Laman

Minggu, 28 Desember 2014

KETENTUAN SYARI’AT ISLAM DALAM MELAKUKAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN



BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Penulisan
Islam adalah agama yang paling sempurna diantara agama-agama yang dikenal manusia. Allah Swt menyatakan hal itu dalam wahyu terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yaitu Al-Qur’an Surah Al-Ma’idah/5 ayat 3.
Kesempurnaan syariat Islam tidak hanya ditinjau dari satu segi saja, tetapi dari beberapa segi. Hal ini menunjukan bahwa syariat Islam merupakan suatu tata nilai yang baik dan sempurna. Kesempurnaan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa alasan berikut ini.
1.      Syariat Islam merupakan kelanjutan dari syariat nabi-nabi sebelumnya. Sebagai risalah terakhir, ajaran yang dibawa nabi Muhammad saw. merupakan penyempurna syariat-syariat sebelumnya. Hal itu sesuai dengan perkembangan kecerdasan dan peradaban manusia dari masa ke masa
2.      Dilihat dari sasarannya, syariat Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. diperuntukan bagi manusia seluruhnya dan tidak dibatasi oleh bangsa dan tempat tertentu,
3.      Syariat Islam menyeimbangkan pengaturan ibadah dengan muamalah. Ibadah adalah hal-hal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah hal-hal yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.
4.      Syariat Islam merupakan syariat yang sesuai dengan tingkat rasio dan tingkat pemikiran manusia. Hal tersebut dicontohkan dalam ketentuan yang mengharaman khamar.
5.      Sumber syariat Islam adalah wahyu yang sekarang tetap autentik dan terpelihara keutuhannya.
Salah satu syariat Islam adalah mawaris, yaitu cara pembagian harta warisan menurut ajaran Islam. Mawaris merupakan ilmu yang sangat penting bagi Umat Islam. Oleh karena itu kami akan membahasnya dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian, tujuan, sumber hukum, dan kedudukan Mawaris ?
2.      Istilah-Istilah apa saja yang ada dalam mawaris ?
3.      Apa saja hak yang bersangkutan dengan harta pusaka (harta warisan) ?
4.      Apa  sebab-sebab memperoleh harta warisan ?
5.      Apa sebab-sebab tidak mendapatkan harta warisan ?
6.      Bagaiman ketentuan syari’at islam dalam melakukan pembagian harta warisan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar dapat memahami pengertian, tujuan, sumber hukum, dan kedudukan mawaris.
2.      Agar dapat memahami istilah-Istilah apa saja yang ada dalam mawaris.
3.      Agar dapat memahami hak yang bersangkutan dengan harta pusaka (harta warisan).
4.      Agar dapat memahami sebab-sebab memperoleh harta warisan.
5.      Agar dapat memahami sebab-sebab tidak mendapatkan harta warisan.
6.      Agar dapat memahami ketentuan syari’at islam dalam melakukan pembagian harta warisan.

D.    Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library research. yang mana penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang di kupas dalam makalah ini dan penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian,Tujuan, Sumber Hukum, dan Kedudukan Mawaris.
1.      Pengertian mawaris
Mawaris berasal dari kata bahasa Arab mawarits yang merupakan jamak dari kata mi ras. Makna kata mi ras adalah harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh ahli warisnya dan disebut juga harta warisan. Selanjutnya, ilmu yang digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menerima harta warisan, orang yang tidak menerima harta warisan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagian harta warisan disebut ilmu mawaris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Berasal dari kata bahasa Arab fara’id  yang merupakan jamak dari kata faridah.  Kata ini diambil dari kata fardu yang dalam kontek ilmu mawaris berarti bagian yang telah ditetapkan.[1]
Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fiqh mawaris  mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup.
Ketentuan agama berkenaan dengan hal tersebut disebut dengan beberapa nama, baik dalam literatur yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia, diantaranya: hukum warisan, hukum waris, hukum harta pusaka, hukum kewarisan dalam bahasa Indonesia; mawarits, tirkah, warists, faraidh dalam bahasa arab. Perbedaan dalam penamaan tersebut tergantung pada apa yang dijadikan titik pandang dalam pembahasan. Bila yang dipandang adalah orang-orang yang berhak menerima harta dari orang yang mati itu, ia disebut hukum waris dalam bahasa Indonesia atau Fiqh al-Warits dalam bahasa Arab. Bila yang dijadikan titik pandang adalah harta yang akan beralih kepada ahli waris, maka ia disebut hukum warisan atau hukum harta pusaka; atau mirats (jamaknya mawarits) atau tirkah. Bia yang dijadikan titik pandang adalah bagian-bagian yang diterima oleh ahli waris, ia disebut faraidh. Faraidh inilah istilah yang lazim digunakan dalam literatut fiih. Dan bila yang dijadikan titik pandang adalah proses peralihan harta dari orang yang mati kepada ahli warisnya yang masih hidup, ia disebut kewarisan. Dalam istilah hukum yang berlaku di Indonesia disebut dengan kewarisan.[2]
2.      Tujuan Mawaris
Beberapa tujuan dari mawaris adalah sebagai berikut[3]:
a.       Untuk melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat.
b.      Untuk mengetahui secara jelas siapa yang berhak menerima harta warisan serta berapa bagian masing-masing dan siapa pula yang tidak berhak menerimanya.
c.       Untuk menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris.
3.      Sumber Hukum Mawaris
Sumber hukum mawaris adalah Al-Qur’an, hadis, dan ijmak/ijtihad.
a.       Al-Qur’an
Pokok – pokok mawaris yang berkaitan dengan ketentuan pembagian harta warisan telah ditentukan dalam Al-Qur’an
b.      Hadis
Hadis adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, hadis memberikan penegasan, perincian, dan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hadis juga menetapkan apa yang tidak ada dalam AK-Qur’an.
c.       Ijmak
Ijmak adalah usaha para ulama dengan bersungguh-sungguh dan bersepakat di antara mereka tentang suatu syara’ (hukum Islam) yang belum ada dalam AL-Qur’an dan hadis. Ijmak dan ijtihad banyak berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan mawaris terutama menyangkut masalah teknis.
4.      Arti penting mawaris dan hukum mepelajarinya
a.       Arti penting mawaris
Mawaris merupakan ilmu yang penting dalam agama Islam. Dengan ilmu mawaris, harta peninggalan seseorang dapat diberikan kepada yang berhak menerima. Ilmu mawaris juga mencegah adanya perselisihan yang disebabkan oleh pembagian harta warisan.
Pembagian harta warisan yang menggunakan ilmu mawaris tidak akan merugikan pihak manapun karna cara pembagian harta warisan dalam ilmu mawaris merupakan ketentuan Allah Swt. Oleh karena itu, pembagian harta warisan menurut ilmu mawaris merupakan cara yang terbaik untuk membagikan harta warisan, baik dalam pandangan Allah Swt. maupun manusia.
b.      Hukum mempelajari ilmu mawaris
Hukum mempelajari ilmu mawaris adalah wajib kifayah. Masudnya, apabila di suatu tempat tertentu ada yang mempelajari ilmu mawaris, kewajiban tersebut sudah terpenuhi. Akan tetapi, apabila tidak ada seorang pun yang mempelajarinya, semua orang Islam akan berdosa.
Beberapa orang sahabat yang ahli ilmu mawaris adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud.
B.     Istilah-Istilah yang Ada dalam Mawaris
Adapun istilah-istilah faraid yang paling penting adalah sebagai berikut[4]:
1.      Al-Faradh (Fardh): adalah bagian yang ditentukan oleh syara’ kepada ahli waris. Artinya, bagian yang ditentukan secara jelas dari peninggalan mayit dengan dasar nash dan ijma, seperti seperdelapan, seperempat, di mana tidak bertambah kecuali dengan radd dan tidak berkurang kecuali dengan aul.
2.      As-Sham (sahm); yang dimaksud adalah bagian yang diberikan kepada ahli waris dari asal masalah yang mana ia adalah makhraj (jalan keluar) bagian dari waris, atau jumlah kepala ahli waris seperti dua dari enam (2/6). Kadang-kadang disebut juga dengan an-nashib dengan keterang penjelas.
3.      At-Tirkah: apa yang ditinggal mayit dari apa yang dimiliki berupa uang, benda, dan hak. Tidak masuk dalam tirkah titipan, kepercayaan dan sebagainya yang tidak dimilikinya.
4.      Nasab. Yakni garis anak (ke bawah), garis ayah (ke atas), kedekatan pada keduanya, melalui jalan memenangkan garis ayah dari pada garis ibu.
5.      Al-Jam’ dan al-‘adad; yang dimaksud dalam warisan adalah semua yang lebih dari satu. Dengan demikian, dua anak perempuan dan anak-anak perempuan adalah jam.
6.      Al-Far’; jika disebut al-far’ dalam warisan maka yang dimaksud adalah anak laki-laki mayit atau anak perempuannya, anak laki-laki dari anak laki-lakinya,anak perempuan dari anak-anak laki-laki dan seterusnya. Jika dikatakan al-Far’ al-Warits maka yang dimaksudkan adalah anak laki-laki dan anak perempuan , anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak lai-lai dan seterusnya. Perlu dicatat bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki dalam posisi anak laki-laki. Adapun anak laki-laki saudara laki-laki tidak dalam posisi saudara laki-laki.
Cabang dari ayah. Yang dimaksud adalah saudara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau satu ayah.
Cabang kakek. Yang dimaksud adalah paman sekandung, paman seayah, dan anak-anak laki-laki keduanya.
7.      Al-Ashl; jika kata ini disebutkan maka yang dimaksud adalah kedua orang tua, kake-kakek yang luruh dari garis ayah, nenek-nenek yang lurus dari garis ayah, begitu seterusnya ke atas. Jika dikatakan al-Ashl adz-Dzakar, maksudnya adalah ayah dan kakek.
8.      Al­­­-Walad adalah orang yang dilahirkan oleh manusia sebelum dia mati dan dilahirkan secara langsung, baik laki-laki maupun perempuan.
9.      Al-Warits adalah orang yang berhak mendapatkan bagian peninggalan mayit, meskipun ia tidak benar-benar mengambilnya seperti al-mahruum dan al-Mahjuub.
10.  Al-Akh dan al-‘Amm. Jika al-akh diucapkan, maka mencakup saudara sekandung, seayah atau seibu. Sebab, dia adalah ahli waris. Adapaun al-‘Amm tidak mencakup paman dari ibu sebab dia termasuk dzawil arham.
11.  Al-Ashabah: orang yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas. Al-Ashabah bin Nafsi adalah semua laki-laki yang dalam penisbatannya kepada mayit tidak ada perempuan.
12.  Al-Idla’ adalah ketersambungan dengan mayit. Adakalanya secara langsung dengan dirinya seperti ayah mayit, ibunya, anak laki-lakinya, anak perempuannya atau dengan perantara seperti anak lai-laki dari anak laki-laki sambung karena anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki sambung karena anak laki-laki.
Al-Idla’ bil Ashabah adalah ashabah dengan dirinya sendiri. Yaitu, setiap laki-laki yang penisbatannya pada mayit tidak ada seorang wanita, baik mayit itu laki-laki maupun perempuan, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki anak laki-laki, dan ana laki-laki dan anak perempuan
13.  Mayt adalah orang berakal yang ruhnya keluar dari jasadnya Mayit adalah orang hidup yang keadaannya seperti keadaan orang mati. Maytah adalah hewan yang ruhnya terlepas tanpa melaui pemotongan yang syar’i.
C.    Beberapa Hak yang Bersangkutan dengan Harta Pusaka (Harta Warisan)
Beberapa hak yang wajib di dahulukan dari pembagian harta warisan kepada ahli waris adalah sebagai berikut[5]:
1.      Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya. Hak ini hendaklah diambil lebih dahulu dari jumlah harta sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris.
2.      Biaya untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi diselesaikan, sisanya barulah dipergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3.      Utang. Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya.
4.      Wasiat. Kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar dari jumlah harta peninggalannya sebelum dibagi-bagi.
Firman Allah Swt.
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ
“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”(Qs. An-Nisa:11)
5.      Sesudah dibayar semua hak yang tersebut di atas, barulah harta peninggalan si mayat itu dibagi kepada ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya yang suci.
D.    Beberapa Sebab Memperoleh Harta Warisan
Sebab seseorang memperoleh harta warisan menurut Islam ada beberapa sebab yaitu sebagai berikut[6]:
1.      Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah. Dasar dari hungan kerabat sebagai hubungan kewarisan itu ditemukan dalam QS. An-Nisa’ ayat 7:
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa (4): 7)
2.      Hubunga perkawinan. Adapun dasar hukum adanya hubungan kewarisan antar suami istri ini terdapat dalam QS. An-Nisa’ (4); 33
وَلِكُلّٖ جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ وَٱلَّذِينَ عَقَدَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُمۡ نَصِيبَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدًا ٣٣
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS.An-Nisa(4);33)
3.      Hubungan pemerdekaan hamba (Budak). Dasar hukum dari hubungan pemerdekaan sebagai hubungan kewarisan adalah firman Allah yang juga tersebut dalam QS. An-Nisa (4) ; 7 yaitu pada lafaz (aqadat aymananukum)
4.      Hubungan sesama Islam dalam arti umat Islam sebagai kelompok berhak menjadi ahli waris dari orang Islam yang meninggal dan sama sekali tidak meninggalkan ahli waris. Adapun dasar hukum dari hubungan kewarisan dalam bentuk ini adalah sambda Nabi dari Abu Umamah bin Sahl yang dikeluarkan Abu Daud dan disahkan oleh al-Hakim yang mengatakan:
أَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثُ لَهُ
“saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris”
E.     Beberapa Sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan
Beberapa sebab yang menghalangi mendapat warisan dari keluarga mereka yang meninggal dunia adalah sebagai berikut[7]:
1.      Hamba (budak). Seorang hamba tidak mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba (budak)
Firman Allah Swt pada QS. An-Nahl(16); 75
عَبۡدٗا مَّمۡلُوكٗا لَّا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ . . .
Artinya: “hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun” (QS.An-Nahl(16); 75)
2.      Pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat warisan dari keluarganya yang dibunuhnya itu.
Sabda Rasulullah Saw:
لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْأً .
“yang membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya” (Riwayat Nasai)
3.      Murtad. Orang yang keluar dari agama Islam tidak mendapat warisan dari keluarganya yang masih tetap memeluk agama Islam, dan sebaliknya ia pun tidak mewarisi mereka yang masih beragama Islam. Sabda Nabi Saw.
Dari Abu Bardah, ia berkata, “Rasulullah Saw. telah mengutusku untuk menemui seorang laki-laki yang kawin dari istri bapaknya. Nabi Saw. menyuruh supaya aku membunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan, sedangkan laki-laki tersebut murtad”
4.      Kafir (oranga yang tidak memeluk agama Islam). Tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang memeluk agama Islam. Begitu juga sebalinya, orang Islam tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang kafir.
Sabda Nabi Saw.
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرُ وَلَاالْكَفَافِرُ الْمُسْلِمُ
“Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak pula mewarisi orang Islam.” (Riwayat Jama’ah)



BAB III
TELAAH
A.    Telaah Substansi/Isi
Ketentuan Syari’at Islam dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan
1.      Furudul-Muqaddarah dan Zawil-Furud
Furudul-muqaddarah adalah bagian untuk ahli waris yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Furudul-muqaddarah ada enam, yaitu , , , , , dan . Adapun ahli waris yang berhak menerima Furudul-muqaddarah ini disebut zawil-furud. Berikut ini dikemukakan penjelasan tentang furudul-muqaddarah beserta zawil-furud-nya secara lebih terperinci[8].
a.      
Ahli Waris yang memperoleh
Ketentuan
Dalil Naqli
a.  Dua orang anak perempuan
b.  Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki
Apabila tidak ada anak laki-laki.
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, ayah, dan kakek dari ayah.
Q.S. an-Nisa (4); 11
Ahli Waris yang memperoleh
Ketentuan
Dalil Naqli
a.  Anak perempuan tunggal
b.  Cucu perempuan tunggal

c.   Saudara kandung tunggal



d.  Saudara perempuan seayah



e.   Suami
Apabila tidak ada anak laki-laki.
Apabila tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan anak perempuan.
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, ayah, dan kakek dari ayah.
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung , ayah, dan kakek dari ayah.
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak perempuan.
Q.S. an-Nisa (4); 17
Q.S. an-Nisa (4); 17

Q.S. an-Nisa (4); 17



Q.S. an-Nisa (4); 17



Q.S. an-Nisa (4); 17

b.     

c.      
Ahli Waris yang memperoleh
Ketentuan
Dalil Naqli
a.  Ibu




b.  Dua orang saudara seibu atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan.
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan dua orang saudara atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan sekandung atau seibu).
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, ayah, dan kakek dari ayah.
Q.S. an-Nisa (4); 12




Q.S. an-Nisa (4); 12


d.     
Ahli Waris yang memperoleh
Ketentuan
Dalil Naqli
a.   Suami


b.   Istri
Apabila ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Q.S. an-Nisa (4); 12


Q.S. an-Nisa (4); 12


e.      
Ahli Waris yang memperoleh
Ketentuan
Dalil Naqli
a.  Bapak


b.  Ibu




c.   Nenek dari ayah atau ibu

d.  Cucu perempuan dari anak laki-laki.



e.   Saudara perempuan seayah




f.   Saudara seibu tunggal, baik laki-laki maupun perempuan.
Apabila ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Apabila ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan dua orang saudara atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan sekandung, seayah atau seibu).
Apabila tidak ada ibu (atau ayah apabila nenek tesebut dari ayah).
Apabila ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan anak perempuan yang lebih dari satu orang (apabila hanya ada seorang anak perempuan atau cucu perempuan tetap mendapat bagian ).
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak lai-laki, saudara laki-laki-laki kandung, dan saudara laki-laki seayah (dengan syarat ahli waris seorang saudara perempuan kandung)
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, ayah, dan kakek dari ayah.
Q.S. an-Nisa(4); 11-12


Q.S. an-Nisa(4); 11-12




Q.S. an-Nisa(4);11-12

Q.S. an-Nisa(4);11-12




Q.S. an-Nisa(4);11-12




Q.S. an-Nisa(4);11-12


f.      
Ahli Waris yang memperoleh
Ketentuan
Dalil Naqli
Istri
Apabila ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Q.S. an-Nisa (4); 11




2.      Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan pewaris. Jumlah hli waris adalah 25 orang terdiri dari 15 ahli waris laki-laki dan 10 ahli waris perempuan.[9]
a.       Ahli waris laki-laki
1)      Ayah (al-ab)
2)      Kakek (dari ayah) dan seterusnya keatas (al-jad min jihatil-ab)
3)      Anak laki-laki (al-ibnu)
4)      Cucu laki-laki (dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah (ibnu-ibni)
5)      Saudara laki-laki kandung (al-akhusy-syaqiq)
6)      Saudara laki-laki seayah (al-akh li ab)
7)      Saudara laki-laki seibu (al-akh li umm)
8)      Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung (ibnul-akhisy-syaqiq)
9)      Keponaan laki-laki dari saudara laki-laki seayah (ibnul-akh li-ab)
10)  Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) (al-ammusy-syaqiq)
11)  Paman seayah (saudara laki-laki ayah yang seayah) (al-ammu li-ab)
12)  Anak laki-laki paman kandung (ibnul-ammisy-syaqiq)
13)  Anak laki-laki paman seayah (ibnul-ammi li ab)
14)  Suami (az-zauj)
15)  Laki-laki yang memerdekakan budak (al-mu’tiq)
Apabila 15 orang ahli waris itu ada, yang memperoleh bagian adalah 3 orang yaitu, ayah, suami dan anak  laki-laki,
b.      Ahli waris perempuan terdiri atas
1)      Ibu (al-umm)
2)      Nenek dari ibu dan seterusnya ke atas (al-jaddah min jihatil-umm)
3)      Nenek dari ayah dan seterusnya keatas (al-jaddah min jihatil-ab)
4)      Anak perempuan (al-bintu)
5)      Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (bintul-ibni)
6)      Saudara perempuan kandung (al-ukhtusy-syaqiqah)
7)      Saudara perempuan seayah (al-ukhtu li ab)
8)      Saudara perempuan seibu (al-ukhtu li umm)
9)      Istri (az-zaujah)
10)  Wanita yang memerdekakan budak (al-mu’tiqah)
Apabila 10 perempuan ahli waris tersebut ada, yang memperoleh bagian adalah 5 orang, yaitu anak perempuan, cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki), ibu, saudara perempuan sekandung, dan istri.
Apabila 25 ahli waris laki-laki dan perempuan tersebut semuanya ada, yang memperoleh bagian harta warisan adalah 5 orang, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak, dan sumai/istri.
3.      Asabah
‘Asabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak tertentu. ‘Asabah memiliki tiga kemungkinan dalam menerima bagian harta warisan. Tiga kemungkinan itu adalah sebagai berikut.[10]
a.       Asabah akan menerima seluruh harta warisan apabila tidak ada zawil-furud.
b.      Asabah akan menerima sisa harta warisan setelah diambil zawil-furud.
c.       Asabah tidak menerima harta warisan sama sekali karena habis diambil zawil-furud.
Asabah ada tiga macam, yaitu asabah binafsih, asabah bil-gair, dan asabah ma al-gair.
a.       asabah binafsih adalah ahli waris yang menjadi asabah secara otomatis, bukan karena ditarik zawil-furud. Asabah binafsih terdiri dari 13 orang ahli waris, yaiut:
1)      anak laki-laki
2)      cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3)      ayah
4)      kakek dari ayah dan seterusnya ke atas
5)      saudara laki-laki kandung
6)      saudara laki-laki seayah
7)      anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
8)      saudara lai-laki seayah
9)      paman yang sekandung dengan ayah
10)  paman yang seayah dengan ayah
11)  anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
12)  anak laki-laki paman yang seaya dengan ayah’
13)  laki-laki yang memerdekakan di pewaris ketika masih menjadi budak
b.      asabah bil gair adlaah seseorang yang menjadi asabah karena ada ahli waris lain yang setingkat dengannya atau ditarik oleh ahli waris tertentu dari asabah binafsih. Asabah bil-gair terdiri dari empat ahli waris, yaitu
1)      anak perempuan apabila bersaman dengan anak laki-laki
2)      anak perempuan apabila bersamaan denga cucu laki-laki
3)      saudara perempuan kandung apabila bersama saudara laki-laki kandung
4)      saudara perempuan seayah apabila bersama saudara laki-laki seayah
c.       asabah ma’al-gair  adalah ahli waris yang menjadi asabah karena bersama-sama ahli waris lain yang tertentu dari zawil furud. Asabah ma’al-gair terdiri dari 2 orang ahli waris, yaitu
1)      saudara perempuan kandung apabila bersama seorang atau lebi anak perempuan atau cucu perempuan
2)      saudara perempuan seayah apabila bersama seorang atau lebih anak perempuan atau cucu perempuan.
4.      Hijab
Hijab berarti tabir atau penghalang. Dalam ilmu mawaris, yang dimaksud dengan hijab adalah penghalang bagi ahli waris untuk menerima warisan karena ada ahli waris lain yang lebih dekat atau lebih berhak. Keseluruhan ahli waris bisa terhijan, kecuali dua, anak laki-laki dan anak perempuan. Hijab terdiri dari dua macam, yaitu hijab nuqsan dan hijab hirman.[11]
a.       Hijab nuqsan adalah hijab yang mengurangi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris lain. Misalnya, suami seharusnya mendapat setengah, tetapi karena ada anak, ia mendapat seperempat. Adapun beberapa ahli waris lain yang ter-hijab nuqsan telah kami lampirkan dibagian akhir makalah ini.
b.      Hijab hirman adalah hijab yang menyebabkan ahli waris tidak menerima bagian sama sekali. Misalnya, cucu seharusnya mendapat bagian, tetapi karena ada anak, ia tidak mendapat bagian sama sekali. Beberapa ahli waris lain yang ter-hijab hirman telah kami lampirkan dibagian akhir makalah ini.
5.      Pembagian Harta warisan
Salam pembagian harta warisan, yang perlu mendapatkan perhartian adalah bagian setiap ahli waris dan cara pembagiannya.[12]
a.       Bagian setiap ahli waris (talah dilampirkan pada bagian ahir makalah ini)
b.      Cara pembagian harta warisan
Dalam membagi harta warisan, ada dua hal yang harus diperhatikan. Dua hal itu adalah masalah penentuan ahli waris dan cara menghitung harta warisan.
a.       Menentukan Ahli Waris
Urut-urutan penentuan ahli waris adalah dengan menentukan
1)      Anggota keluarga yang menjadi ahli waris karena hubungan keluarga, perkawinan, atau sebab lainnya. Baik laki-laki maupun perempuan.
2)      Ahli yang tidak bisa mendapat warisan karena sebab tertentu, misalnya, karena agama atau sebab lain.
3)      Ahli waris yang ter-hijab, baik nuqsan maupun hirman.
4)      Ahli waris yang mendapat zawil furud, asabah, atau zawil furud dan Asabah sekaligus.
b.      Cara penghitungan harta warisan
Sebelum melakukan pembagian harta warisan untuk tiap ahli waris, telebih dahulu harus diketahui asal masalah. Asal masalah adalah bilangan bulat yang digunakan untuk membagi harta warisan dengan benar. Cara menentukan asal masalah adalah sebagai berikut:
1)      Apabila ahli warisnya terdiri dari ahli waris asabah binafsih, asal masalahnya adalah sejumlah ahli waris yang ada. Misalnya, apabila ahli waris terdiri atas empat orang anak laki-laki, asal masalahnya adalah 4. Cara pembagiannya adalah langsung dibagi 4 dan masing-masing ahli waris mendapat 1.
2)      Apabila ahli waris terdiri atas asabah laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki bagiannya dua kali lipat permepuan dengan cara dikalikan dua. Misalnya, apabila ahli waris terdiri dari dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Asal masalahnya adalah (2+2)+3=7. Cara pembagian warisan dengan dibagi 7. Untuk anak laki-laki masing-masing dua bagian dan untuk anak perempuan masing-masing satu bagian.
3)      Apabila ahli waris hanya seorang zawil-furud, asal masalahnya adalah angka penyebut bagian. Misalnya , apabila ahli waris hanya seorang saudara perempuan seibu, bagiannya adalah , sedangkan asal masalahnya adalah 6, dan bagian saudara perempuan seibu adalah satu bagian.
4)      Apabila ahli waris terdiri dari dua orang zawil furud atau lebih, baik ahli waris tersebut merupakan asabah maupun tidak, asal masalahnya adalah kelipatan persekutuan terkecil (KPK)dari angka penyebut masing-masing ahli waris. Misalnya,
Seoarnag meninggal dunia dan meninggalkan harta senilai  Rp. 96.000.000.00. ahli waris terdiri dari ibu, istri, dan dua anak laki-laki. Masing-masing ahli waris akan mendapatkan bagian warisan sebagai berikut
a)      Bagian ibu adalah
b)      Bagian istri  adalah
c)      Bagian dari dua anak laki-laki adalah asabah/sisa
Asal masalanya adalah KPK dari  dan , yaitu 24. Adapun bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut.
a)      Bagian ibu adalah   x 24 = 4
b)      Bagian istri adalah  x 24 = 3
c)      Bagian dua anak laki-laki 24 – (4+3) = 17
Langkah terakhir pembagian harta warisan adalah menentukan jumlah bagian ahli waris. Dari contoh di atas didapatkan bahwa bagian untuk ahli waris adalah sebagai berikut.
a)      Bagian ibu adalah  x Rp. 96.000.000.00 = Rp. 16.000.000.00.
b)      Bagian istri adalah  x Rp. 96.000.000.00 = Rp.12.000.000.00.
c)      Bagian dua anak laki-laki adalah  x Rp. 96.000.000.00 = Rp. 68.000.000.00.

B.     Telaah Formatif
1.      Kompetensi Inti (KI)
a.    Menghayati dan mengamalkan  ajaran agama yang dianutnya .
b.    Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan,  gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan  alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
c.     Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan    wawasan kemanusiaan,  kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
d.    Mengolah,  menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak  terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

2.      Kompetensi Dasar (KD)
3.8. Memahami ketentuan waris dalam Islam.
4.8. Mempraktikkan pelaksanaan pembagian waris dalam Islam
Setelah pemakalah telahah lebih mendalam materi yang ada di dalam buku paket yang ditulis oleh Khuslan Haludhi dan Abdurohim sudah lengkap, hal ini terbukti dengan materi-materi yang ada dalam buku paket tersebut sudah membahas mengenai kedua KD di atas secara kengkap.

3.      Alokasi Waktu
Alokasi waktu untuk materi “Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan” ini adalah 4x3 jam pelajaran (4 pertemuan). Menurut pemakalah waktu 4 kali pertemuan ini sudah sangat sesuai untuk membahas materi ini. Walaupun jika kita perhatikan Kompetensi Dasar (KD) pada materi ini hanya 2 poin saja, akan tetapi materi memang cukup banyak yang tentunya memerlukan waktu yang cukup juga untuk menyampaikannya dalam proses pembelajaran.

4.      Metode
Adapun metode-metode yang cocok untuk materi “Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan” ini menurut pemakalah adalah sebagai berikut:
a.       Ceramah, adalah suatu metode penyampaian pesan pengajaran secara lisan oleh guru kepada siswa atau sekelompok siswa di dalam kelas.[13]
Metode ini sangat diperlukan dan dapat kita gunakan ketika membuka pelajaran, menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada materi Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan ini, serta dapat juga membantu dalam menjalankan metode lainnya yang sifatnya lebih membuat siswa aktif.
b.      Tanya jawab, iyalah metode penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau sebaliknya siswa diberi kesempatan bertanya dan guru menjawab pertanyaan.[14]
Metode tanya jawab sangat baik jika dikombinasikan dengan metode ceramah. Metode ini bisa merangsang siswa untuk berfikir  aktif sehingga masalah atau materi yang belum jelas pada materi Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan ini dapat langsung ditanyakan oleh siswa kepada guru yang mengajar.
c.       Demonstrasi, adalah suatu teknik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang dengan sengaja diminta atau siswa sendiri ditunjuk untuk memperlihatkan pada kelas tentang sesuatu proses atau cara melakukan sesuatu.
d.      Dril, adalah metode yang disebut juga dengan metode latihan dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau keterampilan latihan terhadap apa yang dipelajari.

5.      Media
Adapun media-media pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi “Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan”. Adalah sebagai beikut:
a.       Media gambar, adalah media visual yang berupa goresan-goresan, coretan-coretan atau bentuk-bentuk lain yang dapat menimbulkan tanggapan, persepsi ataupun pemikiran manusia terhadap sesuatu objek atau benda-benda tertentu. Gambar-gambar yang dimaksud dapat berupa lukisan tangan atau hasil fotografi.[15]
b.      Media grafik, adalah media gambar sederhana yang menyajikan informasi tentang perkembangan data dari suatu objek berupa, perkembangan, perbandingan, gambaran keadaan, garis-garis, atau simbol-simbol lainnya.[16]
c.       Slide proyektor, media ini dapat digunakan ketika dengan menampilkan poin-poin penting materi pelajaran kepada siswa baik materi yang berkaitan dengan “Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan”, maupun materi yang berkaitan tentang sifat-sifat Allah dan pembagiannya.
d.      Kalkulator, adalah alat bantu untuk menghitung. Kalkulator dapat digunakan ketika nantinya menghitung pembagian harta warisan dalam pelajaran.
e.       Aplikasi komputer, di sini maksudnya aplikasi yang dapat dijalankan di dalam komputer contohnya: aplikasi tentang pembagian harta warisan, ataupun menggunakan MS. Exel sebagai alat bantu menghitung.


6.      Evaluasi
Pada evaluasi materi “Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan”, yang terdapat dalam buku paket siswa yang ditulis oleh Khuslan Haludhi dan Abdurohim sudah mengarah/sesuai dengan kompetensi dasar (KD) yang ada. Hal ini ditunjukan salah satunya pada soal evaluasi sebagai berikut:
No.
Kompetensi Dasar (KD)
Contoh Soal
3.8.
Memahami ketentuan waris dalam Islam
Kemukakan penyebab terhalangnya seseorang untuk mendapatkan harta warisan !
4.8.
Mempraktikan pelaksanaan pembagian waris dalam Islam
Seorang meninggal dunia ahli warisnya suami, ibu dan bapak harta warisan sebanyak 18.000.000;-  hitunglah berapa bagian masing-masing?







BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mawaris berasal dari kata bahasa Arab mawarits yang merupakan jamak dari kata mi ras. Makna kata mi ras adalah harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh ahli warisnya dan disebut juga harta warisan. Selanjutnya, ilmu yang digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menerima harta warisan, orang yang tidak menerima harta warisan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagian harta warisan disebut ilmu mawaris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Berasal dari kata bahasa Arab fara’id  yang merupakan jamak dari kata faridah.  Kata ini diambil dari kata fardu yang dalam kontek ilmu mawaris berarti bagian yang telah ditetapkan.
Sumber hukum mawaris adalah Al-Qur’an, hadis, dan ijmak/ijtihad.
Hukum mempelajari ilmu mawaris adalah wajib kifayah.
Sebab seseorang memperoleh harta warisan menurut Islam ada beberapa sebab yaitu karena; hubungan kekerabatan atau nasab, hubungan perkawinan, hubungan pemerdekaan, dan hubungan sesama Islam .
Beberapa sebab yang menghalangi mendapat warisan dari keluarga mereka yang meninggal dunia karena: hamba (budak), pembunuh, murtad dan Kafir.

B.     Saran
Kami menyadari makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencan.
Khuslan Haludhi dan Abdurrohim. 2012. Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sulaiman Rasjid. 2009. Fiqih islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Wahbah Az-Zuhaili. 2007.Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok: Gema Insani.
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Islam, Jakarta Selatan: Ciputat Pres, 2002.
Rodhatul Jennah, Media Pembelajaran, Banjarmasin: Antasari Press, 2009.



[1] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 185
[2]  Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor: Kencan, 2003), Hlm. 147-148
[3] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 186
[4] Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu” (Depok: Gema Insani, 2007), hlm.344-346
[5] Sulaiman Rasjid, “Fiqih islam”, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm.347
[6] Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor: Kencan, 2003), Hlm. 149 (Hubungan kewarisan)
[7] Sulaiman Rasjid, “Fiqih islam”, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm.351
[8] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 191-193
[9] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 189
[10] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 193
[11] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 195-197
[12] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA” (Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 197-202
[13] M. Basyiruddin Usman, “Metodologi Pembelajaran Islam”, (Jakarta Selatan: Ciputat Pres, 2002), hlm.34
[14]Ibid, . . hlm. 43
[15] Rodhatul Jennah, “Media Pembelajaran”, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), hlm.62
[16]Ibid, . . hlm.61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar