PENDIDIKAN ISALAM DI
ERA MODERNISASI
Pendidikan merupakan kunci kemajuan.
Semakin baik kualitas pendidikan suatu bangsa atau masyarakat, maka akan
semakin baik pula kualitas kehidupan bangsa / masyarakat tersebut.
Fazlurrahman, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menyatakatan “Setiap reformasi
dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan”.[1]
Ungkapan senada dikemukakan oleh Khursid Ahmad yang menyatakan bahwa : “All
of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is the
most challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it
responds to this challenge”, artinya dari sekian banyak permasalahan yang
merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan
merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung
kepada cara dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.[2]
Mengingat pendidikan merupakan
kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat, maupun bangsa, maka
pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis dan visioner.
Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa
selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di
masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik
perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau
pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut.
Pendidikan Islam dihadapkan pada
tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan
pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Untuk itu, pendidikan Islam perlu
didisain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi
konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan
organisasinya, serta mengkonstruksi-nya agar dapat relevan dengan perubahan
masyarakat.
Secara historis, gagasan pembaruan
atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, diawali dengan munculnya
lembaga-lembaga pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan kolo-nial Belanda
dan kehadiran organisasi-organisasi modernis Islam seperti Jami'at al-Khair,
al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain.[3]
Hal ini mengandung pengertian bahwa titik tolak modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (Belanda), bukan
sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional, yakni Pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang dianggap tradisional bersikap depensif terhadap
kebijakan kolonial Belanda dan menjauh dari sistem pendidikan modern, sementara
Jamiyaah Muhammadiyah bersikap progresif dengan mendirikan pendidikan Islam
klasikal ala Belanda.[4]
Namun pada akhirnya kedua model pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan
dan secara bersama terus saling melengkapi seiring dengan perkembangan.
Pendidikan Islam pada masa kini
dihadapkan kepada tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi
pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya
aspirasi dan idealitas ummat Islam yang serba kompleks dan multi dimensi
setelah mengalami pergeseran nilai akibat kehidupan dan peradaban yang serba
modern.
A.
Pengertian
Modern
Penulis terlebih dahulu memaparkan
tentang definisi istilah “modern”. Hal ini diperlukan agar memiliki pemahaman
dan persepsi yang sama tentang tema yang dibahas.
Modernitas berasal dari perkataan
“modern” yang berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masa kini.
Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan masa
lampau. Jadi modernitas adalah suatu pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi
kehidupan masa kini .[5]
Kata "modern" tidaklah
muncul sekaligus untuk seluruh atau berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang
seni kata modern digunakan untuk membedakan sifat seni lukis dan seni pahat
yang eksperimental dan dinamis pada abad kedua puluh dengan seni lukis dan seni
pahat masa sebelumnya .Di dalam filsafat kata modern itu digunakan untuk
menyebutkan periode filsafat setelah abad pertengahan (pertengahan abad ketujuh
belas).
Pandangan lainnya menyatakan, bahwa
“modern” berarti baru, kekinian, akhir, up-todate, atau semacamnya. Istilah ini
berkaitan juga dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern bisa
diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya. Predikat modern diberikan
terhadap prilaku, model pakaian, musik, hasil teknologi, ataupun pada pemikiran
seseorang.[6]
Istilah modern menjadi “modernisasi”
memiliki arti tersendiri yaitu suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu
modern. Tolhah Hasan memberikan definisi modernisasi sebagai suatu proses
transformasi masyarakat dalam berbagai aspeknya termasuk di dalamnya sektor
ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan.[7]
Nurcholis Madjid, sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah Idi dan Toto Sutarto,
mendefinisikan “modernisasi sebagai rasionalisasi untuk memperoleh daya guna
yang maksimal dalam berfikir dan bekerja demi kebahagiaan ummat”.[8]
Beberapa pandangan tentang term
“modern” sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan adanya sebuah reaksi atau
upaya perubahan terhadap situasi dan keadaan yang konstant dan berkonotasi
ketertinggalan. Term “modern” juga dipergunakan untuk menunjukkan pemikiran,
karakter, ideology, seni, politik, dan lainnya yang bernuasa ke-kinian atau
kontemporer.
B.
Pendidikan
Islam
Istilah pendidikan Islam berasal
dari gabungan dua kata yaitu kata “pendidikan” dan “Islam”. dalam bahasa Arab,
pendidikan Islam dikenal dengan At Tarbiyatul Al Islamiyah (التّربيّة الاسلامية). Adapun dalam bahasa Inggris sering disebut Islamic
Education.
Kata pendidikan yaitu usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Sedangkan Islam yaitu agama universal yang Allah perintahkan kepada
seluruh manusia dan imani Rosul-Rosulnya.[9]
Jadi pendidikan Islam yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran tentang Agama Universal.
Pendidikan Islam dikaitkan dengan
konsepsi kejadian manusia yang sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan
yang paling sempurna yang dibekali potensi akal dan ilmu.[10]
Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling
sempurna harus bisa menjadi khalifah yang berilmu dan bertanggungjawab atas apa
yang telah dipimpinnya.
Pemahaman tentang makna dan istilah
pendidikan, khususnya pendidikan islam sudah banyak dibahas oleh para pakar dan
tokoh pendidikan, namun hal tersebut semuanya hamper sama dan tidak jauh
berbeda dalam makna dan isinya, penulis Pendidikan adalah proses mempersiapkan
masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien. [11]
Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut.
Pertama, menurut
Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara
fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut
Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia
dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga
menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta
belajar yang berguna bagi tanah air. Ketiga, Omar Mohammad Al-Toumy
Al-Syaebany (1979); Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk mengubah tingkah
laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan
kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan yang dilandasi
nilai-nilai Islami. Keempat, Daradjat juga mengemukukan Pendidikan
Islam adalah pembentukan kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah
laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Kelima, Muhammad Quthb bahwa
Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap
wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik
maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini. Dan masih banyak pengertian yang
diberikan oleh papakr dan tokoh-tokoh pendidikan islam lainnya.
Dalam definisi diatas terlihat jelas
bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya,
baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak
didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.[12]
arti secara luas bahwa pendidikan islam itu memanusiakan manusia sesuai ajaran
dan nilai-nilai islam (Al-Qur’an dan Hadits).
Dalam perspektif historis,
Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari
pusat lahirnya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad
ke-tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu
Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu
indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam diakui
keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama,
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan
Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan
pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam
sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem
pendidikan.[13]
1.
Dasar
Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar
pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a.
Al Qur’an
Al Qur’an
adalah kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa
arab guna menjalankan jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia
(rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an
sebagai petunjuk ( Hudan ) ditunjukkan dalam firmanNya :
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x. ÇÒÈ
Artinya :
Sesungguhnya
Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar, (Q.S. Al Israa’ ayat 9)
Pelaksanaan pendidikan islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang
termuat dalam Al Qur’an. Dengan berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al
Qur’an – teruatama dalam pelaksanaan pendidikan islam – umat islam akan mampu
mengarahkan dan mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta
mampu mencapai esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.[14]
b.
Sunnah
Keberadaan
Sunnah Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada
didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia
dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan
yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang
tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi
masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.[15]
c.
Ijtihad
Pentingnya
Ijtihad tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut
agar senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan
cepat. Sementara disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya
sebagai sebuah sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini
merupakan masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan
untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan
dengan tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.[16]
2.
Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly,
tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi
peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung
jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk
sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3)
menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah
penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya
dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[17]
C. Problematika Pendidikan Islam
Pendidikan islam tidak luput dari
problematika yang muncul di era modern maupun global ini. Terdapat dua faktor
dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.
Faktor Internal
a.
Relasi Kekuasaan dan Orientasi
Pendidikan Islam
Tujuan
pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau
mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi
khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan
memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang
sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah
terlaksana dengan baik.
Orientasi
pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam
konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi
mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia.
Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek
positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan
kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan.
Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar
lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya,
moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[18]
b.
Masalah Kurikulum
Sistem
sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter
yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul.
Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem
manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan
manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa
kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga
seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas
pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[19]
Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan
dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk
mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir
tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan
kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai
islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan
islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga
menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum
pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan
menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari
para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan
Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.[20]
c.
Pendekatan/Metode Pembelajaran
Peran guru
atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa.
Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi,
memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran
yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang
memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah
yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan
zaman.
Siswa atau
mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya,
berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu,
dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap
mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga
sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
d.
Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu
masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru
adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai.
Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah
cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi
harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified,
dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan
menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[21]
e.
Biaya Pendidikan
Faktor biaya
pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN
dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi.
Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun
2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2.
Faktor Eksternal
a. Dichotomic
Masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan
Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang
tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan
sebagai mahkota semua ilmu.
b. To General Knowledge
Kelemahan
dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih
terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah
(problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang
membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein
Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan
non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu
untuk melihat konsekuensinya.
c. Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan
besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah
rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas
merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al
Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat
intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran
Islam di Timur Tengah.
d. Memorisasi
Rahman
menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis
yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa,
karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu
yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan
dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada
pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan
yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan
karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e. Certificate Oriented
Pola yang
dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah
memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan
perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge
oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir
tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic,
karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola
yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya
pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata.
Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau
ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas
berikutnya.[22]
D. Solusi Problematika Pendidikan Islam
Pendidikan
harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala
faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan
kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[23]
Selain itu,
program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi
sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan
solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif
dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat
prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization,
yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi
fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.[24]
Berbagai
macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama
lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan
penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan
tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di
masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan
tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni
melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam,
dan bias berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa
ru’yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara
penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di
dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan
rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi
masa depan yang lebih baik.[25]
Hal ini dapat dipahami sebagai upaya melakukan transformasi manajemen
pendidikan islam secara konsisten.
E. Orientasi Pendidikan Islam
Menurut
Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi
pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai berikut :
1.
Pendidikan Islam sebagai Proses
Penyadaran
Pendidikan Islam harus
diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga dengan
kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan faktor-faktor
sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran
tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa
melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah
sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan
tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu
sendiri.
2.
Pendidikan Islam sebagai Proses
Humanisasi
Proses Humanisasi dalam pendidikan
Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup
yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada
padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan
(ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
3.
Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era
globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan
menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin
Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik
(penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk
kalangan pelajar.
Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu
yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah
pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu,
pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq
al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya
yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal,
maupun nonformal.
Pembinaan
akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini
adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa
sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.[26]
KESIMPULAN
Dari pembahasan di
atas dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan
masyarakat modern, secara
internal
pendidikan
Islam harus menyelesaikan
persoalan
dikotomi, tujuan
dan fungsi lembaga
pendidikan
Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang sampai sekarang
ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan
yang relevan dengan perubahan
zaman
dan kebutuhan masyarakat. (3)
Pendidikan Islam
didisain
untuk dapat membantu
meningkatkan ketrampilan
dan
pengetahuan untuk
bekerja
lebih produktif sehingga dapat meningkatan kerja lulusan pendidikan di masa datang.
Selain
itu perlu disain pendidikan
Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman
yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan
kualitas pendidikannya
agar memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah-
berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat
menyiapkan
sumber insani yang lebih handal dan
memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.
DAFTAR PUSTAKA
A. Qodri
Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Abdul Wahid,
Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, Cet. I, Semarang : Need’s Press,
2008.
Abdullah Idi
& Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara
Wacana, 2006.
Ahmad
Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Cet. I, Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Dr. Ahmad
Arifi, MA. (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan
Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras,
2009.
Haidar Putra
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Cet. I, Jakarta :
Rineka Cipta, 2009.
Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
Cet. I, Jakarta : Kencana, 2004.
Hasmiyati
Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam,, Jakarta : Quantum Teaching Ciputat
Press Group, 2008.
http://islam
murni.wordpress.com/2009/10/31/definisi Islam/
Hujair AH.
Sanaky, Paradigma pendidikan Islam, membangun Masyarakat madani Indonesia,
Yogyakarta: Afiria Insani Press, 2003.
Isma’il SM, Strategi
Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan, Cet. I, Semarang : Rasail, 2008.
Maksum, Sejarah
dan Perkembangannya. Jakarta : PT. Logos wacana Ilmu, 1999.
Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan Penddikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan Kurikulum Hingga
redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia
pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Muhammad
Tolhah Hasan, Prospek Islam Dalam menghadapi Tantangan Zaman,
Jakarta: Lantabora Press,
Musthofa
Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan
di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. II, Yogyakarta : Teras, 2010.
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis, Cet. I, Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
Sayidiman
Suryohadiprojo, Islam Universal, Nurkholis Madjid, dkk., Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Cet.
I, Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000.
[1] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Penddikan Islam, Pemberdayaan,
pengembangan Kurikulum Hingga redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung:
Yayasan Nuansa Cendekia, 2003), hal. 25
[3] Hujair AH. Sanaky, Paradigma pendidikan Islam, membangun Masyarakat
madani Indonesia, (Yogyakarta: Afiria Insani Press, 2003), hal.6
[5] Sayidiman Suryohadiprojo, Islam Universal, Nurkholis Madjid, dkk.,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 145.
[6] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam,
Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hal.5
[7] Muhammad Tolhah Hasan, Prospek Islam Dalam menghadapi Tantangan Zaman,
( Jakarta: Lantabora Press, ),
hal.18
[8] Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam,
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hal. 101
[9] http://islam murni.wordpress.com/2009/10/31/definisi Islam/ (diakses pada 3
April 2015 pukul : 19.00 wib).
[10] Dr. Ahmad Arifi, MA. (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi
dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. (Yogyakarta:
Teras, 2009) hal. 1.
[11] Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Quantum
Teaching Ciputat Press Group, 2008), hal. 13
[12] Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, (Semarang : Rasail,
2008), Cet. I, hal. 34-36
[13] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta
: Rineka Cipta, 2009) Cet. I, hal. 44-45.
[14] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang
: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. I, hal. 15-16
[17] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis,
dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hal. 36-37
[18] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis
Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta :
Teras, 2010), Cet. II, hal. 20-21
[19] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), Cet. I, hal. 205-208
[20] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), hal. 11
[22] Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang :
Need’s Press, 2008), Cet. I, hal. 14-23
[23] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jogjakarta : Gigraf
Publishing, 2000) Cet. I, hal. 90-91.
[25] Muhaimin, Nuansa Baru
Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 86-89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar