Laman

Jumat, 30 September 2016

PENDIDIKAN ISALAM DI ERA MODERNISASI



PENDIDIKAN ISALAM DI ERA MODERNISASI

Pendidikan merupakan kunci kemajuan. Semakin baik kualitas pendidikan suatu bangsa atau masyarakat, maka akan semakin baik pula kualitas kehidupan bangsa / masyarakat tersebut. Fazlurrahman, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menyatakatan “Setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan”.[1] Ungkapan senada dikemukakan oleh Khursid Ahmad yang menyatakan bahwa : “All of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is the most challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it responds to this challenge”, artinya dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.[2]
Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat, maupun bangsa, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis dan visioner. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut.
Pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksi-nya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat.
Secara historis, gagasan pembaruan atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, diawali dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan kolo-nial Belanda dan kehadiran organisasi-organisasi modernis Islam seperti Jami'at al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain.[3] Hal ini mengandung pengertian bahwa titik tolak modernisasi pendidikan Islam di Indonesia adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional, yakni Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang dianggap tradisional bersikap depensif terhadap kebijakan kolonial Belanda dan menjauh dari sistem pendidikan modern, sementara Jamiyaah Muhammadiyah bersikap progresif dengan mendirikan pendidikan Islam klasikal ala Belanda.[4] Namun pada akhirnya kedua model pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan dan secara bersama terus saling melengkapi seiring dengan perkembangan.
Pendidikan Islam pada masa kini dihadapkan kepada tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas ummat Islam yang serba kompleks dan multi dimensi setelah mengalami pergeseran nilai akibat kehidupan dan peradaban yang serba modern.

A.    Pengertian Modern
Penulis terlebih dahulu memaparkan tentang definisi istilah “modern”. Hal ini diperlukan agar memiliki pemahaman dan persepsi yang sama tentang tema yang dibahas.
Modernitas berasal dari perkataan “modern” yang berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah suatu pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kehidupan masa kini .[5]
Kata "modern" tidaklah muncul sekaligus untuk seluruh atau berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang seni kata modern digunakan untuk membedakan sifat seni lukis dan seni pahat yang eksperimental dan dinamis pada abad kedua puluh dengan seni lukis dan seni pahat masa sebelumnya .Di dalam filsafat kata modern itu digunakan untuk menyebutkan periode filsafat setelah abad pertengahan (pertengahan abad ketujuh belas).
Pandangan lainnya menyatakan, bahwa “modern” berarti baru, kekinian, akhir, up-todate, atau semacamnya. Istilah ini berkaitan juga dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya. Predikat modern diberikan terhadap prilaku, model pakaian, musik, hasil teknologi, ataupun pada pemikiran seseorang.[6]
Istilah modern menjadi “modernisasi” memiliki arti tersendiri yaitu suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu modern. Tolhah Hasan memberikan definisi modernisasi sebagai suatu proses transformasi masyarakat dalam berbagai aspeknya termasuk di dalamnya sektor ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan.[7] Nurcholis Madjid, sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah Idi dan Toto Sutarto, mendefinisikan “modernisasi sebagai rasionalisasi untuk memperoleh daya guna yang maksimal dalam berfikir dan bekerja demi kebahagiaan ummat”.[8]
Beberapa pandangan tentang term “modern” sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan adanya sebuah reaksi atau upaya perubahan terhadap situasi dan keadaan yang konstant dan berkonotasi ketertinggalan. Term “modern” juga dipergunakan untuk menunjukkan pemikiran, karakter, ideology, seni, politik, dan lainnya yang bernuasa ke-kinian atau kontemporer.





B.     Pendidikan Islam
Istilah pendidikan Islam berasal dari gabungan dua kata yaitu kata “pendidikan” dan “Islam”. dalam bahasa Arab, pendidikan Islam dikenal dengan At Tarbiyatul Al Islamiyah (التّربيّة الاسلامية). Adapun  dalam bahasa Inggris sering disebut Islamic Education.
Kata pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan Islam yaitu agama universal yang Allah perintahkan kepada seluruh manusia dan imani Rosul-Rosulnya.[9] Jadi pendidikan Islam yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran tentang Agama Universal.
Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi akal dan ilmu.[10] Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna harus bisa menjadi khalifah yang berilmu dan bertanggungjawab atas apa yang telah dipimpinnya.
Pemahaman tentang makna dan istilah pendidikan, khususnya pendidikan islam sudah banyak dibahas oleh para pakar dan tokoh pendidikan, namun hal tersebut semuanya hamper sama dan tidak jauh berbeda dalam makna dan isinya, penulis Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien. [11] Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut.
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air. Ketiga, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaebany (1979); Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan yang dilandasi nilai-nilai Islami.  Keempat, Daradjat juga mengemukukan Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Kelima, Muhammad Quthb bahwa Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini. Dan masih banyak pengertian yang diberikan oleh papakr dan tokoh-tokoh pendidikan islam lainnya.
Dalam definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.[12] arti secara luas bahwa pendidikan islam itu memanusiakan manusia sesuai ajaran dan nilai-nilai islam (Al-Qur’an dan Hadits).
Dalam perspektif  historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan.[13]
1.      Dasar Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a.       Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab guna menjalankan jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk ( Hudan ) ditunjukkan dalam firmanNya :
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ  
Artinya :
 Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (Q.S. Al Israa’ ayat 9)

Pelaksanaan pendidikan islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al Qur’an. Dengan berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an – teruatama dalam pelaksanaan pendidikan islam – umat islam akan mampu mengarahkan dan mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.[14]

b.      Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.[15]
c.       Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat. Sementara disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.[16]
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[17]


C.    Problematika Pendidikan Islam
Pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era modern maupun global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
a.       Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[18]
b.      Masalah Kurikulum
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[19]
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.[20]
c.       Pendekatan/Metode Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d.      Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[21]
e.       Biaya Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2.      Faktor Eksternal
a.      Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b.      To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c.       Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d.      Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e.       Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.[22]

D.    Solusi Problematika Pendidikan Islam
Pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[23]
Selain itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.[24]
Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.[25] Hal ini dapat dipahami sebagai upaya melakukan transformasi manajemen pendidikan islam secara konsisten.

E.     Orientasi Pendidikan Islam
Menurut Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai berikut :
1.      Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis  hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.
2.      Pendidikan Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
3.      Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar.
Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.
Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.[26]


KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern, secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan  Islam  didisain  untuk  dapat  membantu  meningkatkan ketrampilan  dan  pengetahuan  untuk  bekerja  lebih  produktif  sehingga dapat  meningkatan  kerja  lulusan  pendidikan  di  masa  datang.  Selain  itu perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah- berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.


DAFTAR PUSTAKA

A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, Cet. I, Semarang : Need’s Press, 2008.
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006.
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Cet. I, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009.
Dr. Ahmad Arifi, MA. (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras, 2009.
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Cet. I, Jakarta : Rineka Cipta, 2009.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Cet. I, Jakarta : Kencana, 2004.
Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam,, Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008.
http://islam murni.wordpress.com/2009/10/31/definisi Islam/
Hujair AH. Sanaky, Paradigma pendidikan Islam, membangun Masyarakat madani Indonesia, Yogyakarta: Afiria Insani Press, 2003.
Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Cet. I, Semarang : Rasail, 2008.
Maksum, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta : PT. Logos wacana Ilmu, 1999.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Penddikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan Kurikulum Hingga redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Muhammad Tolhah Hasan, Prospek Islam Dalam menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta:  Lantabora Press,      
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. II, Yogyakarta : Teras, 2010.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Cet. I, Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
Sayidiman Suryohadiprojo, Islam Universal, Nurkholis Madjid, dkk., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Cet. I, Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000.


[1] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Penddikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan Kurikulum Hingga redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003), hal. 25
[2] Ibid.
[3] Hujair AH. Sanaky, Paradigma pendidikan Islam, membangun Masyarakat madani Indonesia, (Yogyakarta: Afiria Insani Press, 2003), hal.6
[4] Maksum, Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta : PT. Logos wacana Ilmu, 1999), hal.116
[5] Sayidiman Suryohadiprojo, Islam Universal, Nurkholis Madjid, dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 145.
[6] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal.5
[7] Muhammad Tolhah Hasan, Prospek Islam Dalam menghadapi Tantangan Zaman, ( Jakarta:  Lantabora Press,       ), hal.18
[8] Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hal. 101
[9] http://islam murni.wordpress.com/2009/10/31/definisi Islam/ (diakses pada 3 April 2015 pukul : 19.00 wib).
[10] Dr. Ahmad Arifi, MA. (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. (Yogyakarta: Teras, 2009) hal. 1.
[11] Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008), hal. 13
[12] Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, (Semarang : Rasail, 2008), Cet. I, hal. 34-36
[13] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Cet. I, hal. 44-45.
[14] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. I, hal. 15-16
[15] Ibid., hal. 17
[16] Ibid., hal. 21
[17] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hal. 36-37
[18] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II, hal. 20-21
[19] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), Cet. I, hal. 205-208
[20] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 11
[21] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif ...., hal. 28
[22] Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang : Need’s Press, 2008), Cet. I, hal. 14-23
[23] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000) Cet. I, hal. 90-91.
[24] Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, ., hal. 27-28
[25] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 86-89
[26] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global,., hal. 90-104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar