BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Penulisan
Islam
adalah agama yang paling sempurna diantara agama-agama yang dikenal manusia.
Allah Swt menyatakan hal itu dalam wahyu terakhir yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., yaitu Al-Qur’an Surah Al-Ma’idah/5 ayat 3.
Kesempurnaan
syariat Islam tidak hanya ditinjau dari satu segi saja, tetapi dari beberapa
segi. Hal ini menunjukan bahwa syariat Islam merupakan suatu tata nilai yang
baik dan sempurna. Kesempurnaan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa
alasan berikut ini.
1. Syariat
Islam merupakan kelanjutan dari syariat nabi-nabi sebelumnya. Sebagai risalah
terakhir, ajaran yang dibawa nabi Muhammad saw. merupakan penyempurna
syariat-syariat sebelumnya. Hal itu sesuai dengan perkembangan kecerdasan dan
peradaban manusia dari masa ke masa
2. Dilihat
dari sasarannya, syariat Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. diperuntukan
bagi manusia seluruhnya dan tidak dibatasi oleh bangsa dan tempat tertentu,
3. Syariat
Islam menyeimbangkan pengaturan ibadah dengan muamalah. Ibadah adalah hal-hal
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah hal-hal
yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.
4. Syariat
Islam merupakan syariat yang sesuai dengan tingkat rasio dan tingkat pemikiran
manusia. Hal tersebut dicontohkan dalam ketentuan yang mengharaman khamar.
5. Sumber
syariat Islam adalah wahyu yang sekarang tetap autentik dan terpelihara
keutuhannya.
Salah
satu syariat Islam adalah mawaris, yaitu cara pembagian harta warisan menurut
ajaran Islam. Mawaris merupakan ilmu yang sangat penting bagi Umat Islam. Oleh
karena itu kami akan membahasnya dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian, tujuan, sumber hukum, dan kedudukan Mawaris ?
2. Istilah-Istilah
apa saja yang ada dalam mawaris ?
3. Apa
saja hak yang bersangkutan dengan harta pusaka (harta warisan) ?
4. Apa sebab-sebab memperoleh harta warisan ?
5. Apa
sebab-sebab tidak mendapatkan harta warisan ?
6. Bagaiman
ketentuan syari’at islam dalam melakukan pembagian harta warisan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Agar
dapat memahami pengertian, tujuan, sumber hukum, dan kedudukan mawaris.
2. Agar
dapat memahami istilah-Istilah apa saja yang ada dalam mawaris.
3. Agar
dapat memahami hak yang bersangkutan dengan harta pusaka (harta warisan).
4. Agar
dapat memahami sebab-sebab memperoleh harta warisan.
5. Agar
dapat memahami sebab-sebab tidak mendapatkan harta warisan.
6. Agar
dapat memahami ketentuan syari’at islam dalam melakukan pembagian harta
warisan.
D.
Metode
Penulisan
Adapun
metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library
research. yang mana penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan sebagai
bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang
di kupas dalam makalah ini dan penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian,Tujuan,
Sumber Hukum, dan Kedudukan Mawaris.
1. Pengertian
mawaris
Mawaris
berasal dari kata bahasa Arab mawarits yang
merupakan jamak dari kata mi ras. Makna
kata mi ras adalah harta peninggalan
orang yang meninggal yang diwarisi oleh ahli warisnya dan disebut juga harta
warisan. Selanjutnya, ilmu yang digunakan untuk mengetahui orang yang berhak
menerima harta warisan, orang yang tidak menerima harta warisan, kadar yang
diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagian harta warisan disebut
ilmu mawaris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Berasal dari kata bahasa
Arab fara’id yang merupakan jamak dari kata faridah. Kata ini diambil dari kata fardu yang dalam kontek ilmu mawaris
berarti bagian yang telah ditetapkan.[1]
Membicarakan
faraidh atau kewarisan berarti
membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang
yang masih hidup. Dengan demikian fiqh
mawaris mengandung arti ketentuan
yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari
seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup.
Ketentuan
agama berkenaan dengan hal tersebut disebut dengan beberapa nama, baik dalam
literatur yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia, diantaranya:
hukum warisan, hukum waris, hukum harta pusaka, hukum kewarisan dalam bahasa
Indonesia; mawarits, tirkah, warists,
faraidh dalam bahasa arab. Perbedaan dalam penamaan tersebut tergantung
pada apa yang dijadikan titik pandang dalam pembahasan. Bila yang dipandang
adalah orang-orang yang berhak menerima harta dari orang yang mati itu, ia
disebut hukum waris dalam bahasa Indonesia atau Fiqh al-Warits dalam bahasa Arab. Bila yang dijadikan titik pandang
adalah harta yang akan beralih kepada ahli waris, maka ia disebut hukum warisan
atau hukum harta pusaka; atau mirats
(jamaknya mawarits) atau tirkah. Bia
yang dijadikan titik pandang adalah bagian-bagian yang diterima oleh ahli
waris, ia disebut faraidh. Faraidh inilah
istilah yang lazim digunakan dalam literatut fiih. Dan bila yang dijadikan
titik pandang adalah proses peralihan harta dari orang yang mati kepada ahli
warisnya yang masih hidup, ia disebut kewarisan. Dalam istilah hukum yang
berlaku di Indonesia disebut dengan kewarisan.[2]
2. Tujuan
Mawaris
Beberapa
tujuan dari mawaris adalah sebagai berikut[3]:
a. Untuk
melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya
sesuai dengan ketentuan syariat.
b. Untuk
mengetahui secara jelas siapa yang berhak menerima harta warisan serta berapa
bagian masing-masing dan siapa pula yang tidak berhak menerimanya.
c. Untuk
menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak terjadi
perselisihan di antara ahli waris.
3. Sumber
Hukum Mawaris
Sumber
hukum mawaris adalah Al-Qur’an, hadis, dan ijmak/ijtihad.
a. Al-Qur’an
Pokok
– pokok mawaris yang berkaitan dengan ketentuan pembagian harta warisan telah
ditentukan dalam Al-Qur’an
b. Hadis
Hadis
adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an sesuai dengan kedudukan dan
fungsinya, hadis memberikan penegasan, perincian, dan ketentuan yang telah ada
dalam Al-Qur’an. Hadis juga menetapkan apa yang tidak ada dalam AK-Qur’an.
c. Ijmak
Ijmak
adalah usaha para ulama dengan bersungguh-sungguh dan bersepakat di antara
mereka tentang suatu syara’ (hukum Islam) yang belum ada dalam AL-Qur’an dan
hadis. Ijmak dan ijtihad banyak berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan mawaris terutama menyangkut masalah teknis.
4. Arti
penting mawaris dan hukum mepelajarinya
a. Arti
penting mawaris
Mawaris
merupakan ilmu yang penting dalam agama Islam. Dengan ilmu mawaris, harta
peninggalan seseorang dapat diberikan kepada yang berhak menerima. Ilmu mawaris
juga mencegah adanya perselisihan yang disebabkan oleh pembagian harta warisan.
Pembagian
harta warisan yang menggunakan ilmu mawaris tidak akan merugikan pihak manapun
karna cara pembagian harta warisan dalam ilmu mawaris merupakan ketentuan Allah
Swt. Oleh karena itu, pembagian harta warisan menurut ilmu mawaris merupakan
cara yang terbaik untuk membagikan harta warisan, baik dalam pandangan Allah
Swt. maupun manusia.
b. Hukum
mempelajari ilmu mawaris
Hukum
mempelajari ilmu mawaris adalah wajib kifayah. Masudnya, apabila di suatu
tempat tertentu ada yang mempelajari ilmu mawaris, kewajiban tersebut sudah
terpenuhi. Akan tetapi, apabila tidak ada seorang pun yang mempelajarinya,
semua orang Islam akan berdosa.
Beberapa
orang sahabat yang ahli ilmu mawaris adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud.
B.
Istilah-Istilah
yang Ada dalam Mawaris
Adapun
istilah-istilah faraid yang paling penting adalah sebagai berikut[4]:
1. Al-Faradh
(Fardh): adalah bagian yang ditentukan oleh syara’ kepada ahli waris. Artinya,
bagian yang ditentukan secara jelas dari peninggalan mayit dengan dasar nash
dan ijma, seperti seperdelapan, seperempat, di mana tidak bertambah kecuali
dengan radd dan tidak berkurang
kecuali dengan aul.
2. As-Sham (sahm);
yang dimaksud adalah bagian yang diberikan kepada ahli waris dari asal masalah
yang mana ia adalah makhraj (jalan keluar) bagian dari waris, atau jumlah
kepala ahli waris seperti dua dari enam (2/6). Kadang-kadang disebut juga
dengan an-nashib dengan keterang penjelas.
3. At-Tirkah:
apa yang ditinggal mayit dari apa yang dimiliki berupa uang, benda, dan hak.
Tidak masuk dalam tirkah titipan, kepercayaan dan sebagainya yang tidak
dimilikinya.
4. Nasab.
Yakni garis anak (ke bawah), garis ayah (ke atas), kedekatan pada keduanya,
melalui jalan memenangkan garis ayah dari pada garis ibu.
5. Al-Jam’ dan
al-‘adad; yang dimaksud dalam warisan
adalah semua yang lebih dari satu. Dengan demikian, dua anak perempuan dan
anak-anak perempuan adalah jam.
6. Al-Far’; jika
disebut al-far’ dalam warisan maka
yang dimaksud adalah anak laki-laki mayit atau anak perempuannya, anak
laki-laki dari anak laki-lakinya,anak perempuan dari anak-anak laki-laki dan
seterusnya. Jika dikatakan al-Far’ al-Warits
maka yang dimaksudkan adalah anak laki-laki dan anak perempuan , anak
laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak lai-lai dan seterusnya.
Perlu dicatat bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki dalam posisi anak
laki-laki. Adapun anak laki-laki saudara laki-laki tidak dalam posisi saudara
laki-laki.
Cabang
dari ayah. Yang dimaksud adalah saudara-saudara laki-laki, saudara-saudara
perempuan, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau satu ayah.
Cabang
kakek. Yang dimaksud adalah paman sekandung, paman seayah, dan anak-anak
laki-laki keduanya.
7. Al-Ashl; jika
kata ini disebutkan maka yang dimaksud adalah kedua orang tua, kake-kakek yang
luruh dari garis ayah, nenek-nenek yang lurus dari garis ayah, begitu
seterusnya ke atas. Jika dikatakan al-Ashl
adz-Dzakar, maksudnya adalah ayah dan kakek.
8. Al-Walad adalah
orang yang dilahirkan oleh manusia sebelum dia mati dan dilahirkan secara
langsung, baik laki-laki maupun perempuan.
9. Al-Warits adalah
orang yang berhak mendapatkan bagian peninggalan mayit, meskipun ia tidak
benar-benar mengambilnya seperti al-mahruum
dan al-Mahjuub.
10. Al-Akh dan
al-‘Amm. Jika al-akh diucapkan, maka mencakup saudara sekandung, seayah atau
seibu. Sebab, dia adalah ahli waris. Adapaun al-‘Amm tidak mencakup paman dari ibu sebab dia termasuk dzawil arham.
11. Al-Ashabah: orang
yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas. Al-Ashabah bin Nafsi adalah semua laki-laki yang dalam
penisbatannya kepada mayit tidak ada perempuan.
12. Al-Idla’
adalah ketersambungan dengan mayit. Adakalanya secara langsung dengan dirinya
seperti ayah mayit, ibunya, anak laki-lakinya, anak perempuannya atau dengan
perantara seperti anak lai-laki dari anak laki-laki sambung karena anak
laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki sambung karena anak laki-laki.
Al-Idla’ bil Ashabah adalah
ashabah dengan dirinya sendiri.
Yaitu, setiap laki-laki yang penisbatannya pada mayit tidak ada seorang wanita,
baik mayit itu laki-laki maupun perempuan, seperti anak laki-laki dari anak
laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki anak laki-laki, dan ana laki-laki
dan anak perempuan
13. Mayt adalah
orang berakal yang ruhnya keluar dari jasadnya Mayit adalah orang hidup yang keadaannya seperti keadaan orang
mati. Maytah adalah hewan yang ruhnya
terlepas tanpa melaui pemotongan yang syar’i.
C.
Beberapa
Hak yang Bersangkutan dengan Harta Pusaka (Harta Warisan)
Beberapa hak
yang wajib di dahulukan dari pembagian harta warisan kepada ahli waris adalah
sebagai berikut[5]:
1. Yang
terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat dan
sewanya. Hak ini hendaklah diambil lebih dahulu dari jumlah harta sebelum
dibagi-bagi kepada ahli waris.
2. Biaya
untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi diselesaikan, sisanya barulah
dipergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3. Utang.
Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu hendaklah dibayar dari harta
peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya.
4. Wasiat.
Kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak lebih dari sepertiga harta
peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar dari jumlah harta peninggalannya
sebelum dibagi-bagi.
Firman Allah Swt.
مِنۢ
بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ
“(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya”(Qs. An-Nisa:11)
5. Sesudah
dibayar semua hak yang tersebut di atas, barulah harta peninggalan si mayat itu
dibagi kepada ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah
dalam kitab-Nya yang suci.
D.
Beberapa
Sebab Memperoleh Harta Warisan
Sebab seseorang
memperoleh harta warisan menurut Islam ada beberapa sebab yaitu sebagai berikut[6]:
1. Hubungan
kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah. Dasar dari hungan
kerabat sebagai hubungan kewarisan itu ditemukan dalam QS. An-Nisa’ ayat 7:
لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ
نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa (4): 7)
2. Hubunga
perkawinan. Adapun dasar hukum adanya hubungan kewarisan antar suami istri ini
terdapat dalam QS. An-Nisa’ (4); 33
وَلِكُلّٖ
جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ وَٱلَّذِينَ
عَقَدَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فََٔاتُوهُمۡ نَصِيبَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدًا ٣٣
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta
yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.
Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu” (QS.An-Nisa(4);33)
3. Hubungan
pemerdekaan hamba (Budak). Dasar hukum dari hubungan pemerdekaan sebagai
hubungan kewarisan adalah firman Allah yang juga tersebut dalam QS. An-Nisa (4)
; 7 yaitu pada lafaz (aqadat aymananukum)
4. Hubungan
sesama Islam dalam arti umat Islam sebagai kelompok berhak menjadi ahli waris
dari orang Islam yang meninggal dan sama sekali tidak meninggalkan ahli waris.
Adapun dasar hukum dari hubungan kewarisan dalam bentuk ini adalah sambda Nabi
dari Abu Umamah bin Sahl yang dikeluarkan Abu Daud dan disahkan oleh al-Hakim
yang mengatakan:
أَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثُ لَهُ
“saya
adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris”
E.
Beberapa
Sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan
Beberapa sebab yang menghalangi
mendapat warisan dari keluarga mereka yang meninggal dunia adalah sebagai
berikut[7]:
1. Hamba (budak). Seorang
hamba tidak mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama
ia masih berstatus hamba (budak)
Firman Allah Swt pada QS. An-Nahl(16);
75
عَبۡدٗا
مَّمۡلُوكٗا لَّا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ . . .
Artinya: “hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatupun” (QS.An-Nahl(16); 75)
2. Pembunuh. Orang
yang membunuh keluarganya tidak mendapat warisan dari keluarganya yang
dibunuhnya itu.
Sabda Rasulullah Saw:
لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْأً .
“yang
membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya” (Riwayat
Nasai)
3. Murtad.
Orang yang keluar dari agama Islam tidak mendapat warisan dari keluarganya yang
masih tetap memeluk agama Islam, dan sebaliknya ia pun tidak mewarisi mereka
yang masih beragama Islam. Sabda Nabi Saw.
Dari
Abu Bardah, ia berkata, “Rasulullah Saw. telah mengutusku untuk menemui seorang
laki-laki yang kawin dari istri bapaknya. Nabi Saw. menyuruh supaya aku
membunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan,
sedangkan laki-laki tersebut murtad”
4. Kafir (oranga
yang tidak memeluk agama Islam). Tidak berhak menerima
warisan dari keluarganya yang memeluk agama Islam. Begitu juga sebalinya, orang
Islam tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang kafir.
Sabda Nabi Saw.
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرُ وَلَاالْكَفَافِرُ
الْمُسْلِمُ
“Orang
Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak pula mewarisi orang
Islam.” (Riwayat Jama’ah)
BAB III
TELAAH
A.
Telaah
Substansi/Isi
Ketentuan
Syari’at Islam dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan
1. Furudul-Muqaddarah
dan Zawil-Furud
Furudul-muqaddarah
adalah bagian untuk ahli waris yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Furudul-muqaddarah ada enam, yaitu
,
,
,
,
, dan
. Adapun ahli waris yang berhak menerima Furudul-muqaddarah ini
disebut zawil-furud. Berikut ini
dikemukakan penjelasan tentang furudul-muqaddarah
beserta zawil-furud-nya secara
lebih terperinci[8].
a.
Ahli Waris yang memperoleh
|
Ketentuan
|
Dalil Naqli
|
a. Dua orang anak perempuan
b. Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki
|
Apabila tidak ada
anak laki-laki.
Apabila tidak ada
anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu
perempuan dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, ayah, dan kakek
dari ayah.
|
Q.S. an-Nisa (4); 11
|
Ahli Waris yang memperoleh
|
Ketentuan
|
Dalil
Naqli
|
a. Anak perempuan tunggal
b. Cucu perempuan tunggal
c. Saudara kandung tunggal
d. Saudara perempuan seayah
e. Suami
|
Apabila tidak ada anak laki-laki.
Apabila tidak ada anak laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan anak perempuan.
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak
laki-laki, ayah, dan kakek dari ayah.
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki
kandung, saudara perempuan kandung , ayah, dan kakek dari ayah.
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari
anak perempuan.
|
Q.S. an-Nisa (4); 17
Q.S. an-Nisa (4); 17
Q.S. an-Nisa (4); 17
Q.S. an-Nisa (4); 17
Q.S. an-Nisa (4); 17
|
b.
c.
Ahli Waris yang memperoleh
|
Ketentuan
|
Dalil
Naqli
|
a. Ibu
b. Dua orang saudara seibu atau lebih, baik laki-laki
maupun perempuan.
|
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki,
dan dua orang saudara atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan sekandung
atau seibu).
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak
laki-laki, ayah, dan kakek dari ayah.
|
Q.S. an-Nisa (4); 12
Q.S. an-Nisa (4); 12
|
d.
Ahli Waris yang memperoleh
|
Ketentuan
|
Dalil
Naqli
|
a. Suami
b. Istri
|
Apabila ada anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak
laki-laki.
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari
anak laki-laki.
|
Q.S. an-Nisa (4); 12
Q.S. an-Nisa (4); 12
|
e.
Ahli Waris yang memperoleh
|
Ketentuan
|
Dalil
Naqli
|
a. Bapak
b. Ibu
c. Nenek dari ayah atau ibu
d. Cucu perempuan dari anak laki-laki.
e. Saudara perempuan seayah
f. Saudara seibu tunggal, baik laki-laki maupun
perempuan.
|
Apabila ada anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak
laki-laki.
Apabila ada anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak
laki-laki dan dua orang saudara atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan
sekandung, seayah atau seibu).
Apabila tidak ada ibu (atau ayah
apabila nenek tesebut dari ayah).
Apabila ada anak laki-laki, cucu
laki-laki dari anak laki-laki, dan anak perempuan yang lebih dari satu orang
(apabila hanya ada seorang anak perempuan atau cucu perempuan tetap mendapat
bagian
).
Apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan,
cucu laki-laki dari anak lai-laki, saudara laki-laki-laki kandung, dan
saudara laki-laki seayah (dengan syarat ahli waris seorang saudara perempuan
kandung)
Apabila tidak ada anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak
laki-laki, ayah, dan kakek dari ayah.
|
Q.S. an-Nisa(4); 11-12
Q.S. an-Nisa(4); 11-12
Q.S. an-Nisa(4);11-12
Q.S. an-Nisa(4);11-12
Q.S. an-Nisa(4);11-12
Q.S. an-Nisa(4);11-12
|
f.
Ahli Waris yang memperoleh
|
Ketentuan
|
Dalil
Naqli
|
Istri
|
Apabila ada anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak
laki-laki.
|
Q.S. an-Nisa (4); 11
|
2. Ahli
waris
Ahli waris
adalah orang yang berhak menerima harta warisan pewaris. Jumlah hli waris
adalah 25 orang terdiri dari 15 ahli waris laki-laki dan 10 ahli waris
perempuan.[9]
a. Ahli
waris laki-laki
1) Ayah
(al-ab)
2) Kakek
(dari ayah) dan seterusnya keatas (al-jad min jihatil-ab)
3) Anak
laki-laki (al-ibnu)
4) Cucu
laki-laki (dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah (ibnu-ibni)
5) Saudara
laki-laki kandung (al-akhusy-syaqiq)
6) Saudara
laki-laki seayah (al-akh li ab)
7) Saudara
laki-laki seibu (al-akh li umm)
8) Keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki kandung (ibnul-akhisy-syaqiq)
9) Keponaan
laki-laki dari saudara laki-laki seayah (ibnul-akh li-ab)
10) Paman
kandung (saudara laki-laki kandung ayah) (al-ammusy-syaqiq)
11) Paman
seayah (saudara laki-laki ayah yang seayah) (al-ammu li-ab)
12) Anak
laki-laki paman kandung (ibnul-ammisy-syaqiq)
13) Anak
laki-laki paman seayah (ibnul-ammi li ab)
14) Suami
(az-zauj)
15) Laki-laki
yang memerdekakan budak (al-mu’tiq)
Apabila 15 orang ahli waris itu ada, yang memperoleh
bagian adalah 3 orang yaitu, ayah, suami dan anak laki-laki,
b. Ahli
waris perempuan terdiri atas
1) Ibu
(al-umm)
2) Nenek
dari ibu dan seterusnya ke atas (al-jaddah min jihatil-umm)
3) Nenek
dari ayah dan seterusnya keatas (al-jaddah min jihatil-ab)
4) Anak
perempuan (al-bintu)
5) Cucu
perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (bintul-ibni)
6) Saudara
perempuan kandung (al-ukhtusy-syaqiqah)
7) Saudara
perempuan seayah (al-ukhtu li ab)
8) Saudara
perempuan seibu (al-ukhtu li umm)
9) Istri
(az-zaujah)
10) Wanita
yang memerdekakan budak (al-mu’tiqah)
Apabila 10 perempuan ahli waris tersebut ada, yang
memperoleh bagian adalah 5 orang, yaitu anak perempuan, cucu perempuan (anak
perempuan dari anak laki-laki), ibu, saudara perempuan sekandung, dan istri.
Apabila 25 ahli waris laki-laki dan perempuan
tersebut semuanya ada, yang memperoleh bagian harta warisan adalah 5 orang,
yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak, dan sumai/istri.
3. Asabah
‘Asabah
adalah
ahli waris yang bagiannya tidak tertentu. ‘Asabah
memiliki tiga kemungkinan dalam menerima bagian harta warisan. Tiga
kemungkinan itu adalah sebagai berikut.[10]
a. Asabah akan
menerima seluruh harta warisan apabila tidak ada zawil-furud.
b. Asabah akan
menerima sisa harta warisan setelah diambil zawil-furud.
c. Asabah tidak
menerima harta warisan sama sekali karena habis diambil zawil-furud.
Asabah ada
tiga macam, yaitu asabah binafsih, asabah
bil-gair, dan asabah ma al-gair.
a. asabah binafsih adalah
ahli waris yang menjadi asabah secara
otomatis, bukan karena ditarik zawil-furud.
Asabah binafsih terdiri dari 13 orang ahli waris, yaiut:
1) anak
laki-laki
2) cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3) ayah
4) kakek
dari ayah dan seterusnya ke atas
5) saudara
laki-laki kandung
6) saudara
laki-laki seayah
7) anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung
8) saudara
lai-laki seayah
9) paman
yang sekandung dengan ayah
10) paman
yang seayah dengan ayah
11) anak
laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
12) anak
laki-laki paman yang seaya dengan ayah’
13) laki-laki
yang memerdekakan di pewaris ketika masih menjadi budak
b. asabah bil gair adlaah
seseorang yang menjadi asabah karena
ada ahli waris lain yang setingkat dengannya atau ditarik oleh ahli waris
tertentu dari asabah binafsih. Asabah
bil-gair terdiri dari empat ahli waris, yaitu
1) anak
perempuan apabila bersaman dengan anak laki-laki
2) anak
perempuan apabila bersamaan denga cucu laki-laki
3) saudara
perempuan kandung apabila bersama saudara laki-laki kandung
4) saudara
perempuan seayah apabila bersama saudara laki-laki seayah
c. asabah
ma’al-gair adalah ahli waris yang menjadi asabah karena bersama-sama ahli waris
lain yang tertentu dari zawil furud.
Asabah ma’al-gair terdiri dari 2 orang ahli waris, yaitu
1) saudara
perempuan kandung apabila bersama seorang atau lebi anak perempuan atau cucu
perempuan
2) saudara
perempuan seayah apabila bersama seorang atau lebih anak perempuan atau cucu
perempuan.
4. Hijab
Hijab berarti
tabir atau penghalang. Dalam ilmu mawaris, yang dimaksud dengan hijab adalah penghalang bagi ahli waris
untuk menerima warisan karena ada ahli waris lain yang lebih dekat atau lebih
berhak. Keseluruhan ahli waris bisa terhijan, kecuali dua, anak laki-laki dan
anak perempuan. Hijab terdiri dari dua macam, yaitu hijab nuqsan dan hijab hirman.[11]
a. Hijab nuqsan
adalah hijab yang mengurangi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris
lain. Misalnya, suami seharusnya mendapat setengah, tetapi karena ada anak, ia
mendapat seperempat. Adapun beberapa ahli waris lain yang ter-hijab nuqsan telah kami lampirkan
dibagian akhir makalah ini.
b. Hijab hirman adalah
hijab yang menyebabkan ahli waris tidak menerima bagian sama sekali. Misalnya,
cucu seharusnya mendapat bagian, tetapi karena ada anak, ia tidak mendapat
bagian sama sekali. Beberapa ahli waris lain yang ter-hijab hirman telah kami lampirkan dibagian akhir makalah ini.
5. Pembagian
Harta warisan
Salam pembagian
harta warisan, yang perlu mendapatkan perhartian adalah bagian setiap ahli
waris dan cara pembagiannya.[12]
a. Bagian
setiap ahli waris (talah dilampirkan pada bagian ahir makalah ini)
b. Cara
pembagian harta warisan
Dalam
membagi harta warisan, ada dua hal yang harus diperhatikan. Dua hal itu adalah
masalah penentuan ahli waris dan cara menghitung harta warisan.
a. Menentukan
Ahli Waris
Urut-urutan
penentuan ahli waris adalah dengan menentukan
1) Anggota
keluarga yang menjadi ahli waris karena hubungan keluarga, perkawinan, atau
sebab lainnya. Baik laki-laki maupun perempuan.
2) Ahli
yang tidak bisa mendapat warisan karena sebab tertentu, misalnya, karena agama
atau sebab lain.
3) Ahli
waris yang ter-hijab, baik nuqsan maupun hirman.
4) Ahli
waris yang mendapat zawil furud, asabah, atau
zawil furud dan Asabah sekaligus.
b. Cara
penghitungan harta warisan
Sebelum
melakukan pembagian harta warisan untuk tiap ahli waris, telebih dahulu harus
diketahui asal masalah. Asal masalah adalah bilangan bulat yang digunakan untuk
membagi harta warisan dengan benar. Cara menentukan asal masalah adalah sebagai
berikut:
1) Apabila
ahli warisnya terdiri dari ahli waris asabah
binafsih, asal masalahnya adalah sejumlah ahli waris yang ada. Misalnya,
apabila ahli waris terdiri atas empat orang anak laki-laki, asal masalahnya
adalah 4. Cara pembagiannya adalah langsung dibagi 4 dan masing-masing ahli
waris mendapat 1.
2) Apabila
ahli waris terdiri atas asabah laki-laki
dan perempuan, untuk laki-laki bagiannya dua kali lipat permepuan dengan cara
dikalikan dua. Misalnya, apabila ahli waris terdiri dari dua anak laki-laki dan
tiga anak perempuan. Asal masalahnya adalah (2+2)+3=7. Cara pembagian warisan
dengan dibagi 7. Untuk anak laki-laki masing-masing dua bagian dan untuk anak
perempuan masing-masing satu bagian.
3) Apabila
ahli waris hanya seorang zawil-furud, asal
masalahnya adalah angka penyebut bagian. Misalnya , apabila ahli waris hanya
seorang saudara perempuan seibu, bagiannya adalah
, sedangkan asal masalahnya adalah 6, dan
bagian saudara perempuan seibu adalah satu bagian.
4) Apabila
ahli waris terdiri dari dua orang zawil
furud atau lebih, baik ahli waris tersebut merupakan asabah maupun tidak, asal
masalahnya adalah kelipatan persekutuan terkecil (KPK)dari angka penyebut
masing-masing ahli waris. Misalnya,
Seoarnag meninggal dunia dan meninggalkan
harta senilai Rp. 96.000.000.00. ahli
waris terdiri dari ibu, istri, dan dua anak laki-laki. Masing-masing ahli waris
akan mendapatkan bagian warisan sebagai berikut
a) Bagian
ibu adalah
b) Bagian
istri adalah
c) Bagian
dari dua anak laki-laki adalah asabah/sisa
Asal
masalanya adalah KPK dari
dan
, yaitu 24. Adapun bagian masing-masing
ahli waris adalah sebagai berikut.
a) Bagian
ibu adalah
x
24 = 4
b) Bagian
istri adalah
x
24 = 3
c) Bagian
dua anak laki-laki 24 – (4+3) = 17
Langkah terakhir
pembagian harta warisan adalah menentukan jumlah bagian ahli waris. Dari contoh
di atas didapatkan bahwa bagian untuk ahli waris adalah sebagai berikut.
a) Bagian
ibu adalah
x
Rp. 96.000.000.00 = Rp. 16.000.000.00.
b) Bagian
istri adalah
x
Rp. 96.000.000.00 = Rp.12.000.000.00.
c) Bagian
dua anak laki-laki adalah
x
Rp. 96.000.000.00 = Rp. 68.000.000.00.
B.
Telaah
Formatif
1. Kompetensi
Inti (KI)
a.
Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya .
b.
Mengembangkan
perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, kerjasama,
cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari
solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam serta
dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
c.
Memahami dan
menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah.
d.
Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan
ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
2. Kompetensi
Dasar (KD)
3.8.
Memahami ketentuan waris dalam Islam.
4.8. Mempraktikkan pelaksanaan pembagian waris dalam
Islam
Setelah
pemakalah telahah lebih mendalam materi yang ada di dalam buku paket yang
ditulis oleh Khuslan Haludhi dan Abdurohim sudah lengkap, hal ini terbukti
dengan materi-materi yang ada dalam buku paket tersebut sudah membahas mengenai
kedua KD di atas secara kengkap.
3. Alokasi
Waktu
Alokasi
waktu untuk materi “Ketentuan Syari’at
Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan” ini adalah 4x3 jam pelajaran
(4 pertemuan). Menurut pemakalah waktu 4 kali pertemuan ini sudah sangat sesuai
untuk membahas materi ini. Walaupun jika kita perhatikan Kompetensi Dasar (KD)
pada materi ini hanya 2 poin saja, akan tetapi materi memang cukup banyak yang
tentunya memerlukan waktu yang cukup juga untuk menyampaikannya dalam proses
pembelajaran.
4. Metode
Adapun
metode-metode yang cocok untuk materi “Ketentuan
Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan” ini menurut
pemakalah adalah sebagai berikut:
a. Ceramah,
adalah suatu metode penyampaian pesan pengajaran secara lisan oleh guru kepada siswa
atau sekelompok siswa di dalam kelas.[13]
Metode ini sangat
diperlukan dan dapat kita gunakan ketika membuka pelajaran, menyampaikan tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai pada materi Ketentuan Syari’at Islam Dalam
Melakukan Pembagian Harta Warisan ini, serta dapat juga membantu dalam
menjalankan metode lainnya yang sifatnya lebih membuat siswa aktif.
b. Tanya jawab,
iyalah metode penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau sebaliknya siswa diberi
kesempatan bertanya dan guru menjawab pertanyaan.[14]
Metode
tanya jawab sangat baik jika dikombinasikan dengan metode ceramah. Metode ini
bisa merangsang siswa untuk berfikir
aktif sehingga masalah atau materi yang belum jelas pada materi
Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan ini dapat
langsung ditanyakan oleh siswa kepada guru yang mengajar.
c.
Demonstrasi,
adalah
suatu teknik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang
dengan sengaja diminta atau siswa sendiri ditunjuk untuk memperlihatkan pada
kelas tentang sesuatu proses atau cara melakukan sesuatu.
d.
Dril,
adalah
metode yang disebut juga dengan metode latihan dimaksudkan untuk memperoleh
ketangkasan atau keterampilan latihan terhadap apa yang dipelajari.
5. Media
Adapun
media-media pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam menyampaikan
materi “Ketentuan Syari’at Islam Dalam
Melakukan Pembagian Harta Warisan”. Adalah sebagai beikut:
a.
Media
gambar, adalah media visual yang berupa goresan-goresan,
coretan-coretan atau bentuk-bentuk lain yang dapat menimbulkan tanggapan,
persepsi ataupun pemikiran manusia terhadap sesuatu objek atau benda-benda
tertentu. Gambar-gambar yang dimaksud dapat berupa lukisan tangan atau hasil
fotografi.[15]
b.
Media
grafik, adalah media gambar sederhana yang menyajikan
informasi tentang perkembangan data dari suatu objek berupa, perkembangan,
perbandingan, gambaran keadaan, garis-garis, atau simbol-simbol lainnya.[16]
c.
Slide
proyektor, media ini dapat digunakan ketika dengan
menampilkan poin-poin penting materi pelajaran kepada siswa baik materi yang
berkaitan dengan “Ketentuan Syari’at
Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan”, maupun materi yang
berkaitan tentang sifat-sifat Allah dan pembagiannya.
d.
Kalkulator,
adalah
alat bantu untuk menghitung. Kalkulator dapat digunakan ketika nantinya
menghitung pembagian harta warisan dalam pelajaran.
e.
Aplikasi
komputer, di sini maksudnya aplikasi yang dapat dijalankan di
dalam komputer contohnya: aplikasi tentang pembagian harta warisan, ataupun
menggunakan MS. Exel sebagai alat bantu menghitung.
6. Evaluasi
Pada evaluasi materi “Ketentuan Syari’at Islam Dalam Melakukan Pembagian Harta Warisan”,
yang terdapat dalam buku paket siswa yang ditulis oleh Khuslan Haludhi dan
Abdurohim sudah mengarah/sesuai dengan kompetensi dasar (KD) yang ada. Hal ini
ditunjukan salah satunya pada soal evaluasi sebagai berikut:
No.
|
Kompetensi
Dasar (KD)
|
Contoh
Soal
|
3.8.
|
Memahami
ketentuan waris dalam Islam
|
Kemukakan
penyebab terhalangnya seseorang untuk mendapatkan harta warisan !
|
4.8.
|
Mempraktikan
pelaksanaan pembagian waris dalam Islam
|
Seorang
meninggal dunia ahli warisnya suami, ibu dan bapak harta warisan sebanyak
18.000.000;- hitunglah berapa bagian masing-masing?
|
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mawaris berasal dari
kata bahasa Arab mawarits yang merupakan jamak dari kata mi ras. Makna kata mi
ras adalah harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh ahli
warisnya dan disebut juga harta warisan. Selanjutnya, ilmu yang digunakan untuk
mengetahui orang yang berhak menerima harta warisan, orang yang tidak menerima
harta warisan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagian
harta warisan disebut ilmu mawaris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid.
Berasal dari kata bahasa Arab fara’id
yang merupakan jamak dari kata faridah.
Kata ini diambil dari kata fardu yang dalam kontek ilmu mawaris berarti bagian
yang telah ditetapkan.
Sumber
hukum mawaris adalah Al-Qur’an, hadis, dan ijmak/ijtihad.
Hukum
mempelajari ilmu mawaris adalah wajib kifayah.
Sebab
seseorang memperoleh harta warisan menurut Islam ada beberapa sebab yaitu
karena; hubungan kekerabatan atau nasab, hubungan perkawinan, hubungan
pemerdekaan, dan hubungan sesama Islam .
Beberapa
sebab yang menghalangi mendapat warisan dari keluarga mereka yang meninggal
dunia karena: hamba (budak), pembunuh, murtad dan Kafir.
B.
Saran
Kami
menyadari makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis
selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi
masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi
lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 2003.
Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor:
Kencan.
Khuslan Haludhi dan Abdurrohim.
2012. Pendidikan Agama Islam untuk Kelas
XII SMA Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sulaiman Rasjid. 2009. Fiqih islam. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Wahbah Az-Zuhaili. 2007.Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok: Gema
Insani.
M.
Basyiruddin Usman, Metodologi
Pembelajaran Islam, Jakarta Selatan: Ciputat Pres, 2002.
Rodhatul
Jennah, Media Pembelajaran, Banjarmasin:
Antasari Press, 2009.
[1] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 185
[2]
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis
Besar Fiqh”, (Bogor: Kencan, 2003), Hlm. 147-148
[3] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 186
[4] Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu” (Depok: Gema
Insani, 2007), hlm.344-346
[5] Sulaiman Rasjid, “Fiqih islam”, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2009), hlm.347
[6] Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor:
Kencan, 2003), Hlm. 149 (Hubungan kewarisan)
[7] Sulaiman Rasjid, “Fiqih islam”, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2009), hlm.351
[8] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 191-193
[9] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 189
[10] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 193
[11] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 195-197
[12] Khuslan Haludhi dan Abdurrohim, “Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XII SMA”
(Malang: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012) Hlm. 197-202
[13] M. Basyiruddin Usman, “Metodologi Pembelajaran Islam”, (Jakarta
Selatan: Ciputat Pres, 2002), hlm.34
[15] Rodhatul Jennah, “Media Pembelajaran”, (Banjarmasin:
Antasari Press, 2009), hlm.62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar