Laman

Minggu, 12 Oktober 2014

Makalah Zina Qadzaf dan Bughah

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Didalam kehidupan ini banyak sekali terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Kejahatan itu terjadi karena ada niat yang terbesit dalam hati dan diiringi dengan kesempatan yang ada. Didalam islam setiap perbuatan yang dilakukan akan mendapat balasan yang setimpal. Dengan adanya hukuman ini maka seseorang tidak akan melakukan kejahatan dan supaya dapat menjaga ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang Perzinaan, Qadzaf, Bughah (Pemberontakan) dan hukumannya. Dengan demikian segala permasalahan perzinaan, Qadzaf, bughah dan hukumannya.
B.  Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis menitikberatkan pembahasan mengenai
1.    Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang zina beserta hikmahnya ?
2.    Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang qadzaf beserta hikmahnya ?
3.    Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang bughah beserta hikmahnya ?
 

BAB II
PEMBAHASAN
Standar Kompetensi :
·         Memahami ketentuan Hudud dan Hikmahnya
Kompetensi Dasar :
·         Menjelaskan ketentuan hukum islam tentang zina dan qadzaf beserta hikmahnya
·         Menjelaskan ketentuan hukum islam tentang bughat beserta hikmahnya.
A.  Zina
1.    Pengertian Zina
Zina adalah melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Dilakukan secara sadar serta tanpa adanya unsur syubhat. Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang sangat berat, baik hukum dera maupun rajam karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Persetubuhan dengan binatang atau mayat bukan termasuk zina namun hukumnya haram. Perbuatan zina adalah haram yang termasuk salah satu dosa besar karena perbuatan tersebut sama dengan pergaulan binatang. Sebagaimana firman Allah:[1]
وَلا تَقْرَبُوْا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاَ.
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
2.    Kriteria Zina
Sesuatu perbuatan disebut zina, sebab:
a.    Zina adalah peristiwa hubungan kelamin (sexual intercross) dengan cara memasukkan alat vital (zakar) pria kedalam alat vital (farj) wanita yang bukan istrinya.
b.    Peristiwa hubungan kelamin (sexual intercross) tersebut merupakan perbuatan haram, karena dilakukan anatara pria dan wanita dalam hubungan di luar perkawinan. Sifat keharaman perbuatan itu hanya dapat dihilangkan melalui perkawinan yang sah.
c.    Peristiwa hubungan kelamin (sexual intercross) tersebut merupakan penyaluran nafsu seks yang disenangi, karena dilakukan pria dengan wanita hidup.
d.   Peristiwa hubungan kelamin (sexual intercross) tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan secara sadar, bukan karena suatu kekeliruan.[2]
3.    Macam-Macam Zina dan Hukumannya
Pelaku zina diklasifikasikan ke dalam dua macam, yaitu pezina muhsan dan gairu muhsan.
a.    Zina Muhsan
Zina Muhshan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, merdeka, sudah pernah bercampur dengan jalan yang sah atau sudah menikah. Artinya yang dilakukan oleh suami istri, duda maupun janda. Para ulama sepakat hadd bagi pezina muhshan yaitu dirajam atau dilempar dengan batu sampai meninggal. Pendapat ini didasarkan atas hadis Nabi Muhammad saw. Berikut.[3]
Artinya:
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. Ketika beliau sedang berada di dalam masjid. Laki-laki itu memanggil-manggil Nabi seraya mengatakan, “Hai Rasulullah, aku telah berbuat zina, tapi aku menyesal.” Ucapan itu diulanginya sampai empat kali. Setelah Nabi mendengar pernyataannya yang sudah empat kali diulangnya itu, lalu beliaupun memanggilnya, seraya bertanya, “apakah engkau ini gila?” “tidak, jawab laki-lakiitu. Nabi bertanya lagi, “adakah engkau ini orang yang muhsan?” “ya,” jawabnya. Kemudian, Nabi bersabda lagi, “bawalah laki-laki ini dan langsung rajam oleh kamu sekalian. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah: 6317 dan Muslim dari Abu Hurairah : 3202)
b.    Zina Ghairu Muhshan
Zina Ghairu Muhshan adalah gadis dan jejaka atau zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah yakni yang dilakukan oleh gadis atau jejaka. Hadd bagi pezina ghairu muhshan yaitu didera (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Dasarnya adalah firman Allah swt. Dan hadis Nabi saw. Berikut.[4]
           
Artinya :
            Pezina perempuan dan laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. (Q.S. an-Nuur: 2)
            Dalam sebuah hadis, diriwayatkan sebagai berikut :
           
           
Artinya :
            Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan untuk mereka. Untuk jejaka dan perawan yang berzina dihukum dengan seratus kali pukulan dan diasingkan setahun lamanya. Dan untuk janda dan duda yang berzina dihukum dengan hukuman seratus kali pukulan dan rajam. (HR Muslim dari Ubadah bin Samit: 3199)
Apabila terjadi perzinaan antara seorang ghairu muhshan dengan seorang muhshan maka yang muhshan harus dirajam sedangkan bagi yang ghairu muhshan cukup didera saja.
4.    Macam Hukuman bagi Pezina
Hukum delik perzinaan yang menjadi perdebatan dikalangan umat Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara itu, golongan Khawarij, Mu’tazilah dan dan sebagian fukaha Syi’ah menyatakan bahwa sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk). Alasan mereka tidak mengakui hukum rajam adalah sebagai berkut.
a.    Hukum rajam dianggap paling berat diantara hukum yang ada dalam islam. Namun, tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Seandainya Allah swt. Melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nas.
b.    Hukuman bagi hamba sahaya setengah dari orang merdeka, jika hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman setenganh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi Muhammad saw. Dengan sanksi dua kali lipat. Apakah ada dua kali hukuman mati?[5]
Dasar hukum bagi mereka yang menolak diterapkannya hukum rajam bagi pezina adalah sebagai berikut.
Artinya :
. . . apabla mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). . . (QS an-Nisa: 25)
Firma Allah swt. Di atas menunjukkan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua. Oleh karena itu, hukum yanng ogis diterapkan adalah hukum dera seratus kali. Jika dipelaknya budak, berdasarkan ketentuan surah an Nisaa:25 adalah setengah, yakni lima puluh kali. Demikian halnya dengan ketentuan berikut.
Artinya :
Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa diantara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. . .  (QS al-Ahzab: 30)
Ayat diatasmenggambarkan bahwa hukum rajam dapat dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera seratus kali, dua kali lipatnya adalah 200 kali.[6]
5.    Bukti Berbuat Zina
a.    Adanya saksi
Perbuatan zina harus dibuktikan dengan adanya saksi yang berjumlah empat orang laki-laki, beragama islam, adil, dan dapat dipercaya. Firman Allah :
Artinya :
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). . . (QS an-Nisa’: 15)
b.    Adanya pengakuan
Jarimah zina dapat diterapkan dengan adanya pengakuan si pelaku. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyaratkan pengakuan ini harus berulang empat kali, karena dianalogikan kepada empat orang saksi, juga atas dasar hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa seseorang telah menghadap Rasulullah saw. Di suatu masjid yang mengaku telah berbuat zina. Namun , Rasulullah berpaling daripadanya. Pengakuan tersebut dikemukakan orang itu berulang-ulang hingga empat kali. Setelah pengakuan yang keempat, Rasulullah saw. Berkata: “apakah engkau gila?”, dan seterusnya. Akan tetapi, menurut Imam Malik dan Imam Syafii, pengakuan tersebut cukup satu kali saja, karena pengakuan itu merupakan suatu berita, dan berita itu tidak diperlukan pengulangan. Dasarnya adalah ungkapan hadis itu juga yang menyatakan: “bila orang itu mengaku, maka rajamlah.
c.    Adanya kehamilan
Jika wanita hamil diluar nikah, dan ia sendiri tidak (mengaku) bahwa dirinya dipaksa melakukan zina denganlawan jenisnya, maka ia dikenakan had zina. Jika terbukti bahwa kehamilannya adalah karena dipaksa (diperkosa), maka gugurlah had zina baginya. Dasarnya adalah pernyataan Rasulullah saw. Yang dikemukakan Umar bin Khathtab yang telah dikutip terdahulu: “sesungguhnya rajam adalah sangsi bagi orang yang melakukan zina, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah”.[7]
6.    Hikmah Dilarangnya Zina
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut diatas, menurut pandangan Islam adalah karena zina merupakan perbuatan tercela yang dapat menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan, niscaya martabat manusia akan hilang kkarena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu, pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah swt. Tentang kebolehan dan anjuran Allah swt. Untuk menikah.
Disamping hal diatas, terdapat beberapa hikmah yang lain sebagai berikut.
a.    Mencegah bahaya merajalelanya perzinaan, kemungkaran, dan pelacuran yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban dan penularan penyakit yang sangat berbahaya.
b.    Memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan, melindungi keutuhan keluarga yang justru merupakan unsur utama masyarakat. [8]
B.  Menuduh Zina (Qadzaf)
1.    Pengertian Qadzaf
Qadzaf adalah bentuk mashdar dari qadzafa-yuqdzifu yang artinya melempar. Sedangkan menurut istilah qadzaf yaitu menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa adanya alasan yang meyakinkan.[9]
Menuduh seseorang berbuat zina adalah perbuatan haram sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ.
Artinya :
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nur: 23)
Unsur menuduh zina (jarimah qazf) ada tiga, yaitu menuduh zina atau mengingkari nasab, orang yang dituduh itu muhsan, dan bukan pezina, serta ada iktikad jahat. Orang yang menuduh zina harus dapat membuktikan kebenaran tuduhannya. Tuduhan zina harus diucapkan dalam bahasa yang tegas (eksplisit), seperti, “Hai Pezina,” atau “Aku telah melihatmu berzina.[10]
2.    Hadd Qadzaf
Orang yang seseorang berbuat zina, maka hukumannya didera sebanyak 80 kali. Adapun hadd qadzaf bagi hamba sahaya yang menuduh berbuat zina adalah separuh dari yang merdeka yaitu didera 40 kali. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt. Berikut.
Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS an-Nuur: 4)
3.    Syarat-syarat Berlakunya Hadd Qadzaf
Hadd qadzaf wajib dilakukan terhadap penuduh berzina, jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Yang menuduh berakal sehat dan baligh
b.    Tuduhan tidak terbukti
c.    Orang yang dituduh itu jelas keadaan muhshan (berakal sehat, baligh, merdeka, Islam, suci dari perbuatan zina)
d.   Yang menuduh ityu bukan ayah atau ibu, kakek atau nenek dan seterusnya ke atas
e.    Tuduhan itu objeknya zina
f.     Tuduhan dilakukan tanpa dibarengi syarat atau terkait dengan sesuatu lainnya.[11]
4.    Syarat-syarat Gugurnya Hadd Qadzaf
Hadd qadzaf dapat gugur dalam arti si penuduh dibebaskan dari hadd qadzaf, jika terjadi keadaan sebagai berikut:
a.    Penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi bahwa tertuduh betul-betul berzina.
b.    Dengan li’an, jika suami menuduh istrinya berzina tanpa mengemukakan empat orang saksi. Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina.
c.    Tertuduh memaafkan.[12]  
5.    Hikmah Dilarangnya Qadzaf
Hikmah dilarangnya qadzaf adalah sebagai berikut:
a.    Mencegah seorang untuk tidak berbuat batil, mengingat menuduh zina termasuk perbuatan batil.
b.    Mencegah terjadinya suatu berita kebohongan dan pencemaran nama baik orang yang dituduh di tengah-tengah masyarakat.
c.    Untuk melindungi kehormatan orang muslim, menjaga reputasinya dan memelihara kemuliaannya.
d.   Mencegah orang untuk tidak berbuat kefasikan yang menyebabkan tertuduh dan tertolaknya dari kasih sayang Allah swt.
e.    Untuk menjaga kesucian masyarakat dari maraknya perzinaan di dalamnya dan tersebar akhlak tercela diantara kaum muslimin yang notabene orang-orang adil dan orang-orang bersih.[13]
C.  Pemberontakan (Bughah)
1.    Pengertian dan Dasar Hukum Bughah
Kata bughah adalah bentuk jamak dari fi’il bagha-yubghi yang berarti mencariatau Al-Bagyu (Pemberontakan). Bisa pula berarti; maksiat, melampaui batas, berpaling dari kebenaran dan zhalim. Sedangkan menurut syara’ bughah adalah orang yang menentang atau memberontak kepada pemimpin pemerintahan Islam yang sah. Sering juga diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.[14] Salah satu definisinya juga (Wahbah Al-Zuhaili 1989: 142), Bughah adalah melakukan perlawanan terhadap penguasa yang sah dengan mengerahkan kekuatan atas suatu kebijaksanaannya, karena berbeda paham.[15] Memerangi pemberontak hukumnya wajib demi menegakkan hukum Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Hujarat ayat 9.
...فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ...
Artinya:
“...Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah...” (QS. Al-Hujarat: 9)
2.    Tindakan Hukum terhadap Bughah
Orang-orang yang membangkang harus diusahakan untuk kembali mentaati Imam atau pemimpin yang sah. Tindakan yang dilakukan harus ditempuhkan dengan cara yang baik dan benar serta harus bertahap dari cara yang ringan sampai yang paling berat. Jika itu tidak berhasil maka bisa diberi ultimatum atau ancaman untuk memeranginya. Jika masih belum bisa dengan cara ini maka bisa diperangi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt. Berikut.
Artinya :
. . . jika salah satu dari keduanya berbuat zalim (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. . .  (QS al-Hujarat: 9)
3.    Status Hukum Bughah
Pemberontak (bughah) tidak dihukum kafir. Jika dua golongan orang-orang mukmin berperang jadi kaum pemberontak masih dalam kelompok orang-orang mukmin, jika mereka bertaubat taubatnya diterima maka mereka tidak boleh diperangi lagi.
4.    Hikmah Dilarangnya Bughah
Ada beberapa hikmah dilarangnya bughah yaitu:
a.    Terjadinya kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat
b.    Pemerintah atau Imam yang sah menurut hukum diberi kebebasan untuk bertindak dalam rangka membela diri dan menegakkan keadilan
c.    Masyarakat tidak boleh semena-mena melawan pemerintah yang sah
d.   Jika ada perbedaan pendapat harus disalurkan dengan cara yang baik dan benar

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Al-Quran dan Sunnah telah menetapkan hukuman tertentu untuk kesalahan-kesalahan tertentu. Kesalahan-kesalahan tersebut disebut dosa yang mengharuskan adanya hukuman. Kesalahan-kesalahan tersebut terdiri dari berzina, menuduh berzina (qadzaf), dan memberontak (bughah). Terhadap pelaku salah satu perbuatan ini dikenakan hukuman sebagaimana yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
B.  Saran
            Dalam makalah ini, penulis menyarankan agar kita dapat menghindari dan menjauhkan diri dari perbuatan zina, qadzaf, dan memberontak (bughah) supaya kita terhindar dari hukuman di dunia maupun di akhirat sehingga kehidupan kita menjadi aman dan damai.

DAFTAR PUSTAKA
Hassan Saleh, 2008, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Rizal Qosim, M. 2009, Pengamalan Fiqih Kelas XI MA. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.


[1]Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA. (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hal. 23.
[2] Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 437-438.
[3] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 24.
[4] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal.25
[5] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 25-26.
[6] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 26.
[7] Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, hal. 439-440.
[8] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 26-27.
[9] Ibid.
[10] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 28
[11] Ibid.
[12] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 29.
[13] Ibid.
[14] Rizal Qosim, M., Pengamalan Fiqih Kelas XI MA, hal. 33.
[15] Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, hal. 458.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar