BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
Agama Islam mempunyai peran yang amat penting dalam membentuk karakter dan
perilaku peserta didik. Melalui Pendidikan Agama Islam diharapkan siswa akan
terbentuk menjadi pribadi yang bertaqwa, berwibawa, dan berakhlak mulia.
Salah satu
aspek yang diajarkan dalam Pendidikan Agama Islam adalah sumber acuan dalam
agama itu sendiri yaitu Al Qur’an dan Hadits. Di lingkungan sekolah Madrasah
Tsanawiyah/ Aliyah aspek ini tertuang dalam mata pelajaran Al Qur’an Hadits.
Karena seperti yang kita tahu di sekolah-sekolah Madrasah Tsanawiyah/
Aliyah materi-materi Pendidikan Agama Islam dibagi ke dalam beberapa bagian
sehingga bisa dibahas lebih mendalam. Begitu pula dengan hal-hal yang
berkaitan dengan Al Qur’an dan Hadits akan dibahas secara lebih mendalam
dalam mata pelajaran Al Qur’an Hadits.
Menyadari
betapa pentingnya fungsi mata pelajaran Al Qur’an Hadits bagi peserta didik
maka penulis berkeinginan untuk menganalisis buku teks yang menjadi pegangan
guru dalam mengajar. Dalam makalah ini penulis akan menganalisis buku teks Al
Qur’an Hadits kelas X MA Semester 2.
Hasil
analisis berupa kelebihan-kelebihan buku akan dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Adapun kesalahan-kesalahan/kekurangan-kekurangannya
harus diperbaiki dan diperkaya dengan materi-materi Al Qur’an Hadits dari
sumber lain untuk menghasilkan buku pegangan yang lebih baik ke depannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Telaah Substansi Materi Al-Qur’an Hadis Kelas X Semester 2 ?
2. Bagaimana
Telaah Formatif Materi Al-Qur’an Hadis Kelas X Semester 2 ?
BAB
III
PEMBAHASAN
I.
Telaah
Substansi
A. BAB VII Istilah-Istilah Hadis
1. Pengertian Hadis, Sunnah,
Khabar, Athar dan Hadis Qudsi
a. Hadis
Hadis atau
al-Hadis menurut bahasa (etimologi) al-jadid ( ﺠﺪﻴﺪ), yang artinya sesuatu yang baru ,
lawan dari al-Qadim (lama) artinya yang berarti menunjukkan kepada
waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti seperti orang yang baru masuk
/ memeluk agama Islam. Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli
memberikan beberapa definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai disiplin
ilmunya:
1.
Menurut ahli Hadis , menjelaskan
bahwa Hadis adalah “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.” Hal
ihwal adalah adalah segala yang diriwayakan Nabi SAW yang berkaitan dengan
hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
2.
Menurut sebagian Muhaddtisin ,
menjelaskan bahwa Hadis adalah suatu ketetapan yangtidak hanya disandarkan
kepada Nabi SAW (Hadis marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan
kepada sahabat (Hadis mauquf), dan tabi’in (Hadis maqtu’),.
3.
Sementara menurut para ulama ushul
memberikan pengertian Hadis adalah “segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan
taqrirnya yang berkaitan dengan hokum syara’ dan ketetapannya”.[1]
b. Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik
atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah
ditinjau dari sudut bahasa bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak.
Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.[2]
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli Hadis) ialah
segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian
itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun
sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang
karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya
memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep
perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu
yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga
sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.[3]
Sunnah
menurut bahasa berarti “Jalan yang terpuji dan atau yang tercela”. Dalam
kaitannya dengan sunnah yang diartikan dengan “al-siiratu” atau “al-thariiqatu”
khalid bin ‘Utbah Al-Hadzi mengatakan: ”Janganlah kau halangi perbuatan yang
telah engkau lakukan, karena orang yang pertama menyenangi sesuatu perbuatan
adalah orang yang melakukannya”. Bila sunnah disebutkan dalam masalah yang
berhubungan dengan hukum syara’, maka yang diaksudkan tiada lain kecuali segala
sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik
yang berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Dan apabila dalam dalil
hukum syara’ disebut al-kitab dan al-sunnah, berarti yang dimaksudkan adalah
Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sedang
sunnah menurt istilah adalah di kalangan para ulama terdapat perpedaan
pendapat, diantaranya sebagai berikut :
1.
Menurut para ahli Hadis
menyatakan “ sunnah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup,
baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”.[4]
2.
Menurut ulama ushul fiqih menyatakan
“ sunnah ialah segala yang berasal dari Nabi SAW selain Al-Qur’anul Karim yang
dapat dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’’.
3.
Menurut Para ahli Fiqih(Fuqaha)
menyatakan “segala sesuatu yang ditetapkan dari Nabi SAW dan tidak termasuk bab
fardhu dan tidak pula wajib, yaitu jalan yang dikuti dalam agama selain bukan
kefardhuan dan kewajiban ”.[5]
c. Khabar
Khabar
menurut bahasa ialah sesuatu yang dinukilkan dan diperbincangkan atau berita
yang dipindahkan dari orang ke orang lain.[6]
Sedang pengertian khabar menurut istilah antara satu ulama dengan ulama lainnya
berbeda pendapat. Menurut ulama ahli hadist sama artinya dengan Hadis, keduanya
dapat dipakai untuk sesuatu marfu’, mauquf, dan maqthu’, mencakup segala yang
datang dari nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa
istilah Hadis sama artinya dengan Khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu
yang marfu’, mauquf, dan maqthu'.[7] Ulama
lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW.,
sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadis. Ada juga ulama yang mengatakan
bahwa Hadis lebih umum dari Khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa
khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap Hadis dapat dikatan Khabar,
tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadis.[8]
Menurut istilah sumber ahli Hadis; baik berita dari Nabi maupun berita dari sahabat, ataupun berita dari tabi'in. Ada ulama
yang berpendapat bahwa Khabar digunakan buat segala berita yang diterima dari yang
selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan
Hadis dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary
atau Khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis lebih umum dari
Khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa Khabar lebih umum dari
pada Hadis, karena masuk ke dalam perkataan Khabar, segala yang
diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan Hadis khusus
terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.Misalnya khabar mauquf
adalah khabar yang dikeluarkan Imam al-Bukhari rahimahullah, tentang perkataan
seorang rawi, bahwa ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
حدثوا الناس بما يعرفون ،
أتريدون أن يكذب الله ورسوله
Artinya: “Ceritakanlah kepada manusia
sesuatu yang mereka ketahui. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya
didustakan?.
d. Atsar
Dari segi
bahasa Atsar diartikan peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan
atau bekas nabi karena hadist itu peninggalan beliau.
Menurut
istilah ada dua pendapat pertama atsar sinonim hadis. Kedua atsar adalah
sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (maukuf) dan tabi’in (maqthu)
baik perkataan maupun perbuatan.[9]
Atsar
menurut etimologi berarti” sisa – sisa perkampungan ”. Sedangkan menurut
terminology ada dua pendapat yaitu:
1)
Pengertian atsar identik dengan
pengertian hadis sebagaiman yang dikatakan oleh Imam Al Nawawi bahwasanya para
ahli hadis menyebut hadis marfu’ dan hadis maukuf dengan atsar.
2)
Atsar ialah sesuatu yang datang dari
sahabat (baik perkataan maupun perbuatan).
3)
Dalam hal ini atsar berarti hadits
mauquf. Dan ini barang kali ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau
peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau
peninggalan-peninggalan dari Nabi saw. Dan oleh karena yang berasal dari Nabi
sawdi sebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari sahabat di sebut
atsar.[10]
Atsar
menurut pendekatan bahasa sama pula artinya dengan khabar , hadist, dan sunnah.
Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat
para ulama. Sedangkan menurut istilah :
“Yaitu
segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat,dan boleh juga disandarkan pada
perkataan Nabi SAW” . Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama engan khabar,
yaitu Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. sedangkan
menurut ulam khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf’dan khabar untuk yang
marfu’.[11]
e. Hadis Qudsi
Kata “qudsi”
menurut bahsa berarti “suci” dan “bersi”, sedangkan kata
“hadis qudsi” menurut arti bahasanya ialah hadis Allah, sesuai dengan sifat
Allah Yang maha Suci dan bersih. Dan oleh karena itu, kadang disebut pula
dengan sebutan “hadis rabbani” , karena dihubungkan dengan kata “rabb”
yang berarti tuhan.
Sedangkan
menurut terminologinya hadis qudsy ialah apa apa yang dihubungkan oleh
rosulullah kepada Allah selain al quran. Atau seperti perkataan sahabat yang
menyebutkan “bahwa Rasulullah saw bersabda dari apa yang beliau riwayatkan
dariTuhannya.”
Hadits
qudsyi di sebut hadits, karena memang dari perkataan Rasulullah saw dan
merupakan hikayat Rasullah saw dari Tuhannya. Di sebut qudsi karena memang
hadits itu di hubungkan kepada Allah Yang Maha Qudus.[12]
Hadis qudsi
adalah suatu hadis yang ma`nanyadari allah yang disampaikan melalui suatu wahyu
sedangkan redaksinya dari nabi yang disandarkan kepada allah. Namun jumlah
hadis qudsy tidak terlalu besarhanya sekitar 400 buah hadis secara
terulang-ulang sanad atau sekitar 100 buah hadis lebih, ia tersebar dalam 7
kitab induk hadis.mayoritas kandungan ilmu hadis qudsy tentang
akhlak,aqidah,dan syari`ah.[13]
Rasul SAW,
Kadang menyampaikan kepada para sahabat nasehat-nasehat dalam bentuk wahyu
tersebut bukanlah bagian dari ayat Al-Qur’an. Itulah yang biasa disebut dengan
Hadist Qudsi atau sering disebut juga dengan Hadis Illahiy atau Hadis Rabbany.
Yang
dimaksud dengan Hadis qudsi yaitu: “setiap Hadis yang Rasul menyandarkan
perkataannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Pengertian lain yang semakna dengan
pengertian diatas adalah: “sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta’alah kepada
Nabinya dengan melalui Ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna
dari ilham tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri”.[14]
B. BAB VIII Unsur-Unsur Hadis
Adapun unsur-unsur hadits adalah sebagai berikut:
1.
Sanad
Menurut bahasa sanad adalah sandaran, hubungan atau rangkaian
perkara yang dapat dipercaya, dan rentetan rawi hadits sampai pada Nabi
Muhammad. Sedangkan menurut istilah adalah mata rantai para perawi hadits yang
menghubungkan sampai kepada perawi hadits.[15]
2.
Matan
Kata matan menurut bahasa berarti keras, kuat, sesuatu yang nampak
dan yang asli. Dalam perkembangan karya tulis ada matan dan ada syarah.
Matan di sini diartikan karya atau karangan asal seseorang yang pada
umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Sedangkan syarahnya
dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Menurut istilah matan
adalah sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad. Definisi lain
menyebutkan matan adalah beberapa lafal hadits yang membentuk beberapa
makna.[16]
Berbagai redaksi definisi matan yang diberikan ulama’, tetapi
intinya sma yaitu materi atau berita hadits itu sendiri yang datang dari Nabi. Matan
hadits ini sangat penting karena yang menjadi topik kajian dan kandungan
syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.
3.
Rawi
Kata rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayah yang
berarti memindahkan dan menukilkan. Yakni memindahkan atau menukilkan suatu
berita dari seseorang kepada orang lain. Dalam istilah Ar-rawi adalah
orang yang meriwayatkan atau orang yang menyampaikan periwayatan hadits dari
seorang guru kepada orang lain yang terhimpun kedalam buku hadits. Untuk
menyatakan perawi hadits dikatakan dengan kata “hadits diriwayatkan oleh”.[17]
Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang
tidak dapat dipisahkan karena sanad hadits pada setiap generasi terdiri
dari perawi. Mereka adalah orang-orang yang menerima dan meriwayatkan
atau memindahkan hadits dari seorang guru kepada muridnya atau teman-temannya.
C. BAB IX Kedudukan dan Fungsi Hadis
1. Kedudukan Hadis dalam Islam
Seluruh umat islam, telah sepakat
bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia mempati
kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat islam baik
yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti
Al-Qur`an. Hai ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi
Al-qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-qur`an
tampa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis
tampa Al-qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadis dengan
Al-qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak
bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri-sendiri.[18]
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum
yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an.
Perbendaharaan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an, tidak lepas dari salah satu dari
fungsinya:
a.
Berfungsi menetapkan dan memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya
bersama-sama menjadi sumber hukum.[19]
b.
Memberikan perincian dan penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan)
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum.[20]
2. Dalil Kewajiban Mengikuti Hadis
a. Dasar Iman
Banyak ayat
al-qur`an dan hadist yang memberikan pengertian bahwa hadist itu merupakan
sumber hukum islam selain al-qur`an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya.
b. Dasar Al-Qur’an
Banyak ayat
al-qur`an yang menerangkan tentang kewajiban mengikuti sunnah, mempercayai dan
menerima segala yang di sampaikan oleh rasul kepada umatnya untuk di jadikan
pedoman hidup manusia.[21]
Di antara
ayat-ayat yang di maksud adalah ,Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat
179 yang berbunyi :
مَا كَانَ
اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ
الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ
عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ
أَجْرٌ عَظِيم
Artinya:
``Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan
jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar``Qs,Ali Imran
(3):179).[22]
Dan dalam
ayat lain Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ
عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ
مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدا
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang
siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya``(Qs, Al-Anisa’ (4):136)[23]
Oleh karena itulah orang-orang mukmin di tuntut agar tetap beriman kepada
Allah dan Rasulnya.
Selain Allah memerintahkan umat islam agar pecaya kepada rasul SAW,
juga menyuruhkan agar menaati segala bentuk perundang-undagan dan peraturan
atau petunjuk yang di bawanya yaitu Al-qur`an dan hadist serta sunnahnya.[24]
c. Dasar Hadis
Dalam salah
satu pesan Rasulullah SAW berkenaan keharusan menjadikan hadist sebagai
pedoman hidup , di samping Al-qur`ansebagai pedoman utamanya.[25]
Rasullah Bersabda yang Artinya : ``Aku tinggalkan dua pusaka untuk mu
sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnahnya.(HR.Malik).
Banyak peristiwa yang menunjukkan kesepakatan menggunakan hadist sebagai
sumber hukum islam antara lain :
1)
Ketika Abu Bakar di bait menjadi
khlifah, ia pernah berkata”saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang di
amalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya.[26]
2)
Saat umar berada di depan
Hajar Aswad ia berkata:” saya tau engkau adalah batu. Seandainya saya tidak
melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu’’.[27]
3)
Pernah di tanya kepada ‘Abudullah
bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-qu`an. Ibnu umar menjawab
:”Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui
sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat. sebagai mana duduknya Rasulullah SAW,
saya akan makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya Shalat
sebagaimana shalatnya Rasulullah’’.[28]
4)
Diceritakan dari sa`id bin Musayyab
bahwa ‘ Usman bin Affan berkata : saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah
SAW, , saya akan makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya Shalat
sebagaimana shalatnya Rasulullah ’’.
d. Dasar Ijma’ Ulama
Umat
islam,kecuali mereka para penyimpang dan membuat kebohongan, telah sepakat
menjadikan Hadis sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan
mereka terhadap hadis sama seperti penerimaan merak terhadap Al-Qur`an, karena
keduanya sama-sama di jadikan sumber hukum islam. Kesepakatan umat islam dalam
mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam
hadis berlaku sepanjang zaman.[29]
e. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan
Nabi Muhammad SAW telah di akui dan di benarkan oleh umat islam. Ini
menunjukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi Muhammad membawa missi untuk mencegah
amanat dari Zat yang mengangkat kerasulan itu, yaitu Allah SWT. Allah SWT
bahkan menjadikan kerasulan ini sebagai salah satu dari prinsip keimanan.[30]
3. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an,
maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas
daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a.
Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni
ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan
tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan
shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku
perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan
sempurnakanlah hajimu ).[31]
b.
Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk
memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi:
“Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat
Al-Baqarah : 185.[32]
c.
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan
sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan
zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”,
adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34,
yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak
kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan
azab yang pedih”.[33]
d.
Bayan at-Tasyri`
Kata at-tasyri` ,artinya
pembuatan, mewujudkan,atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yangd di maksud
dengan bayan at-tasyri` di sini ialah penjelasan hadis yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara`
yang di dapati nashnya dalam Al-qur`an.[34]
e.
Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa,
bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibthal (membatalkan), atau al-ijalah
(menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir
(mengubah).
Dari pengertian di atas, bahwa
ketentuan yang dating kemudian dapat menghapus ketentuan yang dating terdahulu.
Hadis sebagai ketentuan yang dating kemudian dari pada al-Qur`an dalam hal ini
dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan Al-qur`an.[35]
Jumhur ulama mengatakan bahwa
al-sunnah merupakan urutan ke dua setelah al-qur`an. Untuk hal ini
al-suyuthi dan al-Qasimi mengemukakan argumentasi rasional dan argumentasi
tekstual.[36]
Di antara argumentasi tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Al-qur`an bersifat qath`i
al-wurud, sedangkan al-Sunnah bersifat zhanni al-wurud. Karena
itu yang qadh`i harus di dahulukan dari pada yang dzanni.
b.
Al-Sunnah berfungsi sebagai
penjabaran al-Qur`an. Ini harus di artikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan
setingkat di bawah yang di jelaskan.
c.
Ada beberapa hadist dan atsar
yang menjelaskan urutan dan kedudukan al-sunnah setelah al-qur`an. Diantara
dialog Rasulullah dengan Mu`az bin Jabal yang akan di utus ke negeri Yaman
sebagai qadli. Nabi bertanya :``dengan apa kau putuskan suatu perkara’’? Mu`az
menjawab,``dengan kitab Allah``. Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunnah
Rasul, dan jika tidak ada ketentuan dalam sunnahh, maka dengan berijtihad``.
d.
Al-qur`an sebagai wahyu dari sang
pencipta, Allah SWT,sedangkan hadist berasal dari hamba dan utusannya, maka
selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya dari
pada yang berasal dari hamba yang utusanNya.[37]
D. BAB X Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas dan
Kualitasnya
1. Hadits Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
Para ulama berbeda pendapat tentang
pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang
menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, ahad, dan ada yang
membaginya menjadi dua yakni hadits mutawatir dan ahad.[38]
a.
Hadis
Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa berarti mutatabi, yakni sesuatu yang datang kemudian,
beriring-iringan, atau berurutan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.
Sedangkan mutawatir menurut
istilah, sebagaimana Mudasir menulis dalam bukunya dengan mengambil definisi
dari Nur Ad-Din ‘Atar:[39]
ا لّذ ي رواه
جمع كثير لا يمكن توا طؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاءالسّند و كان مستندهم الحسّ
Arti: “hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai
akhir sanad dengan didasarkan pada pancaindera”.
Mengenai syarat-syarat hadits
mutawatir ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin
dan mutaakhirin. Ulama mutaqaddimin tidak membicarakan syarat
bagi hadist mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir
yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-
hadits, sebab ilmu ini membicarakan sahih atau tidaknya suatu
hadits, diamalkan atau tidaknya suatu hadist, dan juga membicarakan adil
tidaknya rawi, sedangkan hadits mutawatir tidak membicarakan
masalah-masalah tersebut. Bila suatu hadits telah diketahui statusnya sebagai hadits
mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan
tidak boleh ada keraguan serta bagi orang yang mengingkarinya dihukumi kafir
sekalipun diantara perawinya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin
dan ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir bila
memenuhi syarat-syarat berikut ini.[40]
1)
Diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak
bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut
ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang
penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap
apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan
menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlahnya.
2)
Adanya keseimbangan antarperawi pada
thabaqat (lapisan) pertama dengan thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir,
antara thabaqat dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan
demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian
diterima oleh 10 tabi’in maka tidak dapat digolongkan hadits mutawatir, sebab
jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat
seterusnya.
3)
Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi
tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindera, artinya bahwa berita yang
mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Dengan demikian, bila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat
dari dalil lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
4)
Mustahil bersepakat bohong[41]
Misalnya para perawi dalam sanad itu
datang dari berbagai negara yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula.
Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya
kesepakatan berbohong secara tradisi. Pada masa awal pertumbuhan hadits, memang
tidak bisa dianalogikan dengan masa modern sekarang ini. Disamping kejujuran,
dan daya memori mereka yang masih andal, transportasi daerah yang tidak semudah
sekarang, perlu waktu yang berbulan-bulan untuk kunjungan ke suatu negara.
Berdasarkan ini, jika periwayatan suatu hadits berjumlah besar sangat sulit
mereka sepakat bohong dalam suatu periwayatan. Diantara alasan pengingkar
sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak
menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan
berbohong. Hal ini Karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan
kejujuran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi
masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir
karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk
berkonsensus berbohong.
Sebagian ulama membagi hadits
mutawatir menjadi tiga macam, yakni: mutawatir lafzhi, mutawatir
ma’nawi, dan mutawatir ‘amali. Sebagian ulama lain seperti ulama Ushul
Fikih membagi menjadi dua macam, yakni: mutawatir lafzhi, dan mutawatir
ma’nawi.
1)
Mutawatir
Lafzhi
ماتواترلفظه ومعناه
“hadis yang
mutawatir lafal dan maknanya”.
Definisi di atas yang biasa dikemukakan dalam
buku-buku ilmu hadis. Namun, pengertian di atas perlu mendapat penjelasan yang
lebih rinci, karena mutawatir lafzhi tidak diartikan mesti lafal dan
redaksinya sama persis dari satu perawi dengan perawi yang lain, mungkin
redaksi dan lafalnya berbeda tetapi satu makna dalam hukum dan makna yang
ditunjuk jelas dan tegas.
2)
Mutawatir
Ma’nawi
Mutawatir ma’nawi adalah hadist yang mutawatir
maknanya bukan lafalnya. Mutawatir ma’nawi adalah sesuatu yang mutawatir maksud
makna hadis secara konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh
berbeda antara beberapa periwayatan para perawi, tetapi maksud kesimpulannya
sama.
Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai
berikut:[43]
ما اجتلفوا
في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كليّ
Hadis yang berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali
kepada satu makna yang umum.
Sebagian lagi mendefinisikan sebagai
berikut:[44]
وهو أن ينقل
جما عةٌ يستحيل تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفةٌ تشترك في أمر
Hadits mutawatir ma’nawi adalah
periwayatan jamaah (banyak orang) yang mustahil kesepakatan bohong pada
beberapa peristiwa yang berbeda tetapi sama dalam perkaranya (permasalahannya)
3)
Mutawatir
‘Amali
Perbuatan dan pengalaman syari’ah
Islamiyah yang dilakukan Nabi saw secara praktis dan terbuka disaksikan dan
diikuti oleh para sahabat adalah mutawatir ‘amali, sebagaimana yang
didefinisikan sebagian ulama sebagai berikut:[45]
ما علم من
الدّ ين با لضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبيّ صلى ا الله عليه وسلّم فعله أو
أمر به أو غير ذلك
Sesuatu yang diketahui dengan mudah
bahwa ia dari agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw
mengerjakannya atau menyuruhnya dan atau selain itu.
b. Hadis Ahad
Al Ahad jama’ dari ahad,
menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar
wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan ahad secara istilah,
banyak didefinisikan para ulama, antara lain:[46]
الخبر الذي
لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سواءٌ كان المخبر واحدا أواثنين أو
ثلاثة أو أربعة أو جمسة إلى غير ذلك من الأعدادالّتي لاتشعر بأنّ اخبر دخل بها في
خبرالمتواتر.
“Khabar yang tiada sampai jumlah
banyak pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu
seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang
tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke
dalam khabar mutawatir”.
Hadis Ahad dibagi menjadi menjadi :
1)
Hadis Masyhur
2)
Hadis ‘Aziz
3)
Hadis Gharib
Adapun Perbedaan Hadits Mutawatir
dengan Hadits Ahad itu adalah:[47]
·
Dari segi jumlah rawi, hadits
mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap
tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk
berdusta, sedangkan hadits ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang
menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
·
Dari segi pengetahuan yang
dihasilkan, hadits mutawatir menghasilkan Ilmu qat’i (pasti) atau ilmu daruri
(mendesak untuk diyakini) bahwa hadits ini sungguh-sungguh dari Rasulullah
sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadits ahad menghasilkan ilmu
zanni (bersifat dugaan) bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
·
Dari segi kedudukan, hadits
mutawatir sebagai sumber ajaran Agama Islam memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada hadits ahad. Sedangkan kedudukan hadits ahad sebagai sumber
ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadits mutawatir.
·
Dari segi kebenaran keterangan
matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits mutawatir mustahil
bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur’an, sedangkan keterangan matan
hadits ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat
Al Qur’an. Bila dijumpai hadits-hadits dalam kelompok haits ahad yang
keterangan matan haditsnya bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur’an, maka
hadits-hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasululloh
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al
Qur’an.
2. Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
a. Hadis Shahih
Menurut istilah, hadits shahih
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanad-nya
bersambung-sambung, tidak ber-‘illat, dan tidak janggal.[48] Definisi
yang lain dinyatakan oleh Al Suyuthi:[49]
ما اتّصل
سنده با لعد ول الضّا بطين من غير شذ وذ ولاعلة
“Hadis yang bersambung sanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
dhabit, tidak syaz, dan tidak ber’illat”
Para ulama hadits membagi hadits shahih memjadi dua macam, yaitu:
1)
Shahih Li dzatihi, yaitu
hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara
sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di atas.
2)
Shahih Li Ghairihi, yaitu
hadits dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadits shahih karena diperkuat oleh
hadits-hadits lain. sekiranya hadits yang memperkuat itu tidak ada, maka hadits
tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan. Hadits sahih li
ghairihi hakekatnya adalah hadits hasan lizatih (hadits hasan karena
dirinya sendiri).
b. Hadis Hasan
Hadits hasan adalah
hadist yang telah memenuhi lima persyaratan hadits shahih sebagaimana
disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, pada hadits shahih daya
ingatan perawinya sempurna, sedangkann pada hadits hasan daya ingatan
perawinya kurang sempurna.
Menurut Ibn Hajar, hadis hasan
adalah:[50]
خبر الأ حاد
بنقل عد ل تامّ الضّبط متّصل السّند غير معلّل ولا شاذ
“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna
hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz”
Sebagaimana hadits shahih terbagi menjadi dua
macam, hadits hasan-pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan
lidzatih dan hasan lighayrih. Hadits hasan lidzatih adalah
hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para
perawinya memenuhi syarat-syarat hadist shahih, kecuali keadaan rawi
(rawinya kurang dzabit). Sedangkan hadits hasan li ghairih adalah
hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan,
karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits hasan li ghairih
adalah hadits dha’if yang karena dikuatkan oleh hadits lain, meningkat
menjadi hadits hasan.
c. Hadis Dha’if
Hadits
dha’if secara bahasa berarti hadits yang
lemah.[51] Secara
istilah hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu syaratnya
dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih atau hadits
hasan). Contoh hadits dha’if:[52]
من أتى حا
ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل على محمّد
Artinya: “Barangsiapa
yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita
dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw”.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui
jalan Hakim Al Atsram dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW. Dalam sanad itu terdapat seorang dha’if yaitu Hakim Al Atsram yang
dinilai dha’if oleh para ulama.
Para ulama muhaddisin mengemukakan sebab-sebab
tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni sanad dan matan. Sebab-sebab
tertolaknya hadits dari sanad:[53]
1)
Terwujudnya cacat-cacat pada
rawinya, baik tentang keadilan atau kedzabitannya
2)
Ketidakbersambungan sanad,
dikarenakan seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu
satu sama lain
Adapun kecacatan rawi itu antara lain sebabnya: dusta,
tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, menyalahi riwayat
orang kepercayaan, banyak waham (purbasangka), tidak diketahui
identitasnya, penganut bid’ah, tidak baik hafalannya.[54]
Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan cacat pada ke-adil-an dan
ke-dhabit-an rawi dibagi antara lain:[55]
1)
Hadits Maudhu’ (hadits yang
dinisbatkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta)
2)
Hadits Matruk (hadits yang pada
sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta)
3)
Hadits Munkar (hadist yang pada
sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahan, banyak lengah, tampak fasik)
4)
Hadits Syadz (hadist yang diriwayatkan
oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama
darinya baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun yang lebih tinggi daya
hafalnya)
Sedangkan klasifikasi hadits dha’if berdasarkan
gugurnya rawi, terbagi:[56]
1)
Hadits Mu’allaq (hadits yang seorang
atau lebih rawinya gugur pada awal sanad secara berurutan)
2)
Hadits Mu’dhal (hadist yang putus
sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan)
3)
Hadits Mursal (hadist yang gugur
rawi dari sanadnya setelah tabi’in)
4)
Hadits Munqathi (hadits yang gugur
seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua
tempat dalam keadaan tidak berurutan)
5)
Hadits Mudallas (hadits yang
diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak bernoda)
E. BAB XI Keikhlasan dalam Beribadah
Keikhlasan
dalam beribadah ialah beribadah semata-mata hanya kepada Allah swt. Menyembah kepada Allah SWT dan menjahui
kemusyrikan adalah agama yang benar dan lurus. Menjalankan ibadah yang telah di
tetapkan oleh Allah SWTdengan penuh keikhlasan,seperti dalam menjalankan
perintah shalat yang tepat pada waktunya dengan khusyuk serta lengkap
dengan rukun dan syaratnya. Kata ikhlas
secara secara harfiah berarti murni, suci, atau bersih. Konteks ikhlas ini
berkaitan dengan niat. Niat adalah dorongan dalam hati manusia untuk
melaksanakan amal perbuatan tertentu. Dalam mengamalkan ajaran agama Islam
hendaknya dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah swt., artinya dengan
kesadaran semata-mata hanya menaati perintah-Nya dan untuk memperoleh ridho-Nya.
1.
Q.S. Al-An’am 6:162-163
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحۡيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ
ٱلۡعَـٰلَمِينَ (١٦٢) لَا شَرِيكَ لَهُ ۥۖ وَبِذَٲلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۟
أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ (١٦٣)
Artinya: Katakanlah ( Muhammad ), “ sesungguhnya salatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri ( muslim)”
Kandungan surat Al-An’am ayat 162-163, antara
lain:
a.
Semua aktivitas kehidupan, baik
berupa ibadah khusus seperti shalat, zakat, puasa dan ibadah umum seperti
muamalah, bahkan kehidupan dan kematian hendaknya kita serahkan kepada Allah
semata
b.
Tidak ada yang dapat menyamai Allah
c.
Hendaknya kita berserah diri kepada
Allah
d.
Terdapat dari sebagian doa iftitah
yang dibaca dalam salat pada rakaat pertama, ucapan itu adalah penyerahan diri
dengan penuh kerendahan serta keridaan Allah atau mengabdi kepadanya tanpa
pamrih
e.
Menyadari dan bersumpah tidak
menyekutukan Allah dan mejadi orang yang pertama serta mengutamakan islam
sebagai tatanan kehidupan demi mencapai tujuan hidup yakni selamat duni dan
akhirat
f.
Senantiasa melakukan
perintah-perintas Allah selama hidup dan meninggalkan larangan-larangannya.
Diantara perwujudannya adalah dengan melaksanakan perintah Allah dalam membaca,
memahami dan melaksanakan isi kandungan al-quran dalam kehidupan sehari-hari
serta menyiarkannya
2.
Q.S Al-Bayyinah 98:5
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ
ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ
وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٲلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ
Artinya:
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus ( benar )*)
Kandungan dari ayat diatas adalah:
a.
Suruhan Allah kepada manusia dalam
mengamalkan ajaran agama hendaklah yang lurus yaitu jauh dari hal-hal
kemusyrikan dan kesesatan.
b.
Dalam beribadah hendaklah dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah yaitu
kesadaran diri dalam menjalankannya semata-mata mentaati perintah Allah
dengan mengharap ridho-Nya.
II.
Telaah
Formatif
A. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Materi dan
Indikator
Standar
Kompetensi pada materi Al-Qur’an Hadis Kelas X Semester 2 (Genap) ini
sudah sangat sesuai dengan keadaan siswa yang sudah berada pada jenjang yang
cukup tinggi yakni MA Kelas X, yang mana siswa sudah mampu untuk memahami
materi tersebut secara menyeluruh karena materi ini membahas tentang
memperkenalkan Hadis itu sendiri dan keikhlasan dalam beribadah. Lebih
lengkapnya tertera dibawah ini :
Standar
Kompetensi : 7. Memahami istilah-istilah
hadits
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI
PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
7.1.Mendefinisikan pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar
dan Hadits Qudsi.
|
· Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar menurut bahasa.
· Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar menurut istilah
|
· Menunjukkan pengertian
Hadits, Sunnah , khabar
dan Atsar menurut bahasa
· Menjelaskan pengertian Hadits menurut istilah
· Menjelaskan pengertian Sunnah
menurut istilah
· Menjelaskan pengertian
khabar menurut istilah
· Menjelaskan pengertian Atsar
menurut istilah
· Menjelaskan pengertian
Hadits Qudsi menurut istilah
· Mendefinisikan Hadits,
Sunnah, Khabar dan Atsar menurut
istilah
|
7.2.Membanding kan pengertian
Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar dan Hadits Qudsi.
|
· Persamaan dan perbedaan Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar.
|
· Mengidentifikasi ciri pengertian hadis, sunnah, khabar, atsar dan hadis Qudsi
· Membedakan pengertian Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar
serta hadis Qudsi
|
7.3.Menerapkan pengertian Hadits, Sunnah (sunnah qauliyah,
sunnah fi’liyah dan sunnah taqririyah), Khabar, Atsar dan Hadits Qudsi.
|
· Beberapa bacaan Hadits yang lengkap sanad matan dan rowinya
|
· -Menunjukkan sabda Nabi yang termasuk hadits
· Menunjukkan sabda Nabi yang termasuk sunnah qauliyah
· Menunjukkan lafadz hadits yang termasuk termasuk sunnah fi’liyah
· Menunjukkan lafadz hadits yang termasuk sunnah
taqririyah
· Menunjukkan lafadz dalam hadits yang termasuk khabar
· Menunjukkan lafadz dalam hadits yang termasuk atsar
|
Standar Kompetensi : 8. Memahami sanad dan matan hadits
KOMPETENSI
DASAR
|
MATERI
PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
8.1.
Menjelaskan pengertian sanad dan matan.
|
·
Pengertian
sanad dan matan menurut bahasa dan istilah
|
· Menunjukkan pengertian sanad dan matan menurut bahasa
· Menjelaskan pengertian sanad dan matan menurut istilah
· Membedakan istilah sanad dan rawi dalam hadis
|
8.2.
Menunjuk-kan sanad dan matan dalam hadits
|
· Beberapa bacaan Hadits yang lengkap sanad matan dan
rowinya
|
· Mengidentifikasi
sanad dan matan dalam hadis.
· Menentukan sanad
dalam hadits
· Menentukan matan dalam hadits
|
Standar
Kompetensi : 9. Mendeskripsikan fungsi hadits terhadap al-Qur’an
KOMPETENSI
DASAR
|
MATERI
PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
9.1.Menjelaskan fungsi hadits terhadap al-Qur’an
|
· Kedudukan hadis sebagai
sumber hukum Islam ke dua.
· Macam fungsi hadis terhadap al-Qur'an:
- Bayan At-Taqrir
- Bayan At-Tafsir
- Bayan At-Tasyri'
|
· Menjelaskan kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam
.
· Menjelaskan fungsi hadits sebagai bayan at-taqrir
· Menjelaskan fungsi hadits sebagai bayan at-tafsir
· Menjelaskan fungsi hadits
sebagai bayan at-tasyri’
|
9.2.Menunjuk-kan contoh fungsi hadits terhadap al-Qur’an.
|
· Contoh Bayan At-Taqrir
· Contoh Bayan At-Tafsir
· ContohBayan At-Tasyri'
|
· Menunjukkan contoh fungsi hadits sebagai bayan
At-Taqrir
· Menunjukkan contoh fungsi hadits sebagai bayan
At-Tafsir
· Menunjukkan contoh fungsi
hadits sebagai bayan At-Tasyri’
|
9.3.Menerapkan fungsi hadits
terhadap al-Qur’an.
|
·
Penerapan Bayan
At-Taqrir; Bayan At-Tafsir dan Bayan At-Tasyri'
|
·
Menentukan waktu awal dan akhir ramadhan berdasarkan hadits
sebagai pelaksanaan bayan at-taqrir
·
Melaksanakan
hukuman untuk pencuri berdasarkan hadits sebagai pelaksanaan bayan at-tafsir
·
Menetapkan
hukum menikahin wanita karena sepersusuan berdasarkan hadits sebagai bayan
at-tasyri’
|
Standar
Kompetensi : 10. Memahami pembagian
hadits dari segi kuantitas dan kualitasnya
KOMPETENSI
DASAR
|
MATERI
PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
10.1.
Menjelaskan pembagian hadits dari segi kuantitas-nya.
|
· Pembagian hadits dari segi
kuantitasnya:
- Hadits Mutawatir
- Hadits Masyhur
- Hadits ’aziz
- Hadits gharib
|
· Menjelaskan pengertian hadits Mutawatir
· Menjelaskan pengertian hadits Masyhur
· Menjelaskan pengertian hadits ’Aziz
· Menjelaskan pengertian
hadits gharib
|
10.2.
Menjelaskan pembagian hadits dari segi kualitasnya
|
· Pembagian hadits dari segi
kualitasnya:
- Hadits Shohih
- Hadits Hasan
-
Hadits Dho’ if
|
· Menjelaskan pengertian hadits shohih
· Menjelaskan pengertian hadits hasan
· Menjelaskan pengertian hadits dho’if
· Menerangkan ciri-ciri hadits shohih
· Menerangkan ciri-ciri hadits hasan
· Menerangkan ciri-ciri hadits
dha’if
|
Standar Kompetensi : 11. Memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang
keikhlasan dalam beribadah
KOMPETENSI
DASAR
|
MATERI
PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
11.1.
Mengartikan Q.S. Al-An’am:
162-163; Q.S. Al-Bayyinah: 5. dan hadits tentang keikhlasan dalam beribadah.
|
· Arti
Q.S. Al-An’am: 162-163; Q.S. Al-Bayyinah: 5. dan hadits
tentang keikhlasan dalam beribadah.
|
· Membaca QS. Al-An’am: 162-163
· Membaca QS. . Al-Bayyinah: 5
· Membaca hadits tentang keikhlasan dalam beribadah.
· Menyebutkan makna mufradat
· Mengartikan QS. Al-An’am: 162-163
· Mengartikan QS. Al-Bayyinah: 5
· Mengartikan hadits tentang
keikhlasan dalam beribadah.
|
11.2.
Menjelaskan kandungan Q.S. Al-An’am: 162-163; Q.S. Al-Bayyinah:
5. dan hadits tentang keikhlasan dalam beribadah
|
· Penjelasan Q.S. Al-An’am: 162-163; Q.S. Al-Bayyinah: 5.
dan hadits tentang keikhlasan dalam beribadah
· Yang menegaskan perintah
hanya menyembah Allah dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus dan ikhlas.
|
· Menjelaskan kandungan ayat tentang tentang sholat, ibadah, hidup
dan mati manusia hanya untuk Allah sebagaimana terkandung dalam QS. Al-An’am
:162
· Menjelaskan kandungan ayat
tentang larangan syirik seperti terkandung dalam QS Al-An’am : 163
· Menjelaskan kandungan ayat
tentang memurnikan ketauhidan sebagaimana yang terkandung dalam QS.Al-Bayyinah :5
· Menjelaskan kandungan ayat
tentang
· perintah mendirikan sholat
sebagaimana terkandung dalam QS Al-Bayyinah:5
· Menjelaskan kandungan ayat tentang
· perintah mendirikan sholat sebagaimana terkandung dalam
QS Al-Bayyinah:5
· Menjelaskan kandungan hadits tentang ikhlas dan istiqomah sebagaimana terkandung dalam hadits
tentang ikhlas dalam ibadah
|
11.3.
Menunjukkan perilaku
orang yang mengamal-kan Q.S. Al-An’am: 162-163; Q.S. Al-Bayyinah: 5 dan
hadits tentang keikhlasan dalam beribadah.
|
· Contoh-contoh orang yang hanya
menyembah Allah dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus dan ikhlas.
|
· Menunjukkan figur ulama yang dalam menghadapi
kehidupannya menampilkan perilaku memurnikan ketauhidan kepada Allah.
· Menunjukkan sosok manusia yang dalam sholat, ibadah,
dan segala aktifitasnya hanya untuk mencari ridlo Allah
· Menunjukkan perilaku orang yang khusyu dan istiqomah
dalam sholat.
· Menunjukkan perilaku orang yang secara nyata menunaikan
zakat apabila mencapai nisabnya dan gemar bershodaqah.
· Menunjukkan perilaku orang yang melaksanakan ibadah
puasa secara istiqomah.
· Menunjukkan perilaku orang yang melaksanakan ibadah ib
· Menunjukkan perilaku orang yang melaksanakan,membaca
al-Qur’an secara istiqomah.
|
11.4.
Menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah seperti yang terkandung dalam
QS. Al-An’am:
162-163 ; Q.S. Al- Bayyinah: 5 dan hadits tentang keikhlasan dalam beribadah.
|
· Contoh-contoh orang yang hanya
menyembah Allah dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus dan ikhlas.
|
· Menerapkan sholat wajib 5
waktu tepat waktu tanpa disuruh
· Melaksanakan ibadah sunnah
dengan istiqomah
· Meningkatkan kualitas ibadah
sebagai wujud ketaatannya kepada Allah
· Memberikan bantuan materi secara spontanitas dalam
berbagai aktifitas sosial.
· Melakukan perbuatan sebagai perwujudan dari sikap kepedulian sosial yang tinggi dalam
situasi kondisi apapun
· Melakukan aktifitas kehidupan jauh dari sifat syirik
· Melaksanakan tugas bukan karena pujian manusia.
· Mengerjakan kewajiban dalam hidup bukan karena ingin
mendapatkan materi
· Melaksanakan segala aktifitas hanya mengharapkan ridlo Allah.
|
Pada materi mata
pelajaran Al-Qur’an Hadis kelas X Semester 2 Madrasah Aliyah, dapat pemakalah
jelaskan bahwa keterhubungan SK dan KD sudah baik, dimana standar kompetensi
yang diharapkan, tercantum dalam kompetensi dasar, sehingga tujuan pembelajaran
materi mata pelajaran Al-Qur’an Hadis kelas X Semester 2 adalah untuk
memberikan pemahaman dari apa yang dijelaskan dalam pembelajaran. Artinya siwa
diharapkan memenuhi dan memahami materi- materi yang sudah ditentukan SK dan
KD.
B. Alokasi Waktu
Alokasi waktu
yang digunakan yaknipada materi mata pelajaran Al-Qur’an Hadis kelas X
Semester 2, jika dilihat dari materi yang akan diajarkan dengan alokasi waktu
yang telah ditentukan dalam silabus maka sangat efektif untuk mencapai tujuan
pembelajaran atau untuk mencapai SK dan KD. Sehingga siswa dapat benar-benar
memahami materi mata pelajaran Al-Qur’an Hadis kelas X Semester 2. Lebih
rinci akan dijelaskan di bawah ini:
BAB VII Istilah-Istilah Hadis
|
3 x Pertemuan
(1 x pertemuan : 2x45 menit)
|
BAB VIII Unsur-Unsur Hadis
|
2 x Pertemuan
(1 x pertemuan : 2x45 menit)
|
BAB IX Kedudukan dan Funsi Hadis
|
3 x Pertemuan
(1 x pertemuan : 2x45 menit)
|
BAB X Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas dan Kualitas
|
2 x Pertemuan
(1 xpertemuan : 2x45 menit)
|
BAB XI Keikhlasan dalam Beribadah
|
7 x Pertemuan
(1 x pertemuan : 2x45 menit)
|
C. Model dan Metode Pembeajaran
Menurut Dr. ahmad Tafsir, metode
adalah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian cara yang paling
tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.[57]
Dalam penyampaian materi banyak sekali metode yang dapat digunakan, namun
tidak semua metode itu dapat diterapkan dalam tiap materi yang diajarkan,
termasuk dalam materi Al-Qur’an Hadis. Seorang guru harus pandai dalam memilih
metode yang digunakan dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak merasa jenuh
dengan materi yang ada. Dalam materi Al-Qur’an Hadis ini menurut pemakalah
metode yang sesuai yakni metode ceramah,
Tanya jawab, dan metode-metode lainnya yang akan tertera dibawah.
Menurut
pemakalah model dan metode pembelajaran yang dapat digunakan pada materi ini
antara lain:
a. Model
Jigsaw (pembelajaran kelompok)
b. Model
CTL
c. Metode
ceramah
d. Metode
Tanya Jawab
e. Metode
diskusi
D. Sumber dan Media Pembelajaran
Menurut
pemakalah sumber dan medi pembelajaran yang dapat digunakan pada materi ini
antara lain:
1. Buku
Al-Qur’an Hadis kelas X dan sumber lain yang relevan.
2. Al-Qur’an
3. Kitab-Kitab
Hadis
4. Kertas
Karton
5. Laptop
6. LCD
F. Evaluasi
Soal evaluasi
yang terdapat pada Buku Al-Qur’an Hadis Kelas X Semester 2 sudah cukup sesuai
dengan Kompetensi Dasar yang akan dicapai dan sudah sesuai dengan materi atau
isi buku. Bentuk evaluasi yang terdapat pada buku adalah bentuk pilihan ganda
dan esay, selain itu ada juga kegiatan siswa untuk mengetahui seberapa siswa
memahami materi yang telah dipelajarinya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hasil
telaah pemakalah, klasifikasi materi Al-Qur’an Hadis madrasah aliyah khususnya
pada materi semester 2 sudah bisa dikategorikan baik, karena adanya
keterhubungan SK dan KD yang baik, sistematika materi yang runtut, bobot materi
yang sesuai dengan tingkat kemampuan atau kondisi peserta didik dan juga materi
yang mempunyai banyak unsur positif yang dapat menggerakkan peserta didik untuk
memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Kritik dan Saran
Kepada
para pendidik dan calon pendidik diharapkan memberikan suatu pembelajaran yang
lebih optimal untuk memandu peserta didik belajar mandiri, materi lebih
dijelaskan secara detail agar peserta didik tidak hanya mampu memahami tetapi
juga mampu mengaplikasikan pembelajaran Ak-Qur’an Hadis khususnya pada semester
2 yang diperolehnya dalam kehidupan nyata.
Demikian
makalah yang dapat pemakalah sajikan, pemakalah sadar betul bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu bimbingan dari dosen pengampu sangat kami harapkan,
serta kritik dan saran yang membangun dari teman-teman semua sangat kami
harapkan, demi perbaikan makalah selanjutnya. Akhirnya dari harapan kami semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi pemakalah khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Majid Khon, 2010, Ulumul Hadits, Jakarta: Amazon.
Abuddin Nata,2000, Al-qur`an Dan
Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo.
Dr. H. Munzier Suparta M.A. , 2001, Ilmu
Hadits, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Drs. H. Ahmad Darodji, 1986, Pengantar
Ilmu Hadits, Semarang : Duta Grafika.
Fazlur Rahman, 1995, Islamic Methodology in History,
terj. Anar Mahyuddin, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka.
M.Solahudin & Agus Suyadi, 2009, Ulumul Hadis,
Bandung: CV.Pustaka Setia.
Masjfuh Zuhdi, 1993, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya:
Bina Ilmu.
Mudasir, 2010, Ilmu Hadis, Bandung:
CV.Pustaka Setia.
Muh.Ahmad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadist,
Bandung: CV.Pustaka Setia.
Muhammad Alawi Al-Maliki, 2009, Ilmu
Ushul Hadits, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Muktar yahya, 1990, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqih Islami,Bandung :PT Alma’arif.
Munzier Saputra, 1993, Ilmu
Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Munzier Saputra,2002, Ilmu Hadis,
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Nur Khoiri, 2011, Metodologi Pembelajaran
PAI, Jepara:INISNU.
Syaikh Manna`Al-Qaththan, 2005, Pengantar
Studi Imu Hadis,Jakarta :Pustaka Alkausar.
Utang Ranuwijaya, 1996, Ilmu
Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama.
![]() |
LAMPIRAN
MATERI
AL-QUR’AN HADIS

[2]
Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits (Surabaya: Bina Ilmu,
1993), h. 24.
[3]
Fazlur
Rahman, Islamic Methodology in
History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung:
Pustaka, 1995), h. 36.
[16] Ibid., h. 103.
[17] Ibid., h. 105.
[20] Ibid., h. 52.
[28] Ibid., h. 53.
[30] Ibid., h. 25.
[35] Ibid., h. 37.
[37] Ibid., h. 24-25.
[38]Mudasir,
Ilmu Hadis (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2010), h. 113.
[39]
Ibid., h.114
[40]
Ibid., h. 115.
[41]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis.., h 132.
[42]
Ibid., h 135.
[43]
Ibid., h.136.
[45]
Ibid.,h.137.
[46]
M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV.Pustaka Setia,
2009), h. 133.
[47]
Muh.Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadist (Bandung: CV.Pustaka Setia,
2000), h. 98-99.
[48]
Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, h 141.
[49]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis..,h.129.
[50]
Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis..,h 145-146.
[51]Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadis…..,h.163.
[53]M.Solahudin
& Agus Suyadi, Ulumul Hadis…..,h.148.
[56]
Ibid.,h 151-154.
IZIN SEDOT GAN, MAKASIH
BalasHapus