BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam
kehidupan ini banyak sekali terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh
manusia. Kejahatan itu terjadi karena ada niat yang terbesit dalam hati dan
diiringi dengan kesempatan yang ada. Didalam islam setiap perbuatan yang
dilakukan akan mendapat balasan yang setimpal. Dengan adanya hukuman ini maka
seseorang tidak akan melakukan kejahatan dan supaya dapat menjaga ketertiban
dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam
pembahasan ini penulis akan membahas tentang Perzinaan, Qadzaf,
Bughah (Pemberontakan) dan hukumannya. Dengan demikian
segala permasalahan perzinaan, Qadzaf, bughah dan
hukumannya.
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis menitikberatkan pembahasan
mengenai
1.
Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang zina beserta hikmahnya ?
2.
Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang qadzaf beserta hikmahnya ?
3.
Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang bughah beserta hikmahnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
Standar Kompetensi :
·
Memahami ketentuan Hudud dan Hikmahnya
Kompetensi Dasar :
·
Menjelaskan ketentuan hukum islam tentang zina dan qadzaf beserta hikmahnya
·
Menjelaskan ketentuan hukum islam tentang bughat beserta hikmahnya.
A. Zina
1. Pengertian Zina
Zina adalah melakukan
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang
sah. Dilakukan secara sadar serta tanpa adanya unsur syubhat. Zina adalah
perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang sangat berat,
baik hukum dera maupun rajam karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
moral dan akal. Persetubuhan dengan binatang atau mayat bukan termasuk zina
namun hukumnya haram. Perbuatan zina adalah haram yang termasuk salah satu dosa
besar karena perbuatan tersebut sama dengan pergaulan binatang. Sebagaimana
firman Allah:[1]
وَلا تَقْرَبُوْا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيْلاَ.
Artinya:
“Dan janganlah kamu
mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan
suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
2. Kriteria Zina
Sesuatu perbuatan disebut
zina, sebab:
a. Zina adalah peristiwa
hubungan kelamin (sexual intercross) dengan cara memasukkan alat vital (zakar)
pria kedalam alat vital (farj) wanita yang bukan istrinya.
b. Peristiwa hubungan
kelamin (sexual intercross) tersebut merupakan perbuatan haram, karena
dilakukan anatara pria dan wanita dalam hubungan di luar perkawinan. Sifat
keharaman perbuatan itu hanya dapat dihilangkan melalui perkawinan yang sah.
c. Peristiwa hubungan
kelamin (sexual intercross) tersebut merupakan penyaluran nafsu seks yang disenangi,
karena dilakukan pria dengan wanita hidup.
d. Peristiwa hubungan
kelamin (sexual intercross) tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan secara
sadar, bukan karena suatu kekeliruan.[2]
3. Macam-Macam Zina dan
Hukumannya
Pelaku zina
diklasifikasikan ke dalam dua macam, yaitu pezina muhsan dan gairu muhsan.
a. Zina Muhsan
Zina Muhshan adalah zina yang
dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, merdeka, sudah pernah
bercampur dengan jalan yang sah atau sudah menikah. Artinya yang dilakukan oleh
suami istri, duda maupun janda. Para ulama sepakat hadd bagi pezina muhshan
yaitu dirajam atau dilempar dengan batu sampai meninggal. Pendapat ini
didasarkan atas hadis Nabi Muhammad saw. Berikut.[3]
Artinya:
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw.
Ketika beliau sedang berada di dalam masjid. Laki-laki itu memanggil-manggil
Nabi seraya mengatakan, “Hai Rasulullah, aku telah berbuat zina, tapi aku
menyesal.” Ucapan itu diulanginya sampai empat kali. Setelah Nabi mendengar
pernyataannya yang sudah empat kali diulangnya itu, lalu beliaupun
memanggilnya, seraya bertanya, “apakah engkau ini gila?” “tidak, jawab
laki-lakiitu. Nabi bertanya lagi, “adakah engkau ini orang yang muhsan?” “ya,”
jawabnya. Kemudian, Nabi bersabda lagi, “bawalah laki-laki ini dan langsung
rajam oleh kamu sekalian. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah: 6317 dan Muslim dari
Abu Hurairah : 3202)
b. Zina Ghairu Muhshan
Zina Ghairu Muhshan adalah gadis dan jejaka atau zina
yang dilakukan oleh orang yang belum menikah yakni yang dilakukan oleh gadis
atau jejaka. Hadd bagi pezina ghairu muhshan yaitu didera (dicambuk) 100 kali
dan diasingkan selama satu tahun. Dasarnya adalah firman Allah swt. Dan hadis
Nabi saw. Berikut.[4]
Artinya :
Pezina
perempuan dan laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan
janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang
yang beriman. (Q.S. an-Nuur: 2)
Dalam
sebuah hadis, diriwayatkan sebagai berikut :
Artinya :
Terimalah
dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan untuk mereka. Untuk
jejaka dan perawan yang berzina dihukum dengan seratus kali pukulan dan
diasingkan setahun lamanya. Dan untuk janda dan duda yang berzina dihukum
dengan hukuman seratus kali pukulan dan rajam. (HR Muslim dari Ubadah bin
Samit: 3199)
Apabila terjadi perzinaan antara seorang ghairu
muhshan dengan seorang muhshan maka yang muhshan harus dirajam sedangkan bagi
yang ghairu muhshan cukup didera saja.
4. Macam Hukuman bagi Pezina
Hukum delik perzinaan yang menjadi perdebatan dikalangan umat Islam adalah
hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun
bersumber pada khabar ahad. Sementara itu, golongan Khawarij, Mu’tazilah dan
dan sebagian fukaha Syi’ah menyatakan bahwa sanksi bagi pezina adalah hukum
dera (cambuk). Alasan mereka tidak mengakui hukum rajam adalah sebagai berkut.
a.
Hukum rajam dianggap
paling berat diantara hukum yang ada dalam islam. Namun, tidak ditetapkan dalam
Al-Qur’an. Seandainya Allah swt. Melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan
secara definitif dalam nas.
b.
Hukuman bagi hamba sahaya
setengah dari orang merdeka, jika hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati,
apa ada hukuman setenganh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga
Nabi Muhammad saw. Dengan sanksi dua kali lipat. Apakah ada dua kali hukuman
mati?[5]
Dasar hukum bagi mereka yang menolak
diterapkannya hukum rajam bagi pezina adalah sebagai berikut.
Artinya :
. . . apabla mereka telah
berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka
(hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka
(yang tidak bersuami). . . (QS an-Nisa: 25)
Firma Allah swt. Di atas menunjukkan bahwa hukum rajam
tidak dapat dibagi dua. Oleh karena itu, hukum yanng ogis diterapkan adalah
hukum dera seratus kali. Jika dipelaknya budak, berdasarkan ketentuan surah an
Nisaa:25 adalah setengah, yakni lima puluh kali. Demikian halnya dengan ketentuan
berikut.
Artinya :
Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa diantara
kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan
dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. . .
(QS al-Ahzab: 30)
Ayat diatasmenggambarkan bahwa hukum rajam dapat dilipatgandakan,
yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera seratus kali, dua kali
lipatnya adalah 200 kali.[6]
5. Bukti Berbuat Zina
a.
Adanya saksi
Perbuatan zina harus dibuktikan dengan adanya saksi yang berjumlah empat
orang laki-laki, beragama islam, adil, dan dapat dipercaya. Firman Allah :
Artinya :
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). . . (QS an-Nisa’: 15)
b.
Adanya pengakuan
Jarimah zina dapat diterapkan dengan adanya pengakuan si pelaku. Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad menyaratkan pengakuan ini harus berulang empat kali,
karena dianalogikan kepada empat orang saksi, juga atas dasar hadis riwayat
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa seseorang telah menghadap
Rasulullah saw. Di suatu masjid yang mengaku telah berbuat zina. Namun ,
Rasulullah berpaling daripadanya. Pengakuan tersebut dikemukakan orang itu
berulang-ulang hingga empat kali. Setelah pengakuan yang keempat, Rasulullah
saw. Berkata: “apakah engkau gila?”, dan seterusnya. Akan tetapi, menurut Imam
Malik dan Imam Syafii, pengakuan tersebut cukup satu kali saja, karena
pengakuan itu merupakan suatu berita, dan berita itu tidak diperlukan
pengulangan. Dasarnya adalah ungkapan hadis itu juga yang menyatakan: “bila
orang itu mengaku, maka rajamlah.
c.
Adanya kehamilan
Jika wanita hamil diluar nikah, dan ia sendiri tidak (mengaku) bahwa
dirinya dipaksa melakukan zina denganlawan jenisnya, maka ia dikenakan had
zina. Jika terbukti bahwa kehamilannya adalah karena dipaksa (diperkosa), maka
gugurlah had zina baginya. Dasarnya adalah pernyataan Rasulullah saw. Yang
dikemukakan Umar bin Khathtab yang telah dikutip terdahulu: “sesungguhnya rajam
adalah sangsi bagi orang yang melakukan zina, baik laki-laki maupun perempuan
yang telah menikah”.[7]
6. Hikmah Dilarangnya Zina
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut diatas, menurut pandangan Islam
adalah karena zina merupakan perbuatan tercela yang dapat menurunkan derajat
dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan, niscaya
martabat manusia akan hilang kkarena tata aturan perkawinan dalam masyarakat
akan rusak. Di samping itu, pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah swt.
Tentang kebolehan dan anjuran Allah swt. Untuk menikah.
Disamping hal diatas, terdapat beberapa hikmah yang lain sebagai berikut.
a.
Mencegah bahaya
merajalelanya perzinaan, kemungkaran, dan pelacuran yang mengakibatkan
kerusakan dan kehancuran peradaban dan penularan penyakit yang sangat
berbahaya.
b.
Memelihara jiwa,
mempertahankan kehormatan, melindungi keutuhan keluarga yang justru merupakan
unsur utama masyarakat. [8]
B. Menuduh Zina (Qadzaf)
1. Pengertian
Qadzaf
Qadzaf adalah bentuk
mashdar dari qadzafa-yuqdzifu yang artinya melempar. Sedangkan menurut
istilah qadzaf yaitu menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa adanya alasan
yang meyakinkan.[9]
Menuduh seseorang berbuat
zina adalah perbuatan haram sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ.
Artinya :
“Sungguh,
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik yang lengah dan beriman
(dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan
mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nur:
23)
Unsur menuduh
zina (jarimah qazf) ada tiga, yaitu menuduh zina atau mengingkari nasab,
orang yang dituduh itu muhsan, dan bukan pezina, serta ada iktikad
jahat. Orang yang menuduh zina harus dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Tuduhan zina harus diucapkan dalam bahasa yang tegas (eksplisit), seperti, “Hai
Pezina,” atau “Aku telah melihatmu berzina.[10]
2. Hadd Qadzaf
Orang yang seseorang
berbuat zina, maka hukumannya didera sebanyak 80 kali. Adapun hadd qadzaf bagi
hamba sahaya yang menuduh berbuat zina adalah separuh dari yang merdeka yaitu
didera 40 kali. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt. Berikut.
Artinya:
Dan orang-orang yang
menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang
fasik. (QS an-Nuur: 4)
3. Syarat-syarat Berlakunya Hadd
Qadzaf
Hadd qadzaf wajib dilakukan
terhadap penuduh berzina, jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Yang menuduh berakal
sehat dan baligh
b. Tuduhan tidak terbukti
c. Orang yang dituduh itu
jelas keadaan muhshan (berakal sehat, baligh, merdeka, Islam, suci dari
perbuatan zina)
d. Yang menuduh ityu bukan
ayah atau ibu, kakek atau nenek dan seterusnya ke atas
e. Tuduhan itu objeknya zina
f. Tuduhan dilakukan tanpa
dibarengi syarat atau terkait dengan sesuatu lainnya.[11]
4. Syarat-syarat Gugurnya
Hadd Qadzaf
Hadd qadzaf dapat gugur
dalam arti si penuduh dibebaskan dari hadd qadzaf, jika terjadi keadaan sebagai
berikut:
a. Penuduh dapat mendatangkan
empat orang saksi bahwa tertuduh betul-betul berzina.
b. Dengan li’an, jika suami
menuduh istrinya berzina tanpa mengemukakan empat orang saksi. Li’an adalah
sumpah suami yang menuduh istrinya berzina.
c. Tertuduh memaafkan.[12]
5. Hikmah Dilarangnya Qadzaf
Hikmah dilarangnya qadzaf
adalah sebagai berikut:
a. Mencegah seorang untuk
tidak berbuat batil, mengingat menuduh zina termasuk perbuatan batil.
b. Mencegah terjadinya suatu
berita kebohongan dan pencemaran nama baik orang yang dituduh di tengah-tengah
masyarakat.
c. Untuk melindungi
kehormatan orang muslim, menjaga reputasinya dan memelihara kemuliaannya.
d. Mencegah orang untuk
tidak berbuat kefasikan yang menyebabkan tertuduh dan tertolaknya dari kasih
sayang Allah swt.
e. Untuk menjaga kesucian masyarakat
dari maraknya perzinaan di dalamnya dan tersebar akhlak tercela diantara kaum
muslimin yang notabene orang-orang adil dan orang-orang bersih.[13]
C. Pemberontakan (Bughah)
1. Pengertian dan Dasar
Hukum Bughah
Kata bughah adalah bentuk
jamak dari fi’il bagha-yubghi yang berarti mencariatau Al-Bagyu
(Pemberontakan). Bisa pula berarti; maksiat, melampaui batas, berpaling dari
kebenaran dan zhalim. Sedangkan menurut syara’ bughah adalah orang yang
menentang atau memberontak kepada pemimpin pemerintahan Islam yang sah. Sering
juga diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah
tanpa alasan.[14] Salah
satu definisinya juga (Wahbah Al-Zuhaili 1989: 142), Bughah adalah melakukan
perlawanan terhadap penguasa yang sah dengan mengerahkan kekuatan atas suatu
kebijaksanaannya, karena berbeda paham.[15]
Memerangi pemberontak hukumnya wajib demi menegakkan hukum Allah, sebagaimana
dijelaskan dalam Surah Al-Hujarat ayat 9.
...فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا
عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ...
Artinya:
“...Jika salah satu dari
keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
(golongan) yang berbuat zhalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah...” (QS. Al-Hujarat: 9)
2. Tindakan Hukum terhadap
Bughah
Orang-orang yang
membangkang harus diusahakan untuk kembali mentaati Imam atau pemimpin yang sah.
Tindakan yang dilakukan harus ditempuhkan dengan cara yang baik dan benar serta
harus bertahap dari cara yang ringan sampai yang paling berat. Jika itu tidak
berhasil maka bisa diberi ultimatum atau ancaman untuk memeranginya. Jika masih
belum bisa dengan cara ini maka bisa diperangi. Hal ini dijelaskan dalam firman
Allah swt. Berikut.
Artinya :
. . . jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
(golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu,
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. . . (QS al-Hujarat: 9)
3. Status Hukum Bughah
Pemberontak (bughah)
tidak dihukum kafir. Jika dua golongan orang-orang mukmin berperang jadi kaum
pemberontak masih dalam kelompok orang-orang mukmin, jika mereka bertaubat
taubatnya diterima maka mereka tidak boleh diperangi lagi.
4. Hikmah Dilarangnya Bughah
Ada beberapa hikmah dilarangnya bughah yaitu:
a.
Terjadinya kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat
b.
Pemerintah atau Imam yang sah menurut hukum diberi
kebebasan untuk bertindak dalam rangka membela diri dan menegakkan keadilan
c.
Masyarakat tidak boleh semena-mena melawan pemerintah
yang sah
d. Jika ada perbedaan pendapat harus disalurkan
dengan cara yang baik dan benar
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Quran dan Sunnah telah menetapkan hukuman tertentu
untuk kesalahan-kesalahan tertentu. Kesalahan-kesalahan tersebut disebut dosa
yang mengharuskan adanya hukuman. Kesalahan-kesalahan tersebut terdiri dari
berzina, menuduh berzina (qadzaf), dan memberontak (bughah). Terhadap pelaku
salah satu perbuatan ini dikenakan hukuman sebagaimana yang ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya.
B. Saran
Dalam makalah ini, penulis menyarankan agar kita dapat menghindari dan
menjauhkan diri dari perbuatan zina, qadzaf, dan memberontak (bughah) supaya
kita terhindar dari hukuman di dunia maupun di akhirat sehingga kehidupan kita
menjadi aman dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan Saleh, 2008, Kajian Fiqh Nabawi
& Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Rizal Qosim, M. 2009, Pengamalan Fiqih Kelas
XI MA. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
[1]Rizal Qosim, M., Pengamalan
Fiqih Kelas XI MA. (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hal.
23.
[2] Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 437-438.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar