BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya sejarah perkembangan Islam
memiliki banyak urgensi. Ia tidak hanya sekedar berbicara tentang aliran-aliran
pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam
lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses
berfikir kritis, analisis dan sistematis.
Dalam kajian epistemologi
barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan
intuisisme.Sementara itu, dalam pemikiran filsafat hindu di nyatakan bahwa
kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman
pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam
terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan
teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berikir dalam Islam,
yakni bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang
berbeda tentang pengetahuan.
Dalam makalah
ini, akan di
bahas mengenai model berfikir kajian Islam, epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani.
B. Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini,
yaitu sebagai berikut :
1.
Bagaimana model
berfikir kajian Islam epistemologi bayani ?
2.
Bagaimana model
berfikir kajian Islam epistemologi burhani ?
3. Bagaimana model berfikir kajian Islam epistemologi irfani ?
4. Bagaimana
keunggulan dan kekurangan dari ketiga epistemologi tersebut ?
5. Bagaimana
perkembangan dari ketiga epistemologi tersebut pada saat ini ?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Memahami dan mendeskripsikan
pengertian model berfikir kajian
Islam epistemologi bayani.
2.
Memahami dan mendiskripsikan
pengertian model berfikir kajian
Islam episeimologi burhani.
3. Memahami dan mendiskripsikan
pengertian model berfikir kajian
Islam epistemologi irfani.
4. Memahami
dan mendiskripsikan keunggulan serta kekurangan dari ketiga epistemologi.
5. Memahami
dan mendiskripsikan perkembangan ketiga epistemologi pada saat ini.
D. Kegunaan
Penulisan
1.
Kegunaan teoritis yaitu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai
khazanah wawasan dan keilmuan bagi mahasiswa (i) yang mengambil dan mempelajari
mata kuliah metodologi studi Islam khususnya mengenai pembahasan model berfikir
kajian Islam Epistemologi bayani,
burhani dan Irfani.
2.
Keguaan praktis yaitu
menjadi khazanah keilmuan bagi mahasiswa yang mempelajari metodologi studi
islam dan sebagai referensi untuk
menambah koleksi perpustakaan STAIN Palangka Raya.
E. Metode Penulisan
Adapun
metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode studi perpustakaan
dengan menggunakan buku perpustakaan sebagai bahan
referensi dimana penulis mencari literature yang ada kaitannya dengan makalah
yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Epistemologi
Sebelum memasuki pembahasan yang lebih
mendalam tentang apa itu bayani, burhani dan irfani, sebaiknya perlu di ketahui
terlebih dahulu tentang pengertian epistemologi.
1.
Epistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan
manusia di peroleh, apakah dari akal pikiran (Rasionalisme), atau dari pengalaman
panca indera (Empirisme), atau dari ide-ide (Idealisme), atau dari Tuhan
(Aliran Teologisme). Juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia
artinya sampai dimana kebenaran pengetahuan kita. Hal ini menimbulkan berbagai
paham seperti idealisme yang beranggapan bahwa kebenaran terletak pada
kenyataan yang ada (Realitas), juga menimbulkan paham pragmatism bahwa
kebenaran terletak pada kemanfaatan atau kegunaannya, bukan pada ide atau
realitas.
2.
Epistemologi adalah bidang studi filsafat manusia (menurut pandangan
filsafat yahudi ) yang mempersoalkan hal ihwal pengetahuan, yang meliputi
antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan
kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang di kemukakan oleh
epistemology terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke
arah tercapainya pengetahuan yang benar. Adapun metode yang dimaksud adalah
metode analisis dan sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan
induktif dan deduktif. Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu
pengetahuan apapun. Dengan demikian, melalui kedua metode ini ilmu pengetahuan
yang beraneka ragam itu saling meningkatkan diri kedalam satu kesatuan yang
utuh.
3.
Epistemologi adalah bidang filsafat nilai yang secara khusus
mempersoalkan pengetahuan tentang nilai kebenaran dan otomatis juga
mempersoalkan tentang bagaimana cara mendapatkannya.
4.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti apa pengetahuan cara manusia memperoleh dan
menangkap pengetahuan serta jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi,
setiap pengetahuan manusia merupakan hasil pemeriksaan dan penyalidikan benda
hingga diketahui manusia. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas
fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi
guru bahwa ia memberikan kebenaran terhadap murid-muridnya.
B. Epistemologi
Bayani
1.
Pengertian Bayani
Secara
etimologi, bayan berati penjelasan. Ali Jabiri berdasarkan beberapa makna yang
diberikan kamus lisan al-Arab mengartikan sebagai memisahkan dan terpisah dalam
kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar ( jelas dan
penjelasan berkaitan dalam fisi dari metode bayani).[2]
Sementara
itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti yaitu sebagai aturan penafsiran
wacana dan sebagai syarat-syarat memproduksi wacana.Berbeda dengan makna
etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru
lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah
metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu
pemikiran.Sedangkan secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini
bukan berarti akal atau rasio bias bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi
tetap harus bersandar pada teks.[3]
2.
Perkembangan Bayani
Pada
masa Syafi’I (767-820), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mencakup masalah-masalah ushul atau pokok dan yang berkembang hingga ke furu
atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’I membagi bayan dalam lima bagian dan
tingkatan yaitu :[4]
a.
Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang
telah di jelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan
bagi makhluk-Nya.
b.
Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan
sunnah.
c.
Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
d.
Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
e.
Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atau sesuatu yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Dari lima derajat bayan
tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada yaitu Al-Qur’an, sunnah dan Qiyas kemudian ditambah Ijma.
Al- Jahizh (868 M)
mengkritik konsep Syafi’I di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’I baru
pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan
pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal menurutnya
inilah yang terpenting dalam proses bayani. Karena itu sesuai dengan asumsinya
bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan-aturan
penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bayani yaitu :[5]
a.
Kefasihan ucapan
b.
Seleksi huruf dan lafal
c.
Adanya keterbukaan makna
d.
Adanya kesesuaian antara kata dan makna
e.
Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan kebenaran yang di sampaikan dan mengakui kelemahan
serta kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini, bayani telah
berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam Al-Qur’an tetapi telah berubah
menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan
atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar
bahkan sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.[6]
Menurut Ibnu Wahab, bayani
bukan diarahkan untuk mendidik mendengar tetapi sebuah metode untuk membangun
konsep ashul furu caranya dengan menggunakan paduan pola yang di pakai
ulama fiqih dan kalam.[7]
3.
Metode Bayani
Untuk mendapatkan
pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan.Pertama berpegang pada teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab.Kedua, menggunakan metode qiyas (analog)
dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul
fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan suatu masalah lain yang telah ada kepastian
hukumnya adalam teks, karena adanya kesamaan illah. [8]
Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi dalam melakukan qiyas :[9]
a.
Adanya al-ashl, yaitu nash
suci yang memberikan hukum dan di pakai sebagai ukuran.
b.
Al-far, yakni ssesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
c.
Hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d.
Illah, yakni keadaan tertentu yang di pakai sebagai dasar ketetapan hukum ashl.
Contoh qiyas adalah soal
hukum meminum arak dari qurmah.Arak dari perasan kurma disebut far (cabang)
karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr.
Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) dan
hukumnya haram, alasannya illah karena memabukkan. Hasilnya arak adalah
haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.
C.
Epistemologi
Irfani
1.
Pengertian Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa
Arab Arafah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan, tapi ia berbeda
dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh
secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).Karena
itu secara terminologis, irfan biasa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya
setelah adanya olah rohani yang dilakukan atas
dasar cinta.[10]
2. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara
umum dibagi dalam lima fase :[11]
a.
Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Apa yang disebut baru
ada dalam bentuk perilaku zuhud.
b.
Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriah. Jika awalnya zuhud
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini di tangan
Robiah Al-Adawiyah (801 M) zuhud dilakukan atas dasar cinta pada Tuhan, bebas
dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c.
Fase pertmbuhan, terjadi pada abad 3-4 hijriah, para tokoh sufisme mulai
menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku,
sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak).
d.
Fase puncak, terjadi pada abad ke lima hijriah. Pada periode ini irfan
mencapai masa gemilang .irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk
mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
e.
Fase spesifikasi, terjadi pada abad ke enam dan tujuh hijriah berkat
pengaruh Al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin di kenal dan berkembang
dalam masyarakat Islami. Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah
terpecah menjadi dua aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoritis.
f.
Fase kemunduran terjadi pada abad
ke- 8. Sejak abad itu irfan tidak mengalami kemajuan bahkan mengalami
kemunduran.
3. Metode Irfani
Pengetahuan irfan tidak
di dasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada kasyf, yaitu
tersingkapnya rahasia-rahasia relaitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, di harapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, di konsep kemudian di kemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan : persiapan, penerimaan dan pengungkapan dengan
lisan atau tulisan.[12]
D. Epistemologi Burhani
1. Pengertian Burhani
Al-Bur`hani secara sederhana bisa diartikan
sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui. Melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan
proposisi dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara
aksiomatik.[13]
2. Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama
kali di bangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik
(tahlili) yaitu cara berfikir yang di dasarkan atas proposisi tertentu. Pada
masa Alexander Aprodisi murid serta
komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah
pemikiran Islam berganti nama menjadi burhani. Cara berfikir Aristoteles ini
pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar
dilakukan pada masa kekuasaan Al-Makmun. Sarjana pertama yang mengenalkan
dan menggunakan metode burhani adalah
Al-Kindi. Namun karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka
metode burhani tidak begitu bergema. Metode burhani ini semakin berkembang
dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah Al-Rozi. Metode burhani akhirnya benar-benar
mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa Al-Farabi.[14]
3. Metode Burhani
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan
aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme
ini harus memenuhi beberapa syarat :[15]
a. Mengetahui latar
belakang dan penyusunan premis
b. Adanya konsistensi
logis antara alasan dan kesimpulan
c. Kesimpulan yang diambil
harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran
atau kepastian lain.
Al-Farabi
mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan
diperlukan. Premis yang benar adalah
premis yang memberi keyakinan, meyakinkan.
Selain itu, burhani
bias juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan
syarat-syarat bahwa objek-objek dari pengetahuan indera tersebut harus
senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada
yang menyimpulkan sebaliknya.[16]
Derajat di bawah
silogisme burhani adalah silogisme dialektika, yang banyak di pakai dalam
penyusunan konsep teologis.Silogisme dialektika adalah bentuk silogisme yang
tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak
sampai derajat meyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif.[17]
E.
Keunggulan
dan kekurangan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani
Pada prinsipnya,islam telah memiliki
epistemologi yang komperhensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologi yang ada (Bayani,
Burhani dan Irfani), dalam perkembangannya lebih di dominasi oleh cara berpikir
bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir Irfan yaitu (kasyf) yang sangat
sufistik, kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada pengguna
rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran
teks (al-qur”an dan Hadist) sebagai sumber utama islam yang berpikir universal
sehingga sebagai pedoman dan patokan.
Dalam Epistemologi bayani sebenarnya ada pengguna
rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada.
Pengguna yang terlalu dominan atas epistemologis ini telah menimbulkan stagnasi
dalam kehidupan beragama, karena ketidamampuan merespon perkemabangan zaman.
Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber
sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung dibawa bayang-bayang teks, dan
tdak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Sistem berpikir yang konstruksi
epistemologinya dibangun diatas semangat akal dan logika dan beberapa premis
merupakan keunggulan epistemologi burhani.
Namun kendala yang sering dihadapi
dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan reaitas.
Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks.
Masyarakat lebih banyak memenangkan teks dari pada konteks, meskipun yang lebih
cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
Diantara keunggulan Irfani adalah
bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musya>hadah, dan muka>syafah lebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional
dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indera-indera manusia dan
fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriyah alam dan manifestasinya,
namun manusia dapat berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan
hakikat tunggal alam (Allah) melaui dimensi-dimensi batiniyahnya sendiri dan
hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari
segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan lahiriyah.
Namun kendala ataupun keterbatasan
irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati hanya segelintir
manusia yang mampu sampai pada taraf pencucian diri yang tinggi disamping itu,
irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman
individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik
epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal,seperti yang diklaim
irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan
bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyum masuk kealam mistis yang
telah ada dalam pemikiran agama versi kuno yang dikembangkan pemikiran
Hermefisicm.
Pendekatannya yang supra-rasional,
menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradaksal yang
segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang
mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan
terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir
manusia.
F. Perkembangan
Epistemologi yang digunakan pada saat ini
Pada
prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan
epistemologis yang ada [bayani, irfani dan burhani ], dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat
tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik.
Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani
] secara optimal. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio
[akal], tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada.
Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan
stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu
menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung
di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling
mengisi dan melengkapi dengan teks. Pendekatannya yang supra-rasional,
menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang
segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang
mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan
terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir
manusia . Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam
dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang
bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai
maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal
bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai
sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia. Manusia dan akalnya adalah
penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash.
Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat global.
Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan
realitas keadaan dan zaman yang terus berubah, Epistemologi burhani
berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan
rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan
pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan,
sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Perpaduan antara
pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek
yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang
menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang
dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan
hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan
yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa
[ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam
diri mereka. Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr]
ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan
sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya
adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar
ini disebut Al-Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu
menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan
kearifan yang menurut Al-Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran.
Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam
membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr
dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap
bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat
diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus
dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia
secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab Islam yang di dasarkan atas otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.Secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
tafsir dan penalaran.Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa
bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Pengetahuan irfan tidak di dasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada
kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak di peroleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah
rohani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, di konsep kemudian di
kemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu: persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,
burhani sama sekali tidak mendasarkan diri terhadap pada teks burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang di lakukan lewat dalil-dalil
logika.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan
pengetahuan lewat analogi furu kepada yang asal, irfani menghasilkan
pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan, sedangkan burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber
pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.Rasio inilah yang
memberikan penilaian keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996,
Cet. I
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia,Filsafat,dan
Pendidikan), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008.
Metode Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1990, Cet. II
Mudyaharjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana,
2005.
|
Sholeh, Khudori S, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004.
Buku
pedoman Pengantar Studi Islam oleh Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA.
[1] Khudori S. Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004, h. 32.
[2] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan
(Manusia,Filsafat,dan Pendidikan), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, h 56.
[4] Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006, h. 78.
[6]Ibid.,h. 81.
[8] M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008, h. 124.
[10] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,Jakarta : Kencana,
2005, h. 95.