BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT adalah Al-Quran.
Setiap muslim wajib mengimani Al-Quran. Setiap muslim seharusnya mengenal
al-Quran sebagai pedoman hidup (way of life). Untuk mengenal al-Quran,
hendaknya dimulai dengan belajar membacanya, kemudian memahami arti
kandungannya, serta mengamalkan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Di samping sebagai pedoman hidup, al-quran juga berfungsi sebagai
mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW yang berlaku kekal abadi. Sebagai mukjizat,
al-Quran tidak mungkin dapat ditiru dari aspek mana pun dan oleh siapa pun
karena al-Quran adalah wahyu dari Allah SWT yang telah dijamin kemurniannya
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Hijr ayat 9.
Al-Quran adalah firman Allah SWT sebagai sumber utama untuk setiap
keyakinan dan ibadah orang Islam. Dalam hal ini merupakan sebuah peraturan
untuk semua subjek yang berhubungan dengan manusia, kebijakan, ajaran, ibadah,
jual-beli, hukum, dan lain-lain. Akan tetapi, yang paling utama adalah
berhubungan antara Allah dan makhluk-Nya.
Al-Quran juga memberikan pedoman dan ajaran secara mendetail
tentang kemasyarakatan, bergaul, atau berperilaku dengan sesama manusia dan
system ekonomi secara detail. Termasuk yang diatur dalam kitab suci Al-Quran
adalah sebagaimana kita bergaul dengan baik dengan kedua orangtua dan guru
kita.
Orangtua adalah permata mulia yang dapat mengantarkan seseorang
menuju surga, jika ia berbakti kepada keduanya. Namun orangtua juga bisa
menjadi ‘pintu neraka’ bagi anak yang berbuat durhaka kepada keduanya. Orang
yang berakal tentu lebih memilih ‘menjemput’ surga dengan bakti orangtua.
Sebenarnya orangtua itu ada tiga. Pertama adalah orang yang
menyebabkan kita lahir, yaitu ayah ibu. Kedua adalah orang yang mengajari kita
berbagai ilmu pengetahuan, yaitu guru-guru kita, baik guru yang mengajari kita
pada saat kita masih kecil maupun yang mengajari kita pada saat sudah dewasa.
Biasanya guru disebut orangtua rohani. Ketiga adalah orang yang menyebabkan
pasangan kita lahir, yaitu bapak dan ibu mertua. Ketiga orangtua tersebut wajib
kita hormati karena jasa-jasanya sangat besra bagi kita.
Dalam makalah ini, kami akan membahas ayat al-Quran dan hadis-hadis
Nabi yang menjelaskan tentang kewajiban kita mentaati, menghormati, dan
menghargai kedua orangtua dan guru sekaligus bersama untuk mencoba menelaah
materi yang telah diambil dari buku mata pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk
SMA.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana seharunya kita menghormati orang tua dan guru sesuai
tuntunan Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 23?
2.
Bagaimana seharusnya kita berbuat bik keoada orang tua menurut
hadits Nabi Muhammad saw?
C.
Tujuan
1.
Agar siswa dapat mengetahui, membaca, memahami dan meneladani kandungan
QS. Al-Isra’ ayat 23.
2.
Agar siswa dapat mengetahui, membca, memahami dan meneladani
kandungan hadits Nabi Muhammad tentang berbuat baik kepada orang tua.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengkaji Surah al-Isra’ Ayat
23 tentang Menghormati Orang Tua dan Guru
*
4Ó|Ós%ur
y7/u
wr&
(#ÿrßç7÷ès?
HwÎ)
çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ)
4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t
x8yYÏã uy9Å6ø9$#
!$yJèdßtnr&
÷rr&
$yJèdxÏ. xsù
@à)s? !$yJçl°;
7e$é& wur
$yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs%
$VJÌ2
ÇËÌÈ
*
Artinya: “Dan
Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia”.
Dari ayat di
atas dapat diambil inti sari sebagai berikut.
a)
Agar manusia tidak menyembah atau beribadah kepada Tuhan selain
Allah SWT termasuk larangan memercayai ada kekuatan lain yang memengaruhi dan
menguasai jiwa dan raga selain yang datang dari Allah SWT
b)
Agar manusia berbuat baik (ihsan) kepada ibu dan bapak. Perintah
berbuat baik kepada kedua orangtua disampaikan oleh Allah bersamaan atau
sesudah perintah beribadah hanya kepada Allah.
c)
Mengapa Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar berbuat agar
baik kepada orangtua? Ada beberapa alasan, sebagai berikut.
1)
Orangtua telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada anak-anaknya
agar mereka menjadi anak yang sehat secara jasmani dan menjadi anak yang shaleh
dan shalihah serta terhindar dari jalan yang sesat.
2)
Kasih sayang orangtua tiada taranya, karena beliau tidak mengenal
lelah dan bersusah payah memperhentikan anak-anaknya supaya menjadi anak yang
bahagia.
3)
Anak-anak belahan jiwa ibu bapak, terutama ibu. Biasanya ibu tidak akan makan sebelum
anak-anaknya makan, ibu tidak akan tidur sebelum anak-anaknya tidur dan jika
anak sakit maka ibu yang paling susah sehingga beliau tidak bisa dan tidak enak
makan.
d)
Nikmat yang diterima oleh manusia paling banyak datangnya dari
Allah SWT, kemudian nikmat yang diterima dari orangtua. Oleh karena itu,
kewajiban anak adalah berterima kasih kepada orangtua. Bentuk terima kasih
tetrsebut dengan cara berbuat baik kepada beliau keduanya.
e)
Apabila salah seorang diantara keduanya (bapak ibu) atau keduanya
telah berumur lanjut sehingga mengalami kelemahan jasmani sehingga tidak bisa
lagi mencari nafkah, mereka harus hidup bersama anak-anaknya agar mendapatkan
nafkah dan perhatian. Oleh karena itu, anak wajib memperlakukan mereka dengan
sebaik-baiknya. Bahkan, secara khusus dalam ayat tersebut menegaskan anak tidak
boleh berkata kasar seperti berkata “ah” dan sejenisnya serta tidak boleh
membentaknya.
Dengan memahami Surah al-Isra ayat
23, hendaknya kita memilki sikap-sikap, antara lain.
a)
Menghindari perbuatan syirik dalam bentuk apapun, karena kita hanya
diperintah untuk beribadah kepada Allah SWT.
b)
Bersyukur kepada Allah atas berbagai nikmat yang telah Allah
berikan kepada kita yang jumlahnya sangat banyak.
c)
Berterima kasih kepada orangtua yang telah mengasuh, membimbin, dan
merawat kita dengan penuh kasih sayang.
d)
Menghindari sikap, perbuatan, maupun ucapan termasuk kategori
durhaka kepada orangtua karena durhaka kepada orangtua termasuk dosa besar.
e)
Berbakti kepada orangtua dengan semaksimal mungkin misalnya dengan
cara merawatnya jika beliau sudah tua dan selalu berkata dengan perkataan yang
baik.
Kita
telah membahas pentingnya hormat dan patuh kepada orang tua, adapun hikmah yang
bisa diambil dari berbakti kepada kedua orangtua, antara lain seperti berikut.
- Berbakti kepada kedua orang tua
merupakan amal yang paling utama.
- Apabila orang tua kita ridha
atas apa yang kita perbuat, Allah Swt. pun ridha.
- Berbakti kepada kedua orangtua
dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami, yaitu dengan cara
bertawasul dengan amal saleh tersebut.
- Berbakti kepada kedua orangtua
akan diluaskan rezeki dan dipanjangkan umur.
- Berbakti kepada kedua orangtua
dapat menjadikan kita dimasukkan ke jannah (surga) oleh Allah Swt.[1]
Ayat di atas
menyatakan Dan Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu telah
menetapkan dan memerintahkan supaya kamu, yakni engkau wahai nabi
Muhammad dan seluruh manusia, jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbakti kepada kedua orangtua, yakni ibu bapak kamu, dengan kebaktian
sempurna. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
mencapai ketuaan, yakni berumur lanjut atau dalam keadaan lemah sehingga
mereka terpaksa berada di sisimu, yakni dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” atau
suara dan kata yang mengandung makna kemarahan atau pelecehan atau kejemuan
walau sebanyak dan sebesar apa pun pengabdian dan pemeliharaanmu kepadanya dan
janganlah engkau membentak keduanya menyangkut apapun yang mereka lakukan
apalagi melakukan yang lebih buruk dari membentak dan ucapkanlah kepada
keduanya sebagai ganti membentak, bahkan dalam setiap percakapan dengannya,
perkataan yang mulia, yakni perkataan yang baik, lembut, dan penuh
kebaikan serta penghormatan.
Ayat ini di
mulai dengan menegaskan ketetpan yang merupakan perintah Allah SWT. Untuk
mengesakan Allah dalam beribadah, mengikhlaskan diri, dan tidak mempersekutukan-Nya,
sedang QS Al-An’am 151 di mulai dengan ajakan kepada kaum musyrikin untuk
mendengarkan apa yang diharamkan Allah yang antara lain adalah keharaman
mempersekutukan-Nya. Ini karena ayat Al-Isra di atas ditujukan kepada kaum
muslimin sehingga kata qadha/ menetapkan lebih tepat untuk dipilih,
berbeda halnya dengan ayat Al-An’am itu yang ditujukan kepada kaum musyrikin.
Dengan demikian, tentu saja lebih tepat bagi mereka menyampaikan apa yang
dilarang oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya.
Keyakinan akan
keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri kepadanya adalah dasar yang
padanya bertitik tolak segala kegiatan. Nah, setelah itu, kewajiban, bahkan
aktifitas apa pun hrus dikaitkan dengannya serta didorong olehnya. Kewajiban
pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah SWT. Dan beribadah
kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua
orangtua.
Ketika
menafsirkan QS An-Nisa 36 penulis (buku yang saya kutip) telah merinci
kandungan makna ihsaana. Di sana, antara lain dikemukaan bahwa al-Quran
menggunakan kata ihsaana untuk dua hal. Pertama, memberikan
nikmat kepada pihak lain dan kedua perbuatan baik. Karena itu, kata ihsan
lebih luas dari sekedar member nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan
lebih tinggi dan dalam dari pada kandungan makna adil karena adil adalah
memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya kepada anda, sedang ihsan
adalah memperlakukannya lebih baik terhadap anda. Adil, adalah mengambil
semua hak anda dan atau semua hak orang lain sedang ihsan adalah member
lebih banyak dari pada yang harus anda beri dan mengambil lebih seedikit dari
yang seharusnya yang anda ambil. Karena itu pula, Rasulullah SAW berpesan
kepada seseorang: “engkau dan hartamu adalah untuk/milik ayahmu” (HR. Abu
Daud).
Penulis juga
kemukakan bahwa al-Quran menggunakan kata penghubung bi ketika berbicara
tentang bakti kepada ibu bapak wa bi alwalidaini ihsaanan, padahal
bahasa membenarkan penggunaan li yng berarti untuk dan ila yang
berarti kepada untuk penghubung kata itu.
Menurut
pakar-pakar bahasa, kata ilaa mengandung makna cara, sedang Allah
tidak menghendaki adanya jarak, walau sedikit, dalam hubungan antara
anak dan orangtuanya. Anak selalu harus mendekat dan merasa dekat kepada ibu
bapaknya, bahkan kalau bisa, dia hendkanya melekat kepadanya dank arena itu
digunakan kata bi yang mengandung arti ilshaq, yakni kelekatan.
Karena kelekatan itulah bakti yang dipersembahkan anak kepada orangtuanya, pada
hakikatnya, bukan untuk ibu bapak, tetapi untuk diri sang itu sendiri. Itu pula
sebabnya tidak dupilih kata penghubung lam (li) yang mengandung makna
peruntukkan.
Syekh Muhammad
Thahir Ibnu ‘Asyur mempunyai pandanga lain. Menurutnya, kata ihsan bila
menggunakan idiom ba’ (bi), yang dimaksud adalah penghormatan dan
pengagungan yang berkaitan dengan pribadi seperti dalam firma-Nya mengabadikan
ucapan Yusuf a.s dalam QS Yusuf 100 yang menyatakan wa qod ahsana bi idz
akhrojani min assijne/ Dia (Allah) telah berbuat baik kepadaku ketika Dia
membebaskan aku dari penjara, sedang bila yang dimaksud dengan member
manfaat material, idiom yang digunakan adalah li dan, dengan demikian,
ayat ini lebih menekankan kebaktian pada penghormatan dan pengagungan pribadi
kepada keua orangtua.
Yang harus
dipahami adalah bahwa kata ihsan (bakti) kepada orangtua yang
diperintahkan agama Islam adalah sikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan
perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat sehingga merasa senang
terhadap kita serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar
sesuai kemampuan kita sebagai anak.
Ayat diatas
secara tegas kedua orangtua atau salah seorang diantara keduanya
saja dalam firman-Nya: imam yablughanna innaka al-kibara ahaduhuma auw
kilahuma/ jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya mencapai
ketuaan di sisimu walaupun kata mencapai ketuaan (usia lanjut) berbentuk
tunggal. Hal ini untuk menekankan bahwa apapun keadaan mereka, berdua atau
sendiri, masing-masing harus mendapat perhatian anak. Memang, boleh jadi
keberadaan orangtua sendirian atau keberadaan mereka berdua masing-masing dapat
menimbulkan sikap tak acuh kepadanya. Boleh jadi juga, kalau keduanya masih
berada di sisi anak, sang anak yang segan atau cinta pada salah satunya
terpaksa berbakti kepada keduanya karena keseganan atau kecintaan pada salah
seorang diantara mereka saja. Dan ini menjadikan ia tidak lagi berbakti kalau
yang disegani atau yang dicintainya telah tiada. Di sisi lain, boleh jadi juga
kalau yang hidup bersama sang anak hanya seorang diantara mereka, dia berbakti
kepadanya, sedang bila kedua-duanya, baktinya berkurang dengan dalih misalnya
biaya yang dibutuhkan amat banyak. Nah, ayat ini menutup segala dalih bagi anak
untuk tidak berbakti kepada kedua orangtua, baik keduanya berada di sisinya
maupun hanya salah seorang di antara mereka.
Kata kariman
biasa diterjemahkan mulia. Kata ini terdiri dari huruf-huruf kaf,
ra, dan mim ynag menurut pakar-pakar bahasa mengandung makna yang mulia
atau terbaik sesuai objeknya.
Bila dikatakan rizqun karim, yang dimaksud adalah rezeki yang halal
dalam perolehan dan pemanfaatannya serta
memuaskan dalam kualitas dan kuantitasnya. Bila kata karim dikaitkan
dengan akhlak menghadapi orang lain, ia bermakna pemaafan.
Ayat di atas
menuntut agar apa yang disampaikan kepada kedua orangtua bukan saja yang benar
dan tepat, bukan saja juga yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik dalam
suatu masyarakat, tetapi ia juga harus yang terbaik dan termulia, walaupun
seandainya orangtua melakukan sesuatu “kesalahan” dianggap tidak pernah
ada dan terhapus dengan sendirinya karena tidak ada orangtua yang bermaksud
buruk terhadap anaknya. [2]
B.
Mengakaji Hadis tentang Berbuat Baik kepada Orang Tua dan Guru
عَنْ عَبْدِللّٰهِ قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِييَ صَلَّى اللّٰهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اَيُّ اْلعَمَلِ اَحَبُّ اِلَى اللّهِ تَعَالَ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا،
ثُمَّ اَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ اْلوَا لِدَيِنِ ثُمَّ اَيٌّ؟ قَالَ: اْلجِهَادُ فِى سَبِيْلِ
اللّٰهِ. (رواه البخارى: ٤٩٦
Artinya:
“dari Abdullah r.a berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, amal apa
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala?” beliau menjawab,”Salat pada
waktunya.”(saya bertanya lagi),” Kemudian apa lagi?,” beliau menjawab,”Berbakti
kepada kedua orangtua,”(kemudian saya bertanya lagi),”kemudian apalagi?” beliau
menjawab,” berjuang dijalan Allah.” (H.R Al-Bukhari: 496).
Islam tidak hanya memberikan perhatian tentang kewajiban orantua
terhadap anak-anaknya. Islam juga memperhatikan kewajiban anak terhadap
orangtuanya. Anak berkewajiban berbaki kepada orangtua sebagai penghargaan atas
pengorbanan orangtua atas anak-anaknya.
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah bertnya kepada
Rasuullah SAW tentang perbuatan yang banyak mendatangkan pahala, yang paling
dicintai oleh Allah SWT. Beliau menjawab bahwa perbuatan yang paling banyak
mendatangkan pahala atau yang paling dicintai Allah SWT yaitu sebagai berikut.
1)
Salat tepat pada waktunya
Dengan
salat tepat waktu, berarti ia telah melakukan ketaatan secara kontinu dan
melakukan upaya muraqabah (mendekatkan diri pada Allah) secara optimal.
2)
Birrul Walidain, berbuat
baik kepada orangtua.
Seseorang
ingin mendapatkan pahala yang banyak maka ia harus sering berbuat baik kepada
orangtua sebagai bentuk terima kasih atas kebaikan mereka kepada anaknya sejak
dalam kandungan sampai dewasa.
3)
Jihat fi sabilillah,
berjuang di jalan Allah SWT
Berjuang
dijalan Allah adalah sangat penting untuk menegakkan agama Allah dan
meninggikan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal muslimin). Berjuang
di jalan Allah juga dalam rangka untuk mempertahankan kaum muslimin dari
gangguan-gangguan orang yang membenci Islam.
Dari pembahasan
ayat dan hadis di atas maka dapat kita garis bawahi bahwa adab terhadap kedua
orangtua kita, yaitu sebagai berikut:
1.
Hendaklah kita selalu tunduk dan patuh kepada orangtua dalam segala
hal yang baik. Ketika orangtua kita memerintahkan berbuat maksiat, seperti
mencuri atau melarang kita salat maka tidak boleh menaatinya.
2.
Apabila orangtua berada dalam kekafiran (belum beragama Islam) dan
memerintahkan kita untuk keluar dari agama Islam, atau memerintahkan
kemusyrikan, kita tidak boleh mentaatinya tetapi penolakan itu harus dengan
cara halus (ma’ruf).
3.
Kita dilarang berkata kasar atau membentak, misalnya berkata
hus/ah/sah! Dan kata-kata sejenisnya, yang termasuk ungkapan yang tidak baik.
4.
Apabila orangtua atau salah satunya mencapai usia lanjut, kita
harus berbuat baik kepadanya, sebagaimana orangtua merawat kita pada saat kita
masih kecil.
5.
Selalu berusaha menyenangkan hati orangtua dan menghindari hal-hal
yang menyusahkan hati kedua orangtua selama tidak bertentangan dengan kewajiban
kepada Allah dan Rasul-Nya.
6.
Mendahdulukan kepentingan mereka dari pada kepentingan sendiri,
bahkan daripada ibadah yang sunah.
7.
Membantu mereka dengan harta, membelikan kebutuhan mereka jika
mereka membutuhkan bantuan.
8.
Berbuat baik kepada mereka, seperti melayani kebutuhan mereka,
datang jika mereka memanggil dan lain-lain.
9.
Kita dilarang durhaka kepada kedua orangtua, seab itu termasuk
dosa.
10.
Senantiasa mendoakan, baik kepada orangtua yang masih hidup maupun
yang sudah wafat, dengan doa sebagai berikut.
اللّٰهُمَّ اغْفِرلِى ذُنُوْبِ وَلِوَا لِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانيْ
صَغِيْرًا
Tetapi, penulis menemukan redaksi lain di dalam Al-Qur’an yang
lafalnya sebagai berikut:
$oY/u öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur tPöqt ãPqà)t Ü>$|¡Åsø9$# ÇÍÊÈ
Artinya:
Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan
kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab
(hari kiamat)". (QS.
Ibrahim: 41)
Dalam ayat ini
ada syariat untuk mendoakan kedua orangtua dan semua orang yang beriman. Dan
salah satu dari kedua orangtua itu adalah wanita. Mendoakan kedua orangtua
adalah termasuk kebiasaan dan petunjuk para nabi, maka orang selain mereka
lebih patut untuk melakukannya. Dalam sebuah hadits disebutkan;
اَوْ وَلَدٌ صَالِحٍ يَدْعُوْالَهُ
Artinya;
“Atau
anak sholeh yang mendoakannya.” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah)[3]
11.
Jika orangtua kita sudah wafat maka kewajiban kita, yaitu:
a.
Memandikan, mengkafani, menyalati, dan menguburnya.
b.
Melaksanakan wasiatnya (yang baik), jika berwasiat.
c.
Melunasi tanggungan/utang-utangnya jika punya utang.
d.
Meneruskan perjuangannya.
e.
Senantiasa menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang pernah
menjadi teman karib orantua kita.
f.
Memohonkan ampun untuk mereka.[4]
Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra. Yang
berkata, “saya pernah bertanya kepada Nabi saw. “amalan apakah yang paling
dicintai oleh Allah swt? “beliau menjawab, “shalat tepat pada waktunya.” Ibnu
Mas’ud bertanya, “kemudian apa? “beliau bersabda, “kemudian berbakti kepada
kedua orangtua.” Ibnu Mas’ud bertanya, kemudia apa? “beliau bersabda, “jihad
fi sabili-Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “semua itu disabdakan beliau
kepadaku. Andai kata aku meminta tambahan, tentu beliau menambahkan untukku.
“(Bukhari. 5970, dan Muslim. 85).
Dalam hadits
ini, kedudukan berbakti kepada orangtua lebih didahulukan daripada jihad fi
sabili-Allah,[5]
yag merupakan puncak tertinggi ajaran Islam.
Karena itu,
kedudukan ini lebih didahulukan daripada amalan yang kedudukannya lebih rendah
daripada jihad. Ia lebih didahulukan dari bepergian, apabila bukan merupakan bepergian
yang wajib seperti bepergian untuk menjalankan haji wajib, misalnya. Namun,
bila bepergian untuk melaksanakan haji nafilah atau umrah nafilah maka berbakti
kepada kedua orangtua lebih didahuukan daripada keduanya.
Bakti kepada
kedua orangtua juga lebih didahulukan daripada mencari ilmu, sekalipun ilmu
yang dicari adalah ilmu agama, apabila ilmu di sini termasuk kategori fardhu
kifayah. Adapun apabila seseorang tidak mengetahui bagaimana ia beribadah
kepada Rabbnya, bagaimana cara mentauhidkan-Nya, bagaimana tata cara
melaksanakan shalat, atau bagimana ia menjatuhkan talak apabila ia perlu
menjatuhkan talak. Maka, dalam keadaan demikian mencari ilmu lebih didahulukan
daripada berbakti kepada kedua orang tua.
Berbakti kepada
kedua orangtua juga didahulukan daripada bepergian untuk mencari nafkah.
Apabila seseorang tersebut sudah memiliki makanan yang cukup untuk menegakkan
tulang punggungnya, serta menghilangkan rasa laparnya, dan rasa lapar seisi
rumahnya, mempunya rumah dan pakaian yang bisa melindungi tubuhnya, selama ia
dalam keadaan aman dan tetap tinggal di negerinya, tidak takut adanya fitnah
yang menyangkut agamanya atau terjadinya bencana yang tidak sanggup
ditanggungnya.[6]
Disamping kita
memiliki kewajiban berbakti kepada orang tua, kita juga berkewajiban bersikap
hormat dan patuh kepada guru. Jasa guru sangat besar bagi murid dan masyarakat,
bahkan bagi kemajuan bangsa dan Negara. Kita tidak akan pandai dan berilmu
tanpa bimbingan guru karena untuk menjadi presiden, menteri, insinyur, dokter, dan
sebagainya pasti memerlukan bimbingan guru.
Tugas guru
tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan kepada muridnya, tetapi juga bertugas
mendidik mereka agar menjadi manusia yang baik, sehat jasmani dan rohani. Kelak
diharapkan agar mereka menjadi warga Negara yang baik, luhur budinya, cinta
kepada tanah air dan bangsanya.
Bagi pelajar
yang setiap hari berhubungan dengan gurunya, adab dan sopan santun mereka perlu
diperhatikan dan dilaksanakan, sebagaimana diperintahkan Nabi dalam hadisnya:
وَقِّرُوْا مَنْ
تَتَعَلَّمُوْانَ مِنْهُ اْلعِلْمَ. الخطيب: ٧٩٨
Artinya: “Muliakanlah orang-orang
yang telah memberikan pelajaran (ilmu) kepadamu”. (al-Khatib: 798)
Termasuk tata
karma menghargai dan menghormati guru, yaitu:
1.
Jika bertemu dengan guru, ucapkanlah salam.
2.
Memperhatikan penjelasan guru ketika guru sedang member pelajaran.
3.
Tunjukkanlah rasa rendah hati dan hormat serta sopan santun, baik
dalam tutur kata maupun tingkah laku sehari-hari terhadap guru.
4.
Menaati perintahnya selama perintah itu tidak bertentangan dengan
ajaran agama, undang-undang atau peraturan yang berlaku.
5.
Seorang murid harus senantiasa menjaga nama baik gurunya.
6.
Mengunjungi guru jika ia sedang sait atau mendapat musibah.
7.
Tetap mengakuinya sebagai guru walaupun sudah tidak mengajar lagi.
8.
Patuh terhadap tata tertib sekolah berarti pula patuh terhadap guru
sebagainya.[7]
Selain itu kita
diperintahkan mendengarkan dengan baik secara seksama, dan mudah-mudahn kita
termasuk orang-orang yang mendengarkan yang baik-baik dan mengikuti yang
terbaik. Ada diantara penuntut ilmu Syar’i yang rajin mengahdiri majlis-majlis
ilmu, namun ia tidak mendengarkan pelajaran yang disampaikan dengan penuh
perhatian sehingga keadaan dia ketika pulang dari majlis ilmu itu sama dengan
keadaannya ketika ia mendatanginya, yaitu pulang dengan tidak membawa ilmu
syar’i yang disampaikan. Bahkan ada diantara mereka yang telah menghadiri
mejlis ilmu selama bertahun-tahun tetapi tidak mendapat ilmu dan tidak ada
perubahan.
Para Salafush Shalih adalah manusia
yang sangat antusias terhadap ilmu. Apabila seorang syeikh atau guru
menyampaikan pelajaran, mereka pun mendengarkan sungguh-sungguh.
Dalam riwayat lain Ahmad bin Sinan
mengatakan, “tidak ada yang berbicara dalam majlis Abdurrahman tidak ada pula
pensil yang diraut, tidak ada pula seorang pun tersenyum, dan tidak ada seorang
pun berdiri. Seolah-olah diatas kepala mereka ada burung atau seolah-olah
mereka sedang sholat. Jika ia melihat salah seorang diantara mereka tersenyum
atau bercakap-cakap, maka ia memakai sandalnya lalu keluar.
Seorang penuntut ilmu harus berusaha
menjadi pendengar yang baik, mendengarkan yang baik-baik, yaitu al-Quran dan
hadis-hadis Nabi SAW agar ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dapat
mengamalkan keduanya.[8]
Allah SWT berfirman:
t4 ÷Åe³t6sù Ï$t7Ïã ÇÊÐÈ tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
Artinya:
“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal sehat.”(Q.S Az-Zumar: 17-18)
Salah satu etika
orang yang belajar yang dituntun oleh hadis Nabi adalah menghormati guru sesuai
dengan haknya. Kedudukan guru bagi muridnya tak ubahnya orangtua terhadap
anaknya. Bahkan Yahya bin Mu’az mengatakannya,” ulama (guru) lebih mengasihi
umat Muhammad ketimbang ibu-bapak mereka sendiri.” Ketika ditanya mengapa
demikian, Yahya menjawab,”karena ibu-bapak mereka hanya menjaga mereka dari api
dunia, sedangkan ulama menjaga mereka dari api akhirat.” Berdasarkan hal ini,
menurut Al-Ghazali, hak guru lebih besar daripada hak kedua orangtua. Orangtua
adalah sebab lahirnya seseorang dalam kehidupan fan, sedangkan guru menjadi
sebab seseorang berada dalam kehidupan abadi (di akhirat). Kalaulah tidak ada
guru, apa yang diterima oleh seseorang dari bapaknya niscaya menjulur kepada
kebinasaan. Guru adalah orang yang memberikan makna hidup di akhirat atau lmu
dunia yang bertujuan akhirat.
Didalam masalah
kelebihan antara guru da orangtua, seorang penyair mengatakan:
Ini pendidik roh.
Dan roh adalah permata.
Dan itu pendidik fisik.
Dan fisik itu seperti shadaf.
Al-Hasan
mengatakan,”kalaulah tidak ada ulama (guru-guru), manusia menjadi binatang.” Artinya,
dengan mengajar berarti para ulama membebaskan manusi dari kebinatangan kepada
manusia hakiki. [9]
Dari Ali bin
Thalib: “sesungguhny termasuk haknya orang berilmu bahwa engkau tidak
memperbanyak pertanyaan kepadanya, dan jangan kau paksa ia menjawab serta
jangan kau ulangi pertanyaan jika ia malas menjawab, jangan pula kau jambak
bajunya bila ia bangkit dari tempat duduknya, jangan kau paparkan kepadanya
rahasia apapun, jangan kau minta ia banyak bercerita, jika ia terpeleset,
terimalah halangan (maaf)nya. Enkau berkewajiban menghormatinya dan
menghargainya karena Allah selama ia menjaga perintah Allah. Jangan duduk di
depan (membelakanginya). Jika ia membutuhkan sesuatu, hendaknya engkau segera
bangkit untuk membantunya. (Jami’u Bayanil-Ilmi, Jilid I, hal. 156-157)
Salah satu cara
penghormatan murid terhadap gurunya, hendaknya si murid diam, berbicara dan
bertanya pada tempatnya. Al-Hasan bin Ali pernah menasehati putranya,”Wahai
anakku, jika engkau berkumpul dengan ulama, hendaknya engkau betul-betul
memperhtikan ucapanya. Belajarlah cara memperhatikan ucapan seseorang dengan
baik sebagaimana juga hendaknya engkau belajar bagaimana cara berdiam diri yang
baik. Jangan sekali-kali engkau memotong pembicaraan seseorang, betapa pun
panjangnya, sebelum ia berhenti berbicara.” [10]
BAB III
TE LAAH
A.
TELAAH SUBSTANSI (ISI)
1.
Mengkaji Surah al-Isra’ Ayat
23 tentang Menghormati Orang Tua dan Guru
Dari pembahasan
Bab II sudah jelas mengenai inti sari dari apa yang menjadi tujuan turunnya
ayat tersebut. Namun, bagi pemula seperti siswa/siswi SMA alangkah baiknya jika
guru Pendidikan Agama Islam memiliki banyak wawasan sehingga jika seorang guru
ditanya maka dengan mudah untuk menjawab pertanyaan dari siswa/siswi. Selain
itu juga guru dapat menerangkan kepada siswa/siswi dengan berbagai aspek
pengetahuan yang diperoleh. Maka dari itu di sarankan untuk membaca buku Tafsir
Al-Misbah yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab.
2.
Mengakaji Hadis tentang Berbuat Baik kepada Orang Tua dan Guru
Dalam
hal mendoakan kedua orang tua, doa yang tertulis di atas adalah sebaghagian
dari doa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, adapun kalau tidak dapat membaca
dalam bahasa Arab atau tidak memahaminya, maka boleh berdoa dengan susunan
redaksi dalam bahasa sendiri. Insya Allah Tuhan akan mengabulkan.[11]
B.
TELAAH FORMATIF
1.
Metode
Dalam mengajarkan maeri tentang menghormati orang tua dan guru
menurut penulis metode yang tidak bisa ditinggalkan adalah metode ceramah,
walaupun tidak sepenuhnya harus dengan metode ceramah tapi paling tidak untuk
menjelaskan makna-maknanya dapat dilakukan dengan ceramah. Yang pada mulanya
menurut penulis diberi pengantar berupa pendekatan kebermaknaan, yakni
memberikan sebuah kalimat-kalimat seperti renungan, nasehat dan sebagainya. Hal
ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, bisa dengan kisah-kisah hikmah,
puisi, audio, atau berupa tayangan video. Namun, menurut penulis ada hal yang
paling perlu untuk disadari adalah, bahwa penggunaan setiap metode itu
hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, dalam hal-hal yang
bersifat sarana maupun yang bersifat kondisi psikologis peserta didik itu
sendiri.
2.
Bahasa
Dalam hal penggunaan bahasa, menurut penulis secara hampir
keseluruhan sudah baik, selain karena disusun oleh para ahli namun juga dalam
penyusunannya sebenarnya memang sudah disesuaikan dengan tingkat kemampuan
rata-rata peserta didik dalam memahami bahasa Indonesia. Namun, terlalu tidak
serta-merta penulis mengatakannya sempurna. Oleh sebab itu,
penggunaan-penggunaan bahasa dalam penulisan yang memang perlu di telaah,
penulis dengan sangat terbuka akan bersedia untuk mendiskusikannya. Selain
perlu disadari bahwa penilaian setiap orang tidak selalu sama, juga karena
mungkin kekurang telitian penulis dalam menelaah itu sangat mungkin terjadi.
3.
Materi
Penulis ingin mengatakan bahwa, dalam materi tentang berbuat baik
kepada orang tua dan guru tidak tercantum dalam buku ajar, di satu sisi ini
baik sekali karena menuntut seorang guru memilikisumber rujukan atau wawasan
yang lebih lua diabningkan peserta didik, namun di sisi lain jika gur tidak
menyampaikan tentang hadits tersebut maka peserta didik cenderung tidak maun
mencari dalam literature-literatur lain, karena seperti terjadi dibeberapa
sekolahan tidak semua guru termasuk juga guru agama selalu disiplin masuk dan
mengajar di ruang kelas.
4.
Media
Kemudian hal tidak kalah penting guna mendukung dalam proses
berlangsungnya belajar-mengajar ialah apa yang disebut dengan media. Media
menurut penulis adalah segala alat bantu yang berupa benda yang menunjang
proses penyampaian atau pendukung dalam proses belajar-mengajar. Seperti
dikatakan pada bagian telaah metode di atas, maka beberapa media yang bisa
digunakan adalah radio, televise, proyektor, dan media yang tidak penulis
sebutkan tentunya masih banyak lagi. Namun, tidak lah harus penulis sebutkan
seluruhnya, karena penulis ingin mengembalikannya kepada masing-masing calon
guru untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi dimana tempat mengajar
nantinya, karena setiap kita harus memiliki inovasi guna menyelesaikan masalah.
5.
Alokasi waktu
Waktu pada dasarnya sudah biak, namun jika ditambah pun itu akan
lebih baik lagi. Berhubung kurikulum 2013 menekankan kepada siswa untuk belajar
aktif, dengan arahan guru dan bimbingan yang benar dari orang tua sebenarnya
siswa memiliki banyak ruang dan waktu untuk belajar di lua bangku sekolah.
Begitu menurut penulis, namun dengan tetap terbuka untuk bermaksud menerim
masukan ide dari dosen dan rekan-rekan sekalian.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dan Tuhanmu yang
selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu telah menetapkan dan
memerintahkan supaya kamu, yakni engkau wahai nabi Muhammad dan seluruh
manusia, jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbakti kepada
kedua orangtua, yakni ibu bapak kamu, dengan kebaktian sempurna. Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya mencapai ketuaan, yakni
berumur lanjut atau dalam keadaan lemah sehingga mereka terpaksa berada di
sisimu, yakni dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” atau suara dan kata yang
mengandung makna kemarahan atau pelecehan atau kejemuan walau sebanyak dan
sebesar apa pun pengabdian dan pemeliharaanmu kepadanya dan janganlah engkau
membentak keduanya menyangkut apapun yang mereka lakukan apalagi melakukan
yang lebih buruk dari membentak dan ucapkanlah kepada keduanya sebagai
ganti membentak, bahkan dalam setiap percakapan dengannya, perkataan yang
mulia, yakni perkataan yang baik, lembut, dan penuh kebaikan serta
penghormatan.
Berbakti kepada kedua orangtua juga didahulukan daripada bepergian
untuk mencari nafkah. Apabila seseorang tersebut sudah memiliki makanan yang
cukup untuk menegakkan tulang punggungnya, serta menghilangkan rasa laparnya,
dan rasa lapar seisi rumahnya, mempunyai rumah dan pakaian yang bisa melindungi
tubuhnya, selama ia dalam keadaan aman dan tetap tinggal di negerinya, tidak
takut adanya fitnah yang menyangkut agamanya atau terjadinya bencana yang tidak
sanggup ditanggungnya.
Disamping kita memiliki kewajiban berbakti kepada orang tua, kita
juga berkewajiban bersikap hormat dan patuh kepada guru. Jasa guru sangat besar
bagi murid dan masyarakat, bahkan bagi kemajuan bangsa dan Negara. Kita tidak
akan pandai dan berilmu tanpa bimbingan guru karena untuk menjadi presiden,
menteri, insinyur, dokter, dan sebagainya pasti memerlukan bimbingan guru.
Begitulah pentingnya berbuat baik kepada orang tua dan guru,
terlebih-jika orang tua kita berusia lanjut dalam pemeliharaan kita,
mudah-mudahan kita dapat mengambil pemahaman yang benar lalu meneladaninya.
Amin.
B.
SARAN
Berhubung dalam penulisan makalah ini sangat di sadari adanya
kekurang lengkapan pemaparan maupun kesalahan dalam penulisan, maka dengan
sangat rendah hati penulis menerima segala ide yang dapat melengkapi kekurangan
tersebut, namun tidak perlu dalam bentuk kritik yang mendiskreditkan tentunya,
karena setiap kita memiliki salah.
Tidak lupa penulis ucapkan maaf atas kekurangan makalah ini, dan
terimakasih kiranya apabila ada masukan ide yang bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, “Pengembangan
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 1A,” Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2014.
Al-Adawi,
Mustafa bin, “Fikih Birrul Walidain, Menjemput surga dengan bakti orangtua,”
Solo; Al-Qowam, 2013.
Al-Qardlawi,
Yusuf, Metode dan Etika Pengembangn Ilmu Perspektif Sunnah, Bandung: CV
Rosda, 1989.
Jawas, Yazid
bin Abdul Qodir, “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga”, Bogor; Pustaka
Attaqwa, 2008.
Khan, Syaikh
Muhammad Siddiq Hasan, “Tafsir ayat-ayat wanita,” Klaten; Wafa Press,
2014.
Shihab,
M. Quraish, “Menjawab 1001 soal keilsman yang patut anda ketahui,” Jakarta;
Lentera Htai, 2012.
Shihab, M.
Quraish, “Tafsir Al-Mishbah,” Jakarta; Lentara Hati, 2012.
[1] Abdurrohim,
“Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 1A,” Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hal. 28-29.
[2]M.
Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah,” Jakarta; Lentara Hati, 2012, hal.
65-66.
[3]Syaikh
Muhammad Siddiq Hasan Khan, “Tafsir ayat-ayat wanita,” Klaten; Wafa
Press, 2014, hal. 206.
[4] Abdurrohim,
“Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 1A,” Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hal. 30
[5]Ini
berlaku ketika hokum jihad masih fardhu kifayah.
[6]Mustafa
bin Al-Adawi, “Fikih Birrul Walidain, Menjemput surga dengan bakti
orangtua,” Solo; Al-Qowam, 2013, hal. 9-10.
[7] Abdurrohim, “Pengembangan
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 1A,” Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2014, hal. 28-34.
[8]
Yazid bin Abdul Qodir Jawas, “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga”, Bogor;
Pustaka Attaqwa, 2008, hal. 79-81
[9] Dr.
Yusuf Al-Qardlawi, Metode dan Etika Pengembangn Ilmu Perspektif Sunnah,
Bandung: CV Rosda, 1989, hal. 116-117
[10] Ibid,…
hal. 119
[11]M.
Quraish Shihab, “Menjawab 1001 Soal Keilsman Yang Patut Anda Ketahui,” Jakarta;
Lentera Htai, 2012, hal. 27-28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar