikat Dagang Islam
dan tahun 1912 sebagai tahun berdirinya organisasi Muhammadiyah. Namun
sesungguhnya tahun-tahun tersebut merupakan tahun-tahun resmi berdirinya
organisasi-organisasi Islam. Pemikiran dan gerakan, baik berupa ajakan ataupun
anjuran yang dilakukan kelompok maupun perseorangan pada umumnya lebih awal
dari tahun-tahun resmi tersebut.
Dan agaknya
gerakan pembaharuan Islam ini lebih kelihatan di masa kemerdekaan dibanding
masa sebelum kemerdekaan. Hal ini dikarenakan adanya kebebasan yang sama-sama
dicapai dengan golongan lain bangsa dan karena tantangan-tantangan yang
dihadapi gerakan pembaharuan tersebut lebih pula bersifat bebas dan terbuka.
Membicarakan
mengenai gerakan pembaharuan Islam kontemporer, sesungguhnya tidaklah mudah.
Karena harus mampu menciptakan konstruksi-konstruksi teoritik yang memadai dan
pengetahuan empiris yang dapat menjelaskan pertama-tama mengenai Islam
kontemporer sehingga dapat mengidentifikasi gerakannya. Untuk menentukan kebutuhan
tersebut tampaknya tidak mudah dan bahkan mungkin dalam taraf penjelajahan.
Guna keperluan
pemahaman terhadap gerakan Islam kontemporer di Indonesia, kajian ini akan
bertolak dari tinjauan terhadap pandangan yang memahami Islam di Indonesia dari
dua paradigma, yaitu Islam tradisional dan Islam modernis.
Akar gerakan
Islam kontemporer adalah situasi di mana perbedaan-perbedaan paham antara kedua
aliran keagamaan (tradisional-modernis) seringkali berkembang menjadi
perselisihan yang tajam. Perselisihan yang berkepanjangan ini, di samping
semakin mengecilnya pengaruh simpati terhadap organisasi (wadah) umat Islam
Indonesia, juga telah menimbulkan ketidakpastian bagi sejumlah komunitas Islam
dalam memilih alternatif panutan keagamaannya, khususnya yang menyangkut
sikap-sikap politik.
Situasi
demikian inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan Islam kontemporer di
Indonesia yang bervariasi. Adapun contoh dari gerakan Islam kontemporer
Indonesia, di antaranya ialah Gerakan Islam Jamaah, Gerakan Kelompok Islam Isa
Bugis, Gerakan Jamaah Islam Durani, dan sebagainya.
Ketiga gerakan
tersebut merupakan sebagian saja dari gerakan Islam kontemporer di Indonesia.
Apabila dilihat dari posusu alur gerakan keagamaan yang ada yang masih berpola
gerakan aliran keagamaan dan politik maka gerakan-gerakan yang telah disebutkan
di atas akan terlihat hanya sebagai gerakan sempalan belaka. Akan tetapi, bila
lebih dilihat dari kaca mata pola-pola aplikasi dan aktivitas keagamaannya,
maka sesungguhnya gerakan-gerakan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari
pola baru gerakan keagamaan yang pernah berkembang di Indonesia.
Sekalipun
gerakan-gerakan tersebut tidak muncul lagi dalam bentuk organisasi karena
dilarang oleh pemerintah, namun pemikiran dan pemahaman ajaran yang pernah
dikembangkan oleh gerakan-gerakan tersebut telah banyak menimbulkan dampak
sosial bagi penganutnya waktu itu dan pada masyarakat Islam lainnya.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Nahdatul Ulama
adalah salah satu Organisasi Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah
waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Masyumi
merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia, berdiri di Jakarta
pada masa pendudukan tentara Jepang tahun 1943 di bawah pimpinan KH. M. Mansur
sebagai ketua dan Wahid Hasyim sebagai wakil ketua.
Perkembangan
masyarakat Indonesia dalam bentuk pemikiran dan gerakan pembaharuan, kecuali
yang berbentuk formal, tidaklah muncul atau terhenti pada satu patokan tahun,
melainkan biasanya mengandung proses awal dan akhir yang menyebar dalam jarak
waktu yang relatif panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid. Yaya. Pemikiran
Modern Dalam Islam. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010.
Ahmad Syaukani. Maman Abd.
Djaliel. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam. Bandung : CV
Pustaka Setia, 1997.
Ahmad Zahro. Tradisi
Intelektual NU. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2004.
Hasbullah. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Martin
van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi- Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta:
LkiS, 1994.
Yusran Asmuni. Dirasah
Islamiah III : Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1998.
[1] Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi- Relasi Kuasa,
Pencarian Wacana Baru. (Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 17
[2] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan
Pemikiran Modern di Dunia Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997) h.133
[3] Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU. (Yogyakarta
: LkiS Yogyakarta, 2004) h.19
[4] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 1995) h. 106-107
[5] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam... h.107-108
[6] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan
Pemikiran..h.134
[7] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...h.110
[8] Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU. h.57
[9] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan
Pemikiran...h.135
[10] Yusran Asmuni. Dirasah Islamiah III : Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. (Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 1998) h.102
[11] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...h.111-112
[12] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan
Pemikiran..h. 136
[13] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...,h.67
[14] Abdul Hamid. Yaya. Pemikiran Modern Dalam Islam.
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2010).
[15] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Pembaharuan
Pemikiran...h.136
[16] http://zackyardan.jimdo.com/arsip/dialog/pembaharuan-muhammadiyah-persis-nu-dan-masyumi
(Diakses pada 23 Maret 2015)
[17] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Pembaharuan
Pemikiran...h.137-138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar