Laman

Minggu, 04 Desember 2016

MODEL BERFIKIR KAJIAN ISLAM : EPISTEMOLOGI BAYANI, BURHANI & IRFANI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya sejarah perkembangan Islam memiliki banyak urgensi. Ia tidak hanya sekedar berbicara tentang aliran-aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses berfikir kritis, analisis dan sistematis.
Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuisisme.Sementara itu, dalam pemikiran filsafat hindu di nyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berikir dalam Islam, yakni bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Dalam makalah  ini, akan di bahas mengenai model berfikir kajian Islam, epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani.

B.     Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.    Bagaimana model berfikir kajian Islam  epistemologi bayani ?
2.    Bagaimana model berfikir kajian Islam  epistemologi burhani ?
3.    Bagaimana model berfikir kajian Islam  epistemologi irfani ?
4.    Bagaimana keunggulan dan kekurangan dari ketiga epistemologi tersebut ?
5.    Bagaimana perkembangan dari ketiga epistemologi tersebut pada saat ini ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Memahami dan mendeskripsikan pengertian model berfikir kajian Islam  epistemologi bayani.
2.      Memahami dan mendiskripsikan pengertian model berfikir kajian Islam  episeimologi burhani.
3.      Memahami dan mendiskripsikan pengertian model berfikir kajian Islam  epistemologi irfani.
4.      Memahami dan mendiskripsikan keunggulan serta kekurangan dari ketiga epistemologi.
5.      Memahami dan mendiskripsikan perkembangan ketiga epistemologi pada saat ini.

D.    Kegunaan Penulisan
1.      Kegunaan teoritis yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai khazanah wawasan dan keilmuan bagi mahasiswa (i) yang mengambil dan mempelajari mata kuliah metodologi studi Islam khususnya mengenai pembahasan model berfikir kajian Islam  Epistemologi bayani, burhani dan Irfani.
2.      Keguaan praktis yaitu menjadi khazanah keilmuan bagi mahasiswa yang mempelajari metodologi studi islam dan sebagai referensi untuk menambah koleksi perpustakaan STAIN Palangka Raya.

E.     Metode Penulisan
 Adapun metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode studi perpustakaan dengan menggunakan buku perpustakaan sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literature yang ada kaitannya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Epistemologi
Sebelum memasuki pembahasan yang lebih mendalam tentang apa itu bayani, burhani dan irfani, sebaiknya perlu di ketahui terlebih dahulu tentang pengertian epistemologi.
Ada beberapa pengertian epistemologi, antara lain :[1]
1.         Epistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia di peroleh, apakah dari akal pikiran (Rasionalisme), atau dari pengalaman panca indera (Empirisme), atau dari ide-ide (Idealisme), atau dari Tuhan (Aliran Teologisme). Juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia artinya sampai dimana kebenaran pengetahuan kita. Hal ini menimbulkan berbagai paham seperti idealisme yang beranggapan bahwa kebenaran terletak pada kenyataan yang ada (Realitas), juga menimbulkan paham pragmatism bahwa kebenaran terletak pada kemanfaatan atau kegunaannya, bukan pada ide atau realitas.
2.      Epistemologi adalah bidang studi filsafat manusia (menurut pandangan filsafat yahudi ) yang mempersoalkan hal ihwal pengetahuan, yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang di kemukakan oleh epistemology terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar. Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan induktif dan deduktif. Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu pengetahuan apapun. Dengan demikian, melalui kedua metode ini ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu saling meningkatkan diri kedalam satu kesatuan yang utuh.
3.      Epistemologi adalah bidang filsafat nilai yang secara khusus mempersoalkan pengetahuan tentang nilai kebenaran dan otomatis juga mempersoalkan tentang bagaimana cara mendapatkannya.
4.      Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa pengetahuan cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan serta jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil pemeriksaan dan penyalidikan benda hingga diketahui manusia. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran terhadap murid-muridnya.

B.     Epistemologi Bayani
1.      Pengertian Bayani
Secara etimologi, bayan berati penjelasan. Ali Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al-Arab mengartikan sebagai memisahkan dan terpisah dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar ( jelas dan penjelasan berkaitan dalam fisi dari metode bayani).[2]
Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti yaitu sebagai aturan penafsiran wacana dan sebagai syarat-syarat memproduksi wacana.Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran.Sedangkan secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bias bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.[3]
2.      Perkembangan Bayani
            Pada masa Syafi’I (767-820), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mencakup masalah-masalah ushul atau pokok dan yang berkembang hingga ke furu atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’I membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan yaitu :[4]
a.       Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah di jelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b.      Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
c.       Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
d.      Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
e.       Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atau sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada yaitu Al-Qur’an, sunnah dan Qiyas kemudian ditambah Ijma.
Al- Jahizh (868 M) mengkritik konsep Syafi’I di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’I baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal menurutnya inilah yang terpenting dalam proses bayani. Karena itu sesuai dengan asumsinya bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bayani yaitu :[5]
a.       Kefasihan ucapan
b.      Seleksi huruf dan lafal
c.       Adanya keterbukaan makna
d.      Adanya kesesuaian antara kata dan makna
e.       Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan kebenaran yang  di sampaikan dan mengakui kelemahan serta  kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam Al-Qur’an  tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis  atas pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.[6]
Menurut Ibnu Wahab, bayani bukan diarahkan untuk mendidik mendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep ashul furu caranya dengan menggunakan paduan pola yang di pakai ulama fiqih dan kalam.[7]
3.      Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan.Pertama berpegang pada teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab.Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan suatu masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya adalam teks, karena adanya kesamaan illah. [8]
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas :[9]
a.       Adanya al-ashl,  yaitu nash suci yang memberikan hukum dan di pakai sebagai ukuran.
b.      Al-far, yakni ssesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
c.       Hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d.      Illah, yakni keadaan tertentu yang di pakai sebagai dasar ketetapan hukum ashl.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurmah.Arak dari perasan kurma disebut far (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya illah karena memabukkan. Hasilnya arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.

C.     Epistemologi Irfani
1.   Pengertian Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab Arafah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan, tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).Karena itu secara terminologis, irfan biasa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah rohani yang dilakukan atas dasar cinta.[10]
2.   Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam lima fase :[11]
a.       Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk perilaku zuhud.
b.      Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini di tangan Robiah Al-Adawiyah (801 M) zuhud dilakukan atas dasar cinta pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c.       Fase pertmbuhan, terjadi pada abad 3-4 hijriah, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak).
d.      Fase puncak, terjadi pada abad ke lima hijriah. Pada periode ini irfan mencapai masa gemilang .irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
e.       Fase spesifikasi, terjadi pada abad ke enam dan tujuh hijriah berkat pengaruh Al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin di kenal dan berkembang dalam masyarakat Islami. Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah terpecah menjadi dua aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoritis.
f.     Fase kemunduran terjadi pada abad ke- 8. Sejak abad itu irfan tidak mengalami kemajuan bahkan mengalami kemunduran.
3.   Metode Irfani
Pengetahuan irfan tidak di dasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia relaitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, di harapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, di konsep kemudian di kemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan : persiapan, penerimaan dan pengungkapan dengan lisan atau tulisan.[12]

D.    Epistemologi Burhani
1. Pengertian Burhani
Al-Bur`hani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui. Melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik.[13]
2. Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama kali di bangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili) yaitu cara berfikir yang di dasarkan atas proposisi tertentu. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi burhani. Cara berfikir Aristoteles ini pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al-Makmun. Sarjana pertama yang mengenalkan dan  menggunakan metode burhani adalah Al-Kindi. Namun karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah Al-Rozi. Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa Al-Farabi.[14]
3. Metode Burhani
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat :[15]
a.       Mengetahui latar belakang dan penyusunan premis
b.      Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan
c.       Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan.
Selain itu, burhani bias juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat-syarat bahwa objek-objek dari pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.[16]
Derajat di bawah silogisme burhani adalah silogisme dialektika, yang banyak di pakai dalam penyusunan konsep teologis.Silogisme dialektika adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat meyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif.[17]

E.     Keunggulan dan kekurangan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani
Pada prinsipnya,islam telah memiliki epistemologi yang komperhensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologi yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam perkembangannya lebih di dominasi oleh cara berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir Irfan yaitu (kasyf) yang sangat sufistik, kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada pengguna rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-qur”an dan Hadist) sebagai sumber utama islam yang berpikir universal sehingga sebagai pedoman dan patokan.
Dalam Epistemologi bayani sebenarnya ada pengguna rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Pengguna yang terlalu dominan atas epistemologis ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidamampuan merespon perkemabangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung dibawa bayang-bayang teks, dan tdak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun diatas semangat akal dan logika dan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani.
Namun kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan reaitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks dari pada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
Diantara keunggulan Irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musya>hadah, dan muka>syafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indera-indera manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriyah alam dan manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melaui dimensi-dimensi batiniyahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan lahiriyah.
Namun kendala ataupun keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati hanya segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pencucian diri yang tinggi disamping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal,seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyum masuk kealam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama versi kuno yang dikembangkan pemikiran Hermefisicm.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradaksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.
F.     Perkembangan Epistemologi yang digunakan pada saat ini
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada [bayani, irfani dan burhani ], dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal], tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia . Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia. Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah, Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut Al-Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut Al-Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran.  Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.


                                                                          
















BAB III
PENUTUP

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab Islam yang di dasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Pengetahuan irfan tidak di dasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak di peroleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, di konsep kemudian di kemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu: persiapan, penerimaan, dan pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri terhadap pada teks burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang di lakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan, sedangkan burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.Rasio inilah yang memberikan penilaian keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. I
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia,Filsafat,dan Pendidikan), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Metode Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990, Cet. II
Mudyaharjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005.

 
Sholeh, Khudori S,  Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Buku pedoman Pengantar Studi Islam oleh Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA.



[1] Khudori S. Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, h. 32.
[2] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia,Filsafat,dan Pendidikan), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, h 56.
[3]Ibid.,h. 58.
[4] Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, h. 78.
[5]Ibid.,h. 80.
[6]Ibid.,h. 81.
[7]Ibid.,h. 82.
[8] M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, h. 124.
[9]Ibid.,h. 126.
[10] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,Jakarta : Kencana, 2005, h. 95.
[11] Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan…… h. 80.
[12]M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia……, h. 128.
[13]Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam……, h. 98.
[14]Ibid.,h. 101.
[15]M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia……,h. 131.
[16]Ibid.,h. 132.
[17]Ibid.,h. 133.