Laman

Jumat, 30 September 2016

JUMLAH JAMA’AH SHALAT JUM’AT



JUMLAH JAMA’AH SHALAT JUM’AT

A.    Pendahuluan
Seperti yang telah diketahui, bahwa menurut ijmak kaum Muslimin, shalat Jum’at hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala di dalam surat al-Jumu’ah ayat 9:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at (mendengar adzan), Maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Kewajiban melaksanakan shalat Jum’at ini berdasarkan pada hadis-hadis yang mutawatir, baik dari kalangan Ahlu as-Sunnah maupun Syi’ah.[1] Sementara itu, di saat yang sama terdapat syarat-syarat yang semestinya dipenuhi oleh seorang muslim terkait kewajiban shalat Jum’at ini. Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi sebelum melaksanakan ibadah dimaksud. Hal tersebut diharapkan agar pelaksanaan shalat Jum’at dapat dikategorikan sah sesuai dengan tuntunan syari’at.
Di antara syarat yang akan kami bahas adalah terkait jumlah bilangan jama’ah yang mengikuti shalat Jum’at ini. Ketentuan bilangan jama’ah ini terdapat perbedaan pendapat. Salah satu sebab perbedaan pendapat tersebut adalah dikarenakan pemahaman atas sumber hadis yang begitu bervariasi serta berbeda-beda pula.
Oleh karena itu, penting kiranya kami sajikan dan kaji hadis-hadis berkenaan dengan tema yang kami sebutkan di atas. Dengan pembahasan ini pula, diharapkan pemahaman yang lebih utuh mengenai syarat bilangan jama’ah shalat Jum’at akan terealisasi.

B.     Shalat Jum’at
Shalat Jumat disyariatkan di dalam al-Quran dan Hadis serta oleh ijma` (kesepakatan) seluruh ulama. Sehingga siapa yang mengingkari kewajiban shalat Jumat, maka dia kafir karena mengingkari al-Quran dan as-Sunnah.
Rasulullah SAW pun menegaskan kewajiban itu dalam hadisnya. Di antaranya adalah hadits berikut ini :
عن أبي الجعد الضمري ، وكانت له صحبة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : « من ترك ثلاث جمع تهاونا بها طبع الله على قلبه » « هذا حديث صحيح على شرط مسلم ، ولم يخرجاه »
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu `anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya."(Hadis ini Shahih menurut Imam Muslim)[2]
أَنَّ عَبْدَاللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَأَبَاهُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ « لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْلَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ ».
“Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu `anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad) [3]
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Shalat Jumat itu wajib bagi tiap-tiap Muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit." (HR Abu Daud dan Al-Hakim). Berdasarkan hadis di atas, shalat Jumat harus dilakukan secara berjamaah. Lalu berapa jumlah minimum jamaah yang harus menunaikan shalat Jumat? Terlebih di Indonesia banyak desa yang terpencil yang jumlah penduduk Muslimnya kurang dari 40 orang dan bahkan di desa saya sendiri dalam satu desa terdapat 3 tempat dilaksanakannya shalat berjamaah padahal desa tersebut sangat kecil dan tidak terlalu berjauhan dari masjid utama yang dilaksnakan shalat jum’at, sehingga dari 2 tempat lainnya yang melakukan shalat jum’at jamaahnya tidak mencapai 40 orang, hal tersebut tidak sesuai dengan rukun yang biasa tertulis dan disampaikan.
Apa hukumnya jika jamaah shalat Jumat kurang dari itu? Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan umat Muslim di Indonesia.

C.    Hadis Terkait Jumlah Jama’ah Shalat Jum’at
1.      Hadis Terkait dalam Shahih Bukhari
Dalam suatu riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah yang sedang melakukan shalat Jum’at bersama Rasulullah Saw.:
حدثنا معاوية بن عمرو قال حدثنا زائدة عن حصين عن سالم بن أبي الجعد قال حدثنا جابر بن عبد الله قال: بينما نحن نصلي مع النبي صلى الله عليه و سلم إذ أقبلت عير تحمل طعاما فالتفتوا إليها حتى ما بقي مع النبي صلى الله عليه و سلم إلااثنا عشر رجلا فنزلت هذه الآية {وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما{
“Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Pada suatu hari ketika kami shalat bersama-sama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang rombongan yang berkendaraan unta dengan membawa makanan. Kemudian orang-orang berpaling menuju rombongan yang datang itu, sehingga yang tinggal bersama Rasulullah Saw. hanya dua belas orang. Karena peristiwa itu, maka turunlah ayat, ‘dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah)’.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 11)  [4]
2.      Hadis terkait dalam Sunan Ad-Daraquthni
Sementara itu dalam Sunan Ad-Daraquthni yang juga diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah dengan sanad yang sedikit berbeda,
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ الأَدَمِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْحَسَّانِىُّ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَاصِمٍ عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِى الْجَعْدِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُنَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ أَقْبَلَتْ عِيرٌ تَحْمِلُ الطَّعَامَ حَتَّى نَزَلُوا بِالْبَقِيعِ فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا وَانْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْسَ مَعَهُ إِلاَّ أَرْبَعُونَ رَجُلاً أَنَا مِنْهُمْ - قَالَ - وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- (وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا ). لَمْ يَقُلْ فِى هَذَا الإِسْنَادِ إِلاَّ أَرْبَعِينَ رَجُلاً غَيْرُ عَلِىِّ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ حُصَيْنٍ وَخَالَفَهُ أَصْحَابُ حُصَيْنٍ فَقَالُوا لَمْ يَبْقَ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- إِلاَّ اثْنَا عَشَرَ رَجُلاً.
Ahmad bin Muhammad bin Isma’il Al Adami menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Isma’il Al Hassani dari Ali bin Ashim dari Hushain bin Abdurrahman, dari Salim bin Abi Al Ja’d dari jabir bin Abdullah, dia berkata, “Ketika Rasulullah Saw. berkhutbah di hadapan kami pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah iring-iringan unta yang membawa makanan, hingga mereka singgah di Al Baqi’, lalu mereka (para Sahabat) menoleh dan berhamburan menuju iring-iringan tersebut dan meninggalkan Rasulullah Saw, sehingga tidak tersisa bersama beliau kecuali empat puluh orang, saya pun termasuk di antara mereka, lalu Allah menurunkan pada Nabi Saw. ayat: ‘dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah)’.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 11). Tidak ada yang mengatakan dalam sanad ini “kecuali empat puluh orang” selain Ali bin Ashim dari Hushain, sedangkan para pengikut Hushain menentangnya, mereka mengatakan, “Tidak ada yang tersisa bersama Nabi Saw kecuali dua belas orang.”

D.    Perbedaan Pendapat Terkait Jumlah Jama’ah
Seluruh ulama telah sepakat bahwa shalat Jum’at itu diwajibkan atas laki-laki saja, sedang wanita tidak. Dan bahwa orang yang sudah mengerjakan shalat Jum’at, maka menjadi gugurlah kewajiban shalat dzuhur baginya. Begitu juga shalat Jum’at itu tidak diwajibkan kepada orang yang buta dan tidak akan sah kecuali dilakukan dengan berjama’ah.
Dalam kaitannya dengan syarat jumlah jama’ah shalat Jum’at ini terdapat perselisihan pendapat diantara madzhab-madzhab yang ada, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.[5] Secara umum perbedaan di antara mereka disebabkan oleh pemahaman terhadap sumber-sumber hadis yang mereka jadikan rujukan.
Secara lahiriah, hadis tersebut yang terdapat dalam Shahih Bukhari maupun Sunan ad-Daraquthni di awal makalah ini menjelaskan bahwa keberadaan jama’ah bersama sang imam sampai selesai bukanlah menjadi syarat sahnya shalat Jum’at, tapi yang disyaratkan hanya keberadaan makmum (jama’ah) bersama imam berapapun jumlahnya selama shalat dilaksanakan.
Terkait hal ini, seperti yang telah dikatakan oleh Imam Bukhari bahwa tidak ada ketetapan berapa jumlah orang yang melaksanakan shalat jum’at, karena riwayat yang menerangkannya tidak ada yang memenuhi kriteria hadis shahih.[6] Lebih lanjut, menurutnya ada sekitar 15 pendapat ulama tentang jumlah dibolehkannya melaksanakan shalat Jum’at. Sebagian di antaranya sebagai berikut:
1.      Dua orang (imam dan makmum) menurut An-Nakha’i, kelompok Zhahiriyah, dan Hasan bin Hay.
2.      Tiga orang bersama imam (empat orang), menurut Abu Hanifah.
3.      Sembilan atau dua belas orang, menurut Rabi’ah.
4.      Dua puluh orang, menurut Ibu Habib dan Malik.
5.      Empat puluh orang dengan imam, menurut Imam Syafi’i.
6.      Lima puluh orang, menurut Imam Ahmad.
7.      Orang banyak, tanpa ada batasan tertentu.
8.      Dan beberapa pendapat yang lain.
Pendapat yang mengatakan tanpa ada batasan tertentu, menurut Imam Bukhari adalah yang kuat berdasarkan dalil yang ada. Bahkan, jumlah perbedaan pendapat terkait jumlah jama’ah shalat jum’at tersebut mungkin bisa bertambah banyak lagi dengan bertambahnya syarat yang ditentukan.[7]

E.     Pendapat Imam Mazhab
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara para Imam Madzhab. Menurut dua Imam Madzhab, yaitu Asy-syafi’i dan Ahmad, “Bahwa shalat Jum’at tidak boleh didirikan kecuali terdapat 40 pria atau lebih, berdasarkan hadis riwayat Al Baihaqi dari Ibnu Mas’ud: Nabi shalat Jum’at di Madinah, dan mereka berjumlah 40 pria. Tidak ditemukan suatu riwayat yang menetapkan jumlah kurang dari 40 pria. Tetapi keduanya tidak berdalil dengan hadis di atas.”[8]
Pendapat Imam Syafi’I tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, Qaul Jadid dari pendapat Imam Syafi’I di Mesir, bahwa bilangan mendirikan shalat Jum’at minimal 40 orang yang kamil, yaitu: beragama Islam, berakal, baligh, lelaki, merdeka dan muqim mustauthin. Pendapat Imam Syafi’I ini didukung serta dipercaya oleh golongan mayoritas ulama mujtahid mazhab, mujtahid fatwa dan ulama penganut Imam Syafi’I (syafi’iyah), maka pendapat itu disebut Qaulul Mu’tamad.
Kedua, Qaulul Qadim yang pertama. Sebelum menetap di Mesir, Imam Syafi’I di Baghdad (Irak) berpendapat bahwa shalat Jum’at boleh didirikan dengan 12 bilangan Ahlul Jum’at, yaitu dengan orang-orang Islam, berakal sehat, berusia baligh, kaum lelaki, merdeka dan muqim mustauthin, dengan syarat-syarat sebagimana berlaku dalam bilangan 40 orang. Pendapat lama ini tidak banyak dukungan dari pengikut-pengikut Imam Syafi’I, maka disebut sebagai pendapat yang lemah (Qaul Dhaif).
Ketiga, Qaul Qadim yang kedua. Ketika di Baghdad (Irak) Imam Syafi’i ra. berpendapat bahwa shalat Jum’at boleh didirikan dengan empat orang. Bilangan Jum’at tersebut dengan syarat-syarat sebagaimana berlaku dalam bilangan 40 orang di atas. Pendapat lama ini tidak banyak pula mendapat dukungan dari pengikut-pengikut Imam Syafi’i, maka disebut sebagai pendapat lemah (Qaulul Dhaif).
Bagi orang-orang yang akan mengamalkan salah satu ucapan Imam Syafi’i, hendaklah lebih dahulu mempelajari ilmu yang berhubungan dengan pengamalan tersebut meskipun pendapat yang diamalkan itu lemah.
Akan halnya semua amal ibadah harus disertai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam kitab-kitab fiqih. Beramal ibadah tanpa usaha memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka amal ibadahnya menjadi batal.
Sudah terang boleh atas orang yang bermaksud taklid qaul dhaif berbuat ibadah di dalam haknya sendiri. Atau berbuat maslahat untuk orang lain karena sengketa misalnya. Dan tidak boleh taklid mengamalkan pendapat yang lemah untuk memutuskan perkara hukum (qadla’) atau memberi fatwa, sebagaimana dikatakan: Boleh mengamalkan dengan pendapat yang lemah untuk diamalkan kepentingan pribadi atau karena untuk maslahat orang lain. Tidak boleh untuk memutuskan hukum di pengadilan dan tidak boleh (pula) untuk memberi fatwa agama secara ithlaq (tanpa menyebut kelemahan pendapat yang disampaikan)”.[9]
Berkenaan dengan pendapat tersebut, terdapat riwayat dari Jabir, tetapi dengan sanad yang dha’if:
وعن جابررضي الله عنه قال: (مضت السنة أن في كل أربعين فصاعداً جمعة) رواه الدارقطنيبإسناد ضعيف
“Dari Jabir RA, dia mengatakan bahwa sunnah yang telah berlaku dalam setiap 40 orang lebih, (agar melakukan) shalat Jum’at.” (HR. Ad-Daruquthni) dengan sanad yang dha’if.
Hal yang penting dari hadis ini adalah:
1.      Menunjukkan bahwa setiap jumlah kaum pria yang berkumpul dalam suatu bangunan tertentu mencapai 40 orang, maka wajib mendirikan shalat Jum’at.
2.      Jika jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka tidaklah wajib mendirikan shalat Jum’at, melainkan shalat dzuhur.
3.      Hadis tersebut adalah dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Rajih, yang keberadaan hadis-hadisnya ditempatkan di antara hadis maudhu’ (palsu) atau hadis makdzub. Al Baihaqi berkata, “tidak boleh berhujjah dengan hadis tersebut, kemudian kalaupun benar, maka di dalamnya tidak terdapat hujjah apa pun.”
Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Hadis tersebut dihukumi gugur (batal), sehingga tidak boleh berhujjah dengannya. Oleh karena itu, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah pria yang mewajibkan didirikannya shalat Jum’at.”[10]
Selanjutnya, menurut Imam Malik, “Bahwa jumlah yang dapat dijadikan landasan untuk mendirikan shalat Jum’at adalah 12 pria, berdasarkan riwayat dari Jabir tentang kedatangan rombongan berunta yang telah kami sebutkan sebelumnya, dimana disebutkan dalam riwayat tersebut jama’ah yang tersisa adalah 12 orang pria.
Akan tetapi fenomena itu tidak menunjukkan jumlah sebagaimana disebutkan, melainkan hanya kebetulan saja sehingga tidak dapat dijadikan dalil yang kuat. Meski hadis tersebut menunjukkan jumlah yang ditetapkan madzhab Imam Syafi’i dan Ahmad, tetapi bukan jawaban yang benar menganggap pendapat mereka didasarkan kepada hadis tersebut.
Menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin Al Hasan, “Bahwa jumlah minimal jama’ah dalam shalat Jum’at adalah tiga orang pria selain imam, karena tiga orang adalah jumlah minimal jama’ah yang tepat. Selain itu disebabkan dalam shalat Jum’at terdapat kesulitan dalam berkumpul”. Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam atau khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu dalam bentuk jamak. Dan dalam kaidah bahasa Arab, jumlah minimal untuk bisa disebut jama` adalah tiga orang.[11]
Di antara Ulama yang memilih pendapat tersebut (Abu Hanifah) adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Qayyim, yaitu bahwa shalat Jum’at dapat dilakukan dengan hanya 3 orang, yaitu imam dan dua orang pendengar atau makmum. Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
إذا كانوا ثلاثة, فيأمّهم أحدهم
“Jika jumlah mereka adalah tiga orang, maka salah seorang dari mereka hendaklah menjadi imamnya.” (HR. Muslim 672)
Hadis tersebut bersifat umum dan berlaku untuk semua shalat, baik shalat Jum’at maupun shalat berjama’ah yang lain. Sementara itu, Imam An-Nawawi dan yang lain berpendapat bahwa persyaratan jumlah orang yang harus menghadiri shalat Jum’at adalah ketetapan ijma’ umat bukan dari hadis Nabi, karena shalat jum’at tidak sah jika dikerjakan sendirian, dan oleh karenanya berjama’ah menjadi syarat keabsahannya.[12]
Agar lebih mudah untuk difahami Dibawah ini ada beberapa pandangan ulama berkenaan dengan jumlah jamaah shalat jum’at :
1.    Pandangan Kalangan Hanafiyah
Pandangan kalangan ini berpendapat bahwa shalat jum’at sah jika dilakukan minimal ada tiga orang diluar imam, karena tiga adalah jama’ah dan tidak disyaratkan dalam Jum’at kecuali jamaah . Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jum’at itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam/ khatib.
Kalangan ini berpendapat bahwa tidak ada nash Al-Qur’an yang menjelaskan jumlah pasti bilangan jamaah shalat jum’at kecali jamaah. Mereka berpandangan bahwa yang dimaksud jamaah adalah dilakukan oleh dua orang atau lebih.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.’’ (QS. Al-Jumu’ah: 9).

2.    Pandangan Kalangan Malikiyah
Kalangan ini berpendapat bahwa sebuah shalat jum’at baru sah jika dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah. Hal ini didasarkan pada peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian jamaah shalat jum’at karena datangnya kafilah yang baru pulang berniaga. Sehingga mereka secara langsung meninggalkan Rasululloh SAW yang sedang berkhutbah sehingga pada akhirnya tinggal 12 orang saja. Tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat jum’at dan menurut mereka, Rasullulah SAW saat itu tetap meneruskan shalat jum’at dan tidak menggantinya dengan shalat zhuhur.
#sŒÎ)ur (#÷rr&u ¸ot»pgÏB ÷rr& #·qølm; (#þqÒxÿR$# $pköŽs9Î) x8qä.ts?ur $VJͬ!$s% 4 ö@è% $tB yZÏã «!$# ׎öyz z`ÏiB Èqôg¯=9$# z`ÏBur Íot»yfÏnF9$# 4 ª!$#ur çŽöyz tûüÏ%꧍9$# ÇÊÊÈ  

 “ Dan apabila mereka melihat peniagaan atau permainan, mereka nubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri. Katakanlah : Apa yang disisi Alloh lebih baik daripada permainan perniagaan, dan Alloh sebaik-baik pemberi rezki.” ( QS. Al-Jumu’ah  : 11) 

3.    Pandangan Kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Pandangan ulama ini menyaratkan bahwa sebuah shalat jum’at itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya. Hal ini sebgaimana dijelaskan dalam hadist dari Jabir Radhiyallahu Anhu., ia berkata, “ Sunnah Rasul menetapkan bahwa setiap 40 orang atau lebih, dilaksanakan Jum’at.” (HR. Ad-daruquthni) . Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW     :
عن جابر قال: مضت السنة أن في كل أربعين فما فوقها جمعة – رواه البيهقي
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW shalat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR Al-Baihaqi).
Ini adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jum’at di masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah shalat jum’at hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jum’at.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika shalat jum’at adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang. Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jum’at ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jum’at yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jum’at itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat jum’at dalam pandangan mereka. Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jum’at.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
a.    Muqim
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jum’at, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat jum’at.
b.    Lelaki
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.
c.    Merdeka
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jum’at.
d.    Mukallaf
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jum’at tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.

KESIMPULAN
Seperti yang telah dikatakan oleh Al Bukhari, bahwa tidak adanya batasan jumlah orang yang tertentu dalam melaksanakan shalat jum’at. Menurutnya ada sekitar 15 pendapat ulama tentang jumlah dibolehkannya melaksanakan shalat Jum’at. Sebagian di antaranya sebagai berikut:
1.      Dua orang (imam dan makmum) menurut An-Nakha’i, kelompok Zhahiriyah, dan Hasan bin Hay.
2.      Tiga orang bersama imam (empat orang), menurut Abu Hanifah.
3.      Sembilan atau dua belas orang, menurut Rabi’ah.
4.      Dua puluh orang, menurut Ibu Habib dan Malik.
5.      Empat puluh orang dengan imam, menurut Imam Syafi’i.
6.      Lima puluh orang, menurut Imam Ahmad.
7.      Orang banyak, tanpa ada batasan tertentu.
8.      Dan beberapa pendapat yang lain.
Pendapat yang mengatakan tanpa ada batasan tertentu, menurut Imam Bukhari adalah yang kuat berdasarkan dalil yang ada. Bahkan, jumlah perbedaan pendapat terkait jumlah jama’ah shalat Jum’at tersebut mungkin bisa bertambah banyak lagi dengan bertambahnya syarat yang ditentukan.
Dari beberapa pendapat diatas pada umumnya di Indonesia dalam menentukan jumlah jamaah shalat jum’at dengan batasan 40 orang. Akan tetapi jika ada suatu tempat dimana disitu sedikit kaum muslim boleh dikatakan tidak ada  40 orang maka mereka boleh bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah dengan ketentuan rukun dan syarat menurut Abu Hanifah.  Dengan adanya hal ini tentunya dapat dijadikan sebuah dasar pemahaman dalam menentukan banyaknya jumlah jamaah shalat jum’at tentunya dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi suatu tempat tersebut dalam menyelenggarakan shalat jum’at.
Walhasil, semua benar karena semua adalah pendapat para ulama yang muktabar, serta didukung dengan dalil-dalil yang sulit terbantahkan. Maka tugas kita adalah menjaga hubungan baik dengan sesama orang awam para pengikut mazhab. Bukan masanya lagi untuk memaksakan pendapat sendiri, apalagi dengan arogansi.
Wallahu a’lam bishshawab...

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram; penerjemah Tim Pustaka Azzam, Cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, h. 316 (Maktabah Syamilah)
Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, , Jilid 3, Maktabah Syamilah: tp., tt.
Ibn Hajar Al Asqalani, Fathu al-Bary Syarah Shahih Bukhari; penerjemah Tim Azzam, Amiruddin, Lc, Jilid 4, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 3, Maktabah Syamilah: tp, tt.
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Khamsah; terjemah oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Cet. 8, Jakarta: Lentera Basritama, 2002.
www.kampussyariah.com,Shalat Jum’at, diakses pada tanggal 25 April 2015


 


[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Khamsah; terjemah oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), Cet. 8, h. 122
[2] Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, (Maktabah Syamilah: tp., tt), Jilid 3, h. 42 
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Maktabah Syamilah: tp, tt), Jilid 3, h. 10
[4] Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, h. 316 (Maktabah Syamilah)
[5] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-madzhahib al-Khamsah; terjemah oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, h. 122-123
[6] Ibn Hajar Al Asqalani, Fathu al-Bary Syarah Shahih Bukhari; penerjemah Tim Azzam, Amiruddin, Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Jilid 4, h.198
[7] Ibid, h. 199
[8] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram; penerjemah Tim Pustaka Azzam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h. 641
[10] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram; Syarah Bulughul Maram, penerjemah Tim Pustaka Azzam, h. 641
[11] www.kampussyariah.com,Shalat Jum’at, diakses pada tanggal 25 April 2015
[12] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram; Syarah Bulughul Maram, penerjemah Tim Pustaka Azzam, h. 641