Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi
(Dari kisah nyata
seorang guru.)
----------------------------
Di suatu sekolah, ada seorang guru yang selalu tulus
mengajar dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh
membuat suasana kelas yang baik untuk murid-muridnya.
Ketika guru itu menjadi wali kelas 5, seorang anak–salah satu murid di kelasnya– selalu berpakaian kotor dan
acak-acakan. Anak ini malas, sering terlambat dan selalu mengantuk di kelas.
Ketika semua murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab kuis atau
mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekalipun mengacungkan tangannya.
Guru itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa
menyukai anak ini. Dan entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan
antipati terhadap anak ini. Di raport tengah semester, guru itu pun menulis apa
adanya mengenai keburukan anak ini.
Suatu hari, tanpa disengaja, guru itu melihat catatan raport
anak ini pada saat kelas 1. Di sana tertulis: “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa
mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan,”
“..Ini pasti
salah, ini pasti catatan raport anak lain….,” pikir guru itu sambil
melanjutkan melihat catatan berikutnya raport anak ini.
Di catatan raport kelas 2 tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat ibunya
yang sakit-sakitan,”
Di kelas 3 semester awal, “Sakit
ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering
mengantuk di kelas,”
Di kelas 3 semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih terpukul dan
kehilangan harapan,”
Di catatan raport kelas 4 tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup,
kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini,”
Terhentak guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan
dada. Dan tanpa disadari diapun meneteskan air mata, dia mencap memberi label
anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang bertahan dari nestapa
yang begitu dalam…
Terbukalah mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru
itu menyapa si anak:
“Bu guru
kerja sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar
ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”
Untuk pertama kalinya si anak memberikan senyum di wajahnya.
Sejak saat itu, si anak belajar dengan sungguh-sungguh,
prepare dan review dia lakukan di bangkunya di kelasnya.
Guru itu merasakan kebahagian yang tak terkira ketika si
anak untuk pertama kalinya mengacungkan tanganya di kelas. Kepercayaan diri si
anak kini mulai tumbuh lagi.
Di Kelas 6, guru itu tidak menjadi wali kelas si anak.
Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar kartu dari
si anak, di sana tertulis. “Bu guru baik
sekali seperti Bunda, Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”
Enam tahun kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu
pos dari si anak. Di sana tertulis, “Besok
hari kelulusan SMA, Saya sangat bahagia mendapat wali kelas seperti Bu Guru
waktu kelas 5. Karena Bu Guru lah, saya bisa kembali belajar dan bersyukur saya
mendapat beasiswa sekarang untuk melanjutkan sekolah ke kedokteran.”
Sepuluh tahun berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah
kartu. Di sana tertulis, “Saya menjadi
dokter yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya mengerti rasa
syukur karena bertemu dengan Ibu guru dan saya mengerti rasa sakit karena saya
pernah dipukul ayah,”
Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu guru saya waktu kelas 5. Bu
guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh
waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang
dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas 5.
Setahun kemudian, yang datang adalah surat undangan, di sana
tertulis satu baris,
“Mohon duduk
di kursi Bunda di pernikahan saya,”
Guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia.