Laman

Kamis, 02 April 2015

PROPHETIC LEARNING Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian (Dwi Budiyanto)



PROPHETIC LEARNING
Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian
(Dwi Budiyanto)

Judul              : Prophetic Learning Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian
Penulis            : Dwi Budiyanto
Penerbit          : Pro-U Media (Yogyakarta)
Halaman         : 268 Halaman

A.  Bagaimana Seorang Muslim Belajar?
Alam telah menganugerahkanmu sepasang mata baja penaka mata rajawali tapi perbudakan telah meredupkan pandanganmu seredup pandangan seekor kelelawar (Muhammad Iqbal)
Suatu saat Harun al-Rasyid, pernah meminta Imam Malik untuk mendatanginya. Datanglah ke tempat kami”, katanya. ”Agar anak-anak kami bisa mendengarkan anak-anak kami bisa mendengar kitab Al Muwatha’ tambahnya. Dengan tegas Imam Malik mengatakan, ”Semoga Allah menjayakan Amirul Mukminin. Ilmu itu datang dari lingkungan kalian (baytun nubuwah). Jika kalian memuliakannya, ia jadi mulia. Jika kalian merendahkannya ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi”
Maka ketika khalifah menyuruh kedua putranya datang ke masjid untuk belajr dengan rakyat, Imam Malik mengatakan, ”Tak apa, tapi dengan syarat mereka tidak boleh melangkah bahu jamaah dan bersedia duduk di posisi mana saja yang lapang bagi mereka”.
Imam malik sangat menyadari bahwa kesuksesan sesorang sangat dipengaruhi oleh motif dan sikap yang melekatdalam diri setiap pembelajar. “Ilmu harus didatangi, bukan mendetangi!” demikian kata Imam Malik. Kalimat ini menegaskan bahwa setiap pembelajar harus memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam belajar.
Belajar dari Konsep Sayyid Quthb
Dalam Ma’alim fi ath-thariq, Sayyid Quthb memberikan gambaran kepada kita tentang tabiat insan pembelajar dari generasi sahabat yang membuat mereka mampu membuat lompatan luar biasa memimpin garda peradaban dunia. Sayyid Quthb menjelaskan, ”Kehebatan generasi sahabat bukan semata-mata karena di sana ada Rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti islam tidak rahmatan lil ’alamin. Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal berupaya untuk mengamalkannya
Generasi sahabat memiliki memiliki kesadaran diri untuk menjadi untuk menjadi pribadi paripurna/taqwa (learning how to be). Untuk mencapai hal itu, mereka harus menginvestasikan amal-amal yang berkualitas (learning how to do). Untuk mencapainya, mereka harus belajar untuk memiliki pemahaman yang baik (learning how think).
Menurut Sayyid Quthb, Pengetahuan memasuki wilayah kepribadian seseorang melalui 3 tahap: Teori, aplikasi dan pengalaman.

Menjadi Muslim Pembelajar
Proses belajar kita semestinya menjadikan diri kita lebih cerdas, inovativ, dan memiliki orientasi hidup yang terang dan jernih. Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengembangkan diri tidak sekedar terkait dengan kerja. Masih banyak bidang-bidang lain diluar profesi kita yang harus dipelajari. Begitu banyak yang harus kita pelajari, setidaknya ada 3 wilayah keilmuan yang harus kita kuasai, yaitu:
1.    Ilmu yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan karakter (character building) dan potensi diri kita. Ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori ini bisa bersumber dari agama atau ilmu pengembangan diri.
2.    Ilmu yang terkait dengan penguatan hubungan sosial. Seperti ilmu-ilmu humaniora, psikologi, politik, ilmu komunikasi, parenting dan sebagainya.
3.    Ilmu yang berhubungan dengan pengembangan profesi. Ilmu-ilmu ini berhubungan dengan profesi yang akan digeluti. Jika kita ingin menjadi guru maka kita harus menguasai bidang pendidikan.

Agar Kuliah Kita Menjadi Berkah
Tidak ada kebaikan dalan ilmu yang kita kuasai jika tidak ada berkah di dalamnya. Di antara tanda bahwa ilmu yang kita pelajari memberi keberkahan adalah apabila bisa mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan yang bertambah-tambah (ziyadatul-khair) baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila meninggal anak Adam, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya” . (HR Muslim). Ternyata, ilmu yang bermanfaat menjadi investasi yang tidak ternilai di akhirat kelak.
Ada tiga hal yang bisa dilakukan agar belajar kita bisa menjadi berkah.
1.    Motivasi yang ikhlas (ikhlash an-niyyah)
Faktor pertama yang membuat ilmu yang dihasilkan dari aktivitas belajar kita menjadi berkah adalah niat kita yang ikhlas untuk mencari keridhaaan Allah bukan yang lain. Motivasi yang ikhlas menentukan hamasah (semangat) dan jiddiyah (kesungguhan) kita dalam belajar.
2.    Belajar dengan sebaik-baiknya (itqan al-amal)
Aktivitas belajar harus dilakukan sebaik mungkin, dengan etos belajar dan profesionalitas yang tinggi (rajin, gigih dan disiplin). Saat kuliah datang tepat waktu dan fokus untuk mendengarkan kuliah, mencatat hal penting dan berdiskusi saat dibutuhkan. Apabila ada tugas, kerjakanlah dengan sebaik-baiknya. Saat mau ujian, maka persiapkan dengan sebaik-baiknya, dan tanpa melakukan maksiat (menyontek).
3.    Pemanfaatan hasil usaha (belajar) dengan tepat (jaudah al-ada’)
Setiap kita mendapatkan ilmu melalui aktivitas belajar, maka sebisa mungkin meng’amalkanya. Saat kuliah kita tuntas menjadi sarjana, jangan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri mencari uang (atau malah tidak dimanfaatkan). Tapi jadilah seorang ahli yang keahliannya bermanfaat untuk islam, bangsa dan negara.
Inilah perkara mendasar kita dalam belajar. Kesadaran inilah yang dimiliki oleh generasi salaf, ketika mereka menuntut ilmu. Mereka berangkat dari motivasi yang benar, proses belajar yang gigih dan disiplin, serta pikiran untuk memanfaatkan ilmu sebanyak-banyaknya bagi kemaslahatan masyarakatdan Islam. Berangkat dari perkara inlah kesuksesan kita dimulai.

B.  Cerdas Dengan Menata Pikiran
Inilah langkah awal kita untuk mengubah diri, yaitu dengan menata pikiran kita. Dari pikiranlah tindakan akan dihasilkan. Jika kita ingin membiasakan diri sebagai muslim pembelajar, maka pertama kali yang harus diubah adalah skala pemikiran kita. Jangan memulai dari kebiasaan-kebiasaan yang bersifat teknis tanpa didahului oleh penataan pikiran kita.
Pikiran kita bisa menjadi sumber nutrisi yang diperlukan oleh diri kita, tetapi juga bisa menjadi racun yang mematikan diri kita. Sungguh, kita banyak menemukan bahwa kesenagan dan kesulitan hidup lebih banyak dikondisikan oleh pikiran kita daripada kenyataan objektif kita. Kadang kala bukan masalah yang membuat kita menjadi berat, tetapi sikap kita dalam menaggapi masalah yang menjadikan kita berat.
Untuk itu perlu adanya penataan pikiran agar jiwa  dan tindakan terkondisikan. Langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk menata pikiran kita yaitu:
1.    Eliminasi
Menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang ada di dalam diri kita, karena pikiran negatif hanya akan menguras energi jiwa sehingga bisa menyebabkan kita kehilangan spirit dan motivasi untuk melakukan tindakan
2.    Substitusi
Setelah menghilangkan pikiran negatif, maka kita harus menggantinya dengan pikiran-pikiran positif, inilah yang disebut dengan substitusi. Fungsi utama substitusi adalah melakukan penetapan yang positif, penegasan, atau peneguhan akan diri kita.
3.    Visualisasi
Visualisasi merupakan usaha yang kita lakukan untuk membuat gambaran nyata tentang keinginan-keinginan kita. Dengan visualisasi kita mencoba melukiskan tujuan dan keinginan kita. Ia merupakan cita-cita tinggi yang terlukiskan dengan detail dan memiliki pijakan basis rasionalitas yang kuat. Oleh karena itu, ulama-ulama kita lebih sering menyebutnya dengan kata al-himmah ‘hasrat yang kuat’ atau ‘cita-cita yang tinggi’
Dengan keuatan visualisasi, kita tidak hanya akan mampu mengembangkan kecerdasan kita,tetapi juga menciptakan realitas seperti yang kita bayangkan. Teringat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “berhati-hatilah dengan firasat seorang mukmin,karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah” (H.r at-Tirmidzi)
Bagaimana firasat atau visualisasi kita menjadi kuat? Syuja’al-Karmani berkata :“Siapa yang menyuburkan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, menghiasi batinnya dengan muroqobah, menundukkan pandangannya dari yang haram, menahan dirinya dari syahwat, dan memakan yang halal maka firasatnya tidak akan salah.”
4.    Ekspektasi Robbani
Menata pikiran dapat dilakukan dengan doa. Doa memberikan efek penguatan secara emosional. Lafal-lafal doa yang dipanjatkan dengan khusuk dan dilandasi keyakinan yang kuat bahwa Allah akan mengabulkan setiap permohonan hamba-Nya akan meningkatkan motivasi dan optimisme.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q.S Al Baqarah:186)

C.  Cerdas Dengan Menata Mental
Pikiran menentukan arah, sementara mental memberikan suntikan energi yang akan menghasilkan tindakan. Pikiran yang positif akan cenderung membentuk mental yang positif, sebaliknya pikiran negatif akan dengan mudah mematikan kedahsyatan mental kita.        Dalam belajar kita membutuhkan penataan pikiran, agar tidak ada noda-noda pikiran negatif yang akan membentuk mental kita menjadi negatif. Pikiran “merasa bodoh” akan membentuk mental kita kurang bersemangat dan tidak meiliki kemauan. Pokiran “tidak bisa” akan membentuk mental kita kurang memiliki keberanian untuk mencoba banyak hal. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakuikan untuk menata mental kita, yaitu:


1.    Menumbuhkan kemauan
Kemauan merupakan sember energi yang menggerakkan seseorang untuk melakukan amal, termasuk didalamnya adalah belajar. Ia merupakan dorongan dalam diri kita untuk melakukan sesuatu yang lebih prestatif dan lebih tinggi.
Langkah yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan kemauan yang kuat untuk belajar adalah menciptakan obsesi dan kuriositas terhadap ilmu, berusaha mencintai apa yang kita lakukan untuk mendahsyatkan kemampuan kita,merasa selalu diawasi oleh Allah sehingga dapat mendorong kita untuk selalu bekerja dan berkarya secara prestatif.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Q.S Al Mulk : 2)
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa setiap muslim harus produktif dalam beramal. Satu satuan waktu bagi setiap muslim harus berbanding lurus dengan minimal satu unit amal. Hidup hanya sekali-kalinya di dunia ini, maka harus diidi dengan aktivitas positif dan produktif. Ia harus diisi dengan belajar.
Gerak juga bisa menumnuhkan kemauan kita. Ia merupakan kerja yang dimotori oleh dimensi fisik kita. Pada saat rasa malas menghinggapi kita untuk belajar, maka segerah bergerak mengikuti suara jiwa untuk melawannya, dalam keadaan apapun. Sesuai firman Allah :
            Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S At Taubah : 41)
2.    Melahirkan efikasi diri
Setiap muslim harus memiliki efikasi diri yang baik, yaitu keinginan yang kuat untuk sukses, yang muncul dari keyakinan diri. Dalam belajar, efikasi diri penting karena dapat mendorong seseorang untuk mendayakan potensi yang dimilikinya.  Rasulullah saw bersabda : “ Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Dan, setiap diri pastilah memiliki potensinya masing-masing. Bersemangatlah kalian dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kalian merasa tidak mampu” (H.r Bukhari)
3.    Mendayakan kesabaran
Kalangan salafus saleh menjadikan kesabaran sebagai bekal untuk mencari ilmu dan belajar. Kesabaran bagi mereka adalah daya tahan diri untuk tetap istiqomah dalam belajar, meskipun kesulitan menghadang. Adapun kesabaran yang harus kita miliki dalam belajar, yaitu :
a.    Sabar dalam menghadapi kekurangan sarana
b.    Sabar dalam menangkal godaan selama belajar
c.    Sabar dalam memahami materi
d.   Sabar dalam menunda kepuasan
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Q.S An Najm : 39)
Ayat di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa dari segi materi penciptaan, tidak ada bedanya natara satu orang dengan orang lain. Bahkan kemuliaan seseorang tidak banyak ditentukan oleh faktor keturunan
4.    Menciptakan zona nyaman
Belajar membutuhkan kondisi nyaman, yaitu kondisi diri kita dan lingkungan kita. Yang bisa kita lakukan untuk menciptakan zona nyaman :
a.    Spiritual Learning
Inti utamanya terletak pada kesadaran diri untuk mempertajam kualitas ruhiyah kita. Menajamkan ruhiyah merupakan upaya untuk menciptakan zona nyaman ketika akan belajar, dengan sepenuhnya mengharap keridhoan Allah. Itu artinya terbuka peluang pertolongan Allah untuk membukakan jalan kepahaman selama kita belajar.
Upaya yang dapat kita lakukan untuk menajamkan ruhiyah adalah melaui pembersihan jiwa sehingga seseorang harus dekat dengan Allah, dan untuk mendekatkan diri kepada Allah bisa dilakukan dengan melaksanakan ibadah.
b.    Menggairahkan otak
Zona nyaman dapat kita ciptakan dengan cara menggairahkan otak, yaitu berusaha mengetahui kinerja otak agar siap untuk belajar dan beraktifitas. Brdasarkan hasil penelitian Sir Roger Walcott Sperry, otak masuisa terdiri dari dua bagian yaitu hemisfer kiri dan kanan. Keduanya memiliki struktur dan fungsi yang berbeda. Menurut Tony Buzan, kedua otak manusia bagaikan sleeping giant, dan salah satu cara mengoptimalkannya adalah dengan pembelajaran yang melibatkan kesetaraan kedua belahan otak itu.


c.    Menata ruang belajar
Cara lain untuk menciptakan zona nyaman adalah dengan menata ruang belajar. Ruangan belajar yang membuat jiwa kita nyaman akan memberikan dorongan kenyamanan fisik yang baik. Keadaan ini akan mendorong seseorang menjadi lebih rileks dan tenang selama belajar. Perlakukan ini akan menjadikan fungsi akal, emosi, dan fisik dapat bekerja dengan baik.

D.  Cerdas Dengan Menata Fisik
Disebabkan oleh kuatnya jiwa maka fisik yang lemah harus tertatih-tatih mengikutinya. Jika fisik tidak mampu mengimbangi kuatnya hasrat, maka jiwa akan memaksanya untuk terus mengikuti, meski sesungguhnya fisik itu tidak lagi kuat. Ia akan segera kelelahan. Akhirnya fisik tidak sanggup menaggung keinginan besar dari akal dan jiwa.
Keadaan fisik kita akan banyak mempengaruhi situasi akal dan jiwa kita. Jika fisik kita sehat dan bugar, maka ia akan mempengaruhi kondisi akal kita menjadi lebih jernih dan tajam untuk berpikir. Akal yang tajam, jiwa yang memancarkan kemauan kuat, serta fisik yang sehat dan bugar akan mengantarkan seseorang pada cita-citanya. Akal, jiwa, dan fisik memiliki keterkaitan kuat untuk membuat seorang menjadi cerdas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penataan fisik sehingga mendukung kecerdasan seseorang meliputi pemenuhan gizi dan nutrisi yang baik sesuai dengan kebutuhan tubuh, olahraga dan gerak tubuh yang teratur dan seimbang, dan relaksasi tubuh yang cukup. Selain tiga hal tersebut, kita juga harus menghindarkan diri dari hal-hal yang mampu membunuh otak seperti pengaruh alkohol, merokok, dan depresi. Latihan berpikir juga dapat menjadi langkah untuk mengolahragakan otak kita sehingga ia berkembang lebih optimal.

E.  Enrichment: Langah Mencerdaskan!
Ternyata otak kita tidak akan berkembang dengan cepat ketika ia tidak mendapatkan nutrisi yang tepat. Nutrisi tersebut dapat berupa pengayaan-pengayaan yang diberikan kepada otak. Dibutuhkan pengayaan yang akan merangsang dan membangkitkan vitalitas otak. Rangsangan yang diberikan pada otak akan membentuk koneksi-koneksi untuk memperkuatinformasi terbaru tersebut. Tidak sekedar membangkitkan kemampuan otak, pengayaan juga mampu meningkatkan stamina mental seorang.


Memperkaya lingkungan
Beberapa hal dapat kita lakukan untuk merekayasa lingkungan kitaagar selalu memperkaya kecerdasan kita.
1.    Berusaha hidup dalam kebaruan (novelty)
Otak manusia cenderung berkembanng ketika berhadapan dengan hal-hal yang baru, Kebaruan menciptakan koneksi antarsel lebih banyak. Rasulullah SAW : Seorang mukmin yang bergaul dengan banyak orang lalu ia sabar dengan tindakan mereka yang menyakitkan, maka itu lebih baik daripada orang yang tidak pernah bergaul dengan orang banyak dan ia tidak bisa bersabar dengan tindakn mereka (HR Ahmad)
a.    Lakukan kegiatan-kegiatan yang tidak biasa yang menunjang pengembangan diri anda
b.    Berlaku aktiflah saat belajar
c.    Lakukan aktivitas intelektual yang menantang sepanjang hidup
2.    Menyulut kuriositas (Keingintahuan)
Inilah pangkal seseorang dalam menguasai ilmu. Rasa ingin tahu mendorong munculnya minat.
a.    Munculkan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang anda temui dan pelajari
b.    Biasakan untuk menyusun pertanyaan kritis dan kreatif terhadap informasi yang anda peroleh
c.    Cobalah hal-hal yang baru yang belum pernah anda lakukan dengan penuh antusias
3.    Mengaktifkan Otak dengan berpikir
Dalam pandangan muslim, cara berpikir kreatif berpangkal pada dua hal.
a.    Keyakkinan bahwa setiap problem yang menimpa umat manusia, selalu disertai oleh kesanggupan manusia utuk mengatasinya
b.    Berpikir diluar keumuman (think Box)
4. Meningkatkan Daya Apresiasi Seni

F.   Prophetic Learning Habits
Bangsa kita perlu menjadi bangsa pembelajar yang memahami apa sebenarnya arti pembelajaran. Pembelajaran seharusnya bisa menjadi seni untuk membentuk manusia, berlangsung terus-menerus dan tidak boleh tersekat oleh apapun baik sekolah, kelas, usia, maupun jenis kelamin. Menjadikan belajar sebagai tradisi itulah yang harus kita tanamkan kepada bangsa ini. Jika selama ini belajar hanya dikaitkan dengan sekolah maka pekerjaan kita saat ini adalah memindahkan suasana sekolah dan kampus ke dalam rumah dan lungkungan kita. Ini artinya kita perlu mengembangkan tradisi berpikir yang benar, tradisi diskusi yang mencerahkan, tradisi membaca yang menyenangkan, dan tradisi untuk mengapresiasi seni yang menginspirasi.
Sayangnya, selama ini kita menyekat tradisi belajar kita hanya di ruang-ruang kelas, bahkan ironisnya, kita sering menemukan beberapa pelajar dan mahasiswa kita yang segera meninggalkan identitas serta karakterakademisnya begitu keluar dari sekolah atau kampus.
Tradisi generasi salaf dalam menuntut ilmu patut kita teladani,bagaimana tradisi mereka mengembangkan diri, terus belajar tanpa henti, melalui banyak jalan. Mereka rajin membaca, mengembara, dan sebagainya. Kita perlu mencontoh kebiasaan muslim pembelajar sehingga nantinya akan mendorong munculnya tradisi muslim pembelajar seperti:
1.    membaca dimana Iqra’ merupakan perintah peratama yang Allah SWT turunkan.
2.    Menulis merupakan tradisi mengikat gagasan, dimana menulis dapat melatih seseorang untuk menekspresikan gagasan secara runtut, jelas, dan teratur. Ia juga menyiapkan kita untuk membaca kondisi di sekitar kita secara cermat dan kritis. Dengan menulis kita sedang belajar berpikir denagn struktur yang kuat.
3.    Perjalanan dalam menutut ilmu yang menjadi tradusi generasi salaf. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa dalam setiap perjalanan senantiasa akan diperoleh pengetahuan-pengetahuan baru
4.    Tradisi berfikir, berfikir merupakan anugrah terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia, dan cara kita mensyukurinya adalah dengan membiasakan untuk mengoptimalkan kita berpikir dalam ilmu dan kebaikan. Tradisi berpikir yang benar akan memperkuat potensi diri.
Tradisi inilah yang perlu dibiasakan dalam sistem pendidikan di Indonesia , Inilah metode mengubah kepribadian Muslim pembelajar (pelajar, santri, mahasiswa, otodidak). Menjadikan para Muslim pembelajar memiliki karakter.
Belajar  bukan lagi menjadi agenda formal untuk mengejar nilai atau ijzah saja, tetapi kita belajar untuk memahami (learning how to think), belajar untuk mengamalkan (learning how to do),dan pada akhirnya belajar untuk menjadi (lerning how to be) artinya belajar harus mampu membentuk pola pikir dan pola sikap dalam kehidupan sehari-hari.

G. Prophetic Teaching: Menjadi Guru Inspiratif
Namanya Musa Bin Hazm. Ia guru dari Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi. Awalnya, orangnya biasa- biasa saja sebelum menjadi ahli hadist. Perkembangan ilmunya tidak pesat. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi ketika ia mulai bergaul dan menimba ilmu pada Imam Ahmad bin Hambal. Sejak saat itu, ia berubah menjadi ulama ahli hadist yang sangat gigih belajarnya. Kisah ini menjelaskan kepada kita tentang pentingnya menjadi manusia-manusia pembelajar dan pengajar. Sebagaimana motto di buku belajar mengaji (Iqro’) anak- anak, “khoirrukum man ta’allamul qur’an wa allammahu” yang artinya,“sebaik-baik kamu adalah yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengajarkannya”. Islam memberikan dorongan kuat buat kita untuk menjadikan program belajar dan mengajar sebagai sebuah kepaduan yang akan membentuk karakter. Secara gamblang Al-Qur’an memaparkan karakter generasi rabbani sebagai orang yang tidak henti untuk mengajar dan tidak pula bosan untuk selalu belajar. “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan kamu tetap mempelajarinya” ( Q.S. Ali Imran :79)
Kata rabbani terambil dari kata rabb, yang memiliki aneka macam makna, antara lain pendidik dan pelindung. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa mereka yang dianugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktifitas, gerak, dan langkah, niat dan ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai agama. Sehingga terjadi internalisasi nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang rabbani –menurut ayat ini- mengandung dua hal. Pertama, terus menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua, terus menerus mempelajarinya.
Sebuah Sapaan dari Rasulullah.
Rasulullah mengajarkan kepada kita tentang hubungan antara mengajar dan belajar. Beliau juga memberikan contoh kepada kita bahwa sekat antara guru dan murid sangatlah tipis. Sebab, sebagaimana kita pahami dari taujih rabbani surat Ali Imran ayat 79 di atas, dalam diri seorang muslim menyatu posisi seorang guru dan murid sekaligus. Ia selalu berproses untuk mengajar dan belajar.
Marilah kita meneropong kehidupan Rasulullah. Nabi Muhammad SAW selalu memanggil orang-orang  yang mengikutinya dengan sapaan: ”sahabatku!”, sebuah sapaan yang luar biasa. Tidak pernah beliau memanggil dengan: ”muridku”, ”pengikutku”, dan yang sejenisnya. Selalu beliau memanggil ,”Sahabatku.” Luar biasa! Efek psikologis yang muncul adalah rasa kedekatan. Tidak ada jarak antara peran sebagai guru dan peran sebagai murid. Pada satu sisi, seorang muslim adalah murid yang memiliki semangat belajar membara. Akan tetapi, ia juga sebagai guru yang memberikan ilmunya secara ikhlas pada orang lain.
Kesadaran inilah semestinya dimiliki oleh muslim pembelajar. Setiap muslim pada hakekatnya adalah seorang guru.
Guru yang diidamkan muslim pembelajar adalah guru yang inspiratif. Guru yang memberikan ilmunya pada siapa pun atas dorongan iman. Guru yang menggerakkan dan menginspirasi, yang mampu memantik kreatifitas. Mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang beragam. Dalam buku Prophetic Learning yang ditulis oleh Dwi Budiyanto, guru dikategorikan menjadi dua karakter, yaitu guru formalistik dan guru inspiratif.

Berikut ini tabel perbandingan kedua karakter guru itu :
Guru Formalistik

Guru inspiratif
Pasif
Mitra Belajar
Aktif
Satu arah
Komunikasi
Dialogis
Masalah yang dihadapi
Fokus
Potensi mitra belajar
Jawaban Instan (Giving Answer)
Hasil
Struktur Berpikir ilmiah (Sharpen mind)
Menerapkan satu cara, dari guru
Proses
Mengembang kan banyak cara/ alternatif
Menganggap orang lain sebagai murid
Pandangan Terhadap orang lain
Menganggap orang lain sebagai sahabat dan mitra belajar

Dari tabel di atas, kita dapat mengambil hikmah bahwa karakter guru inspiratif adalah karakter guru yang moderat, terbuka, humanis dan punya kompetensii paedagogik yang baik. Itulah guru masa depan. Guru yang dengan tulus dan ikhlas menyadari perannya sebagai guru akan mengalami penguatan (reinforcement) motivasi untuk belajar.
Motif kompetensi mendorong seseorang untuk lebih menguasai materi yang akan disampaikan. Seperti seseorang yang akan melakukan presentasi, maka ada dorongan dalam dirinya untuk mempersiapkan diri. Ia berkeinginan belajar sebelum presentasi. Menjadi Cerdas Dengan Mengajar Apakah dengan menjadi guru seseorang akan lebih cerdas! Itu akan otomatis terjadi pada seseorang, karena dengan mengajar akan mampu memperkuat pemahaman. Proses ini mendorong seseorang untuk menguasai kembali pelajaran yang pernah diperole.     Langkah ini biasa disebut sebagai re- learning ( belajar kembali). Selain itu, proses mengajar sama dengan mengingat kembali pemahaman yang pernah diperoleh. Pada tahap ini, kita sedang meneguhkan informasi dan pemahaman yang dimiliki dari short-term memory ke long-term memory, melaluii rehearsal (mengulang-ulang). Dengan menyampaikan kembali pelajaran kepada orang lain, sesungguhnya kita sedang mengulanginya. Kita sedang memperkuat pemahaman kita untuk jangka waktu yang lebih panjang. Itulah sebabnya, beberapa pakar menjelaskan bahwa ketika Anda mengajarkan ilmu pada orang lain, maka mekanisme dalam otak kita akan bekerja untuk mengingat 95% lebih optimal.

Otak kita rata-rata mengingat:
10%
Apa yang kita baca
20 %
Apa yang kita dengar
30 %
Apa yang kita lihat
50 %
Apa yang kita dengar sekaligus lihat
70 %
Kalau dibicarakan dengan orang lain
80 %
Jika kita mengalami atau
95 %
Jika kita mengajarkan pada orang lain

Menyampaikan ilmu pada orang lain sebagai kebiasan kenabian akan mendorong kita lebih kreatif. Kita tergerak untuk menyampaikan apa yang kita ketahui secara baik, menarik, mudah dipahami, dan terbuka terhadap segala alternatif pemecahan masalah. Keinginan itu akan memantik kita untuk menyajikan contoh yang mudah dipahami dan ilustrasi yang gampang dicerna. Agar mudah dipahami kita pun berpikir untuk menghubungkan penjelasan kita dengan kenyataan sehari- hari. Sebagai guru yang inspiratif, kita menyusun penjelasan secara kontekstual. Kerja inii menghajatkan lahirnya kreatifitas dalam diri kita. Jika semua itu kita lakukan terus menerus, maka kita sedang membiasakan diri untuk hidup dalam kreativitas dan penuh pengayaan.
Rasulullah sebagai muallim (guru) memberikan perhatian yang besar pada pengajaran. Beliau tidak sekadar mentransfer pengetahuan kepada para sahabat, tetapi menanamkan metode berpikir ilmiah. Mudah-mudahan enjelasan berikut ini akan memberikan gambaran tentang garis-garis besar pengajaran yang dilakukan Rasulullah.
  1. Beliau menanamkan struktur berpikir ilmiah yang berpijak pada alasan dan dasar hukum yang vald (sahih) dan jelas (wadhih)
  2. Memberi jawaban tidak sekedar pada pertanyaan, tetapi menjawab dengan kaidah umum.
  3. Memberi perhatian terhadap potensi murid atau mitra belajar.
  4. Menghubungkan materi dengan kenyataan sehari-hari.
  5. Memberi apresiasi positif bagi mitra belajar.
  6. Menyampaikan materi dengan menarik dan variatif.

H.  Sinergi: Berjamaah Yang Mencerdaskan
Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan kita makna berjamaah. Fitrah manusia membutuhkan kebersamaan. Berjamaah menjadi keniscayaan. Bersinergi menjadi kunci kesuksesan. Marilah kita berguru pada semut. Semut mengelola kehidupan koloninya melalui kerja-kerja sinergi yang luar biasa. Ada semut ratu yang bertugas dalam hal reproduksi koloni. Semut jantan yang membuahinya mati, begitu menyelesaikan tugas pembuahan. Ada semut pekerja yang merupakan semut betina yang steril. Mereka bertugas merawat bayi-bayi semut, membersihkan dan member mereka makan. Jika musim paceklik, semut pekerja berubah peran sebagai pemberi makan bagi sesamanya. Ada juga semut yang bertugas membangun koloni dan menemukan lokasi tempat tinggal dan berburu. Semut jenis ini juga berperan dalam pertahanan dan keamanan koloni.
Selain bersinergi dengan sesamanya, kita juga bisa mensinergikan seluruh potensi yang kita miliki. Sinergi selalu menguatkan. Cerdas secara berjamaah bisa diwujudkan dengan beberapa proses,
1.    Berbagi Visi
Sinergi terwujud jika beberapa orang berkumpul karena disatukan oleh visi dan tujuan yang sama. Semakin kuat visi maka akan semakin kokoh proses sinergi. Mereka yang berkumpul untuk bersinergi memiliki tanda psikologis bahwa mereka merasa terikat dengan kelompok (sense of belonging). Tanda psikologis Ini akan menjadikan mereka mengembangkan sikap saling percaya (trust). Sikap ini akan mendorong terbentuknya nilai kerja sama yang memiliki prinsip.
2.    Mengenali potensi
Tidak hanya mengenali potensi diri kita, mengenali potensi orang lain dalam kelompok sangat diperlukan. Hanya dengan mengenali kekuatan dan potensi orang inilah kita akan mampu memberikan penghargaan atas mereka.  Langkah ini sekaligus menjadi modal bagi kita untuk menjalin hubungan dan sinergi.
3.    Menemukan ide-ide baru
Focus pada kekuatan dan kelemahan akan membantu kita menemukan mutiara gagasan dan ide-ide baru menarik dari orang lain. Kerjasama kreatif baru akan muncul pada saat kita bersinergi.
4.    Menemukan inspirasi baru
Langkah selanjutnya adalah menjadikan interaksi anda jauh lebih bermakna dan produktif dengan menemukan inspirasi baru. Gunakan daya imajinasi anda dan ciptakanlah ide-ide baru bersama-sama. Temukan ide-ide baru terbaik dari proses sinergi anda.

I.     Merancang Kontribusi Muslim Pembelajar
Tak Sekedar Cerdas
Ternyata menjadi cerdas saja itu tidak cukup. Kecerdasan seorang Muslim harus memberikan manfaat kepada umat manusia. Untuk melakukan hal itu, maka seorang Muslim pembelajar perlu memiliki orientasi hidup yang kuat.
Mereka yang tidak memiliki tujuan dan orientasi hidup hanya akan tenggelam di dunianya sendiri tanpa memberikan manfaat apapun kepada umat manusia.
Kita banyak mendengar cendekiawan-cendekiawan Muslim yang tidak saja cerdas, namun dapat membuat suatu pergerakan untuk memberikan manfaat. Contohlah beliau Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Mereka yang tidak hanya cerdas namun memiliki orientasi hidup yang kuat adalah orang-orang yang memiliki karakter. Mereka memiliki pijakan keyakinan yang kokoh, idealisme yang tinggi, daya tahan yang kuat, motivasi yang menyala-nyala, gagasan yang cemerlang, analisis yang tajam, jiwa yang jernih, dan prinsip yang teguh.
Cerdas saja tanpa memiliki karakter yang kuat akan sulit untuk memimpin. Begitu pula dengan sebaliknya. Berkarakter tetapi tidak cerdas akan sulit untuk mempengaruhi dan mengarahkan pada perubahan.
Kontribusi sang cendekia
Muslim pembelajar adalah orang yang memiliki kesadaran akan makna kediriannya, peran dan fungsinya, serta kenyataan social yang mengelilinginya. Mereka terus berproses untuk menjadi lebih baik. Dalam surat al Imron di atas tersirat tiga hal terkai dengan sorang muslim pembelajar, yaitu:
Pertama, konsep tentang keunggulan umat. Konsep ini menuntun kita untuk menjadi muslim pembelajar karena sesungguhnya keunggulan hanya diperoleh melalui proses pembelajaran atau edukasi (tarbiyah).
Kedua, konsep tentang kesatuan. Untuk menjadi motor penggerak perubahan yang efektif maka muslim pembelajar haruslah dihimpun dalam kesatuan visi. Mereka membutuhkan konsolidasi.
Ketiga, konsep tentang keterlibatan social. Para insane pembelajar bukanlah sekelompok orang-orang cerdas yang tidak bersinggungan dengan masyarakat. Sebaliknya mereka adalah orang-orang yang paling akrab dengan masyarakat. Mereka bekerja di tengah-tengah masyarakat, berpartisipasi dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Maka seorang Muslim harus memiliki 2 kesadaran, yang pertama kesadaran akan kediriannya sebagai hamba Allah, dan kedua, kesadaran akan kediriannya sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi dengan peran dan fungsi sebagai pemakmur, bukan perusak. Maka sejak muda mereka telah terlibat dalam dinamika kemasyarakatan. Mereka tidak terasing dari masyarakat karena pada akhirnya mereka akan kembali pada masyarakat juga.
Obsesi berkarya Muslim Pembelajar
Dengan memberikan perhatian kepada masyarakat akan mendorong para pembelajar untuk memberikan kontribusi positif. Timbul obsesi untuk terus berkarya memberikan manfaat kepada masyarakat sebagai tanggung jawabnya memiliki ilmu yang tinggi.
Kaidah tersebut dapat ditemukan di dalam surat Shad ayat 45-47 yang berbunyi “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar- benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.”
Agar Proses Belajar Kita Menjadi Karakteristik
Jika setiap proses pembelajaran kita ingin membentuk pola pikir dan pola sikap, kita perlu melakukan hal-hal berikut:
1.    Menerima setiap unit pengetahuan baru secara utuh. Pengetahuan itu semestinya adalah pengetahuan yang benar-benar teruji kebenarannya.
2.    Meninggalkan pikiran dan kebiasaan lama yang membelenggu.
3.    Mengaplikasikan setiap unit pengetahuan yang kita pelajari dalam realitas kehidupan yang lebih variatif.
Ada tiga hal yang dapat kita ubah (ditransformasi) kedalam pola pikir dan pola sikap.
1.    Efek psikologis yang ditimbulkan dari proses pembelajaran.
2.    Metode belajarkebiasaan dan keterampilan.
Semoga proses pembelajaran yang kita lakukan sanggup membentuk pola pikir dan pola sikap yang lebih baik. Seperti yang dikatakan Muadz Ibn Jabal ra., “Tuntutlah ilmu pengetahuan karena dengan ilmu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Mempelajari ilmu pengetahuan termasuk ibadah, menelaahnya dianggap membaca tasbih, meneliti itu setara jihad, mengajarkan kepada orang lain dihitung sebagai sedekah, dan mendiskusikannya dengan para pakar dianggap sebagai suatu bentuk kedekatannya dengan-Nya.”