BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik
di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia.
Sejarah Kebudayaan Islam, merupakan salah satu mata pelajaran PAI ditingkat
Madrasah Aliyah yang menekankan pada kemampuan mengerti dan memahami sejarah
para pendahulu islam untuk mematangkan jiwa keislaman peserta didik, mengambil
ibarat dari kehidupan para pejuang islam masa lampau dalam rangka
penyebarluaskan agama islam. Kurikulumnya telah ditetapkan berdasarkan pada
Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan
standar isi pendidikan agama islam di Madrasah Aliyah. Maka kurikulum Sejarah
Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah harus sesuai dengan standar kompetensi yang
telah ditentukan. Untuk itu pada makalah ini akan menelaah atau menganalisa
materi Sejarah Kebudayaan Islam tingkat Madrasah Aliyah dengan beberapa aspek
yakni telaah substansi dan formatif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah tentang walisongo ?
2.
Bagaimana
kontribusi Walisongo ?
3.
Bagaimana
biografi Walisongo ?
4.
Bagimana teladan spiritual dan intelektual yang
harus diteladani ?
5.
Bagiamana telaah substansi materi Peran
Walisongo ?
6.
Bagaimana telaah formatif materi Peran
Walisongo ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
sejarah Walisongo
2.
Mengetahui
kontribusi yang diberikan Walisongo
3.
Mengetahui
biografi Walisongo
4.
Mengetahui
teladan
spiritual dan intelektual yang harus diteladani
5.
Mengetahui telaah substansi materi Peran
Walisongo
6.
Mengetahui telaah formatif materi Peran
Walisongo
D.
Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
a. Dapat memahami materi sejarah kebudayaan islam kelas XII dengan baik.
b. Dapat menjelaskan materi sejarah kebudayaan islam kelas XII sesuai dengan
SK-KD.
c. Dapat mengambil ibrah dari materi sejarah kebudayaan islam kelas XII dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat praktis
a.
Bagi pemakalah
Untuk meningkatkan
pengetahuan pemakalah, khususnya dalam materi sejarah kebudayaan islam kelas
XII di Madrasah Aliyah.
b.
Bagi pembaca
Sebagai dasar
pengetahuan bagi mahasiswa agar nantinya dapat mengaplikasikan dan menelaah
materi sejarah kebudayaan islam kelas XII di madrasah aliyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Tentang Walisongo
Agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera,
selanjutnya penyiaran agama Islam semakin berkembang ke pulau-pulau lain di
Nusantara. Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah
kerajaan-kerajaan Islam. Berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulama, Islam sampai ke tanah Jawa.
Pada sisi lain ada yang menyatakan penyebaran Islam di Jawa
dirintis oleh para saudagar muslim dari Malaka. Malaka merupakan kerajaan Islam
yang mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah. Para saudagar
muslim pada mulanya perambah daerah-daerah pesisir utara Jawa. Di daerah-daerah
ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang telah melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Giri. Melalui kontak
perdagangan tersebut, akhirnya masyarakat mengenal Islam.[1]
Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai
tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan
hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki
peringkat wali.[2]
Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki
keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan
guru-murid.[3]
Walisongo sebagai jantung penyiaran Islam di Jawa. Ajaran-ajaran
walisongo memiliki pengaruh yang sangat besar di kalangan masyarakat Jawa,
bahkan kadangkala menyamai pengaruh raja. Masyarakat Jawa bahkan memberikan
gelar sunan kepada walisongo. Kata sunan diambil dari kata susuhunan yang
artinya,”yang dijunjung tinggi/ dijunjung di atas kepala,” gelar atau sebutan
yang dipakai para raja. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, Walisongo memiliki
nilai kekeramatan dan kemampuan-kemampuan diluar kelaziman. Walisongo merupakan
Sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang penyiaranIslam di Jawa pada
abad ke-15 dan ke-16. Sekalipun masih terdapat perbedaan pendapat tentang
nama-nama walisongo. Namun yang lazim diakui sebagai walisongo sebagai berikut.
1.
Maulana
Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
2.
Raden
Rahmat atau Sunan Ampel
3.
Raden
Maulana Makhdum Ibrahim
4.
Raden
Mas Syahid atau Sunan Kalijaga
5.
Raden
Paku (Raden Ainul Yakin) atau Sunan Giri
6.
Raden
Qosim Syarifuddin atau Sunan Drajat
Sedayu
7.
Raden
Ja’far Sadiq atau Sunan Kudus
8.
Raden
Said (Raden Prawoto) atau Sunan Muria
9.
Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Proses
Islamisasi Jawa adalah hasil perjuangan
dan kerja keras para walisongo. Proses Islamisasi ini sebagian besar berjalan
secara damai, nyaris tanpa konflik baik politik maupun cultural. Meskipun
mendapat konflik, skalanya sangat kecil sehingga tidak mengesankan sebagai
perang, kekerasan, ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut Islam
dengan sukarela.
Kehadiran
walisongo bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, karena Walisongo
menerapakan metode dakwah yang akomodatif dan lentur. Kedatangan para wali
ditengah-tengah masyarakat Jawa tidak dipandang sebagai sebuah ancaman. Para
walisongo menggunakan unsure-unsur budaya lama (Hindu dan Budha) sebagai media
dakwah. Dengan sabar sedikit walisongo memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke
unsure-unsur lama yang sudah berkembang. Metode ini biasa disebut dengan
metode sinkretis.[4]
B.
Kontribusi Walisongo
Walisongo memiliki pendekatan yang khas dalam melakukan dakwah
kepada khalayak. Mereka mampu memahami secara detail kondisi sosio-kurtural
masyarakat Jawa. Terdapat beberapa bentuk budaya lama telah dimodifikasi para
wali, misalnya:
1.
Sunan
Kalijaga membolehkan pembakaran kemenyan. Semula pembakaran kemenyan menjadi
sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetapi oleh Sunan Kalijaga fungsinya
diubah sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa. Dengan suasana
ruangan yang harum itu, diharapkan doa dapat dilaksanakan dengan lebih khusuk.
2.
Sunan
Kudus melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. Larangan
ini adalah bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat
setempat yang sebelumnya yang masih kental dengan agama Hindunya. Dalam
keyakinan Hindu, lembu termasuk binatang yang dikeramatkan dan suci.
3.
Para
wali mengadopsi bentuk atap mesjid yang bersusun tiga, yang merupakan
peninggalan tradisi lama (Hindu). Namun, para wali memberikan penafsiran baru
terhadap bentuk atap susun tersebut. Bentuk atap itu merupakan melambangkan
iman, Islam, dan ihsan.
Apa
yang disebutkan merupakan beberapa contoh akomodasi yang dikembangkan oleh para
wali dalam melaksanakan dakwah Islam di Jawa khususnya. Namun demikian
sesungguhnya kontribusi walisongo dalam penyiaran Islam di Jawa sangat besar
sesuai kapasitas personal yang dimilikinya.[5]
C.
Biografi Walisongo
1.
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Pada akhir abad ke-14, Maulana Malik Ibrahim
datang dan mendarat di pantai Jawa Timur yang disertai beberapa orang kawan
dekatnya untuk selanjutnya bermukim di Gresik. Maulana Malik Ibrahim adalah
keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad saw. dan saudara sepupu Raja
Chermen (menurut sebagian pendapat Chermen berasal dari India, namun sebagian
lagi menyebutnya dari Sumatera). Kehadiran Maulana Malik Ibrahim disertai Raja
Chermen untuk mengislamkan Raja Majapahit. Kegiatan dakwah Islam di Jawa
dipandang sukses ketika dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Malik Ibrahim pada awal dakwahnya
menggunakan pendekatan kekeluargaan dengan menawarkan putrinya untuk diperistri
Raja Majapahit. Upaya ini rupanya tidak berhasil, karena belum sampai tujuan,
rombongan terkena serangan penyakit hingga banyak yang meninggal. Namun
demikian tantangan ini rupanya tidak menyurutkan tekad Maulana Malik Ibrahim
untuk berdakwah untuk mengislamkan kerajaan Majapahit.
Pada langkah berikutnya Maulana Malik Ibrahim
mengambil jalur pendidikan dengan mendirikan pesantren. Sistem pendidikan
pesantren adalah adaptasi dari bentuk pendidikan biara dan asrama yang lama
dikembangkan pendeta atau biksu dalam agama Hindu dan Budha. Model ini
dinamakan pesantren karena merupakan tempat belajar para santri. Konon kata
santri diambil dari kata shastri (bahasa India), yang berarti
orang yang mengetahui dan memahami buku-buku suci agama Hindu.
Upaya pendidikan di pesantren oleh syekh
Maulana Malik Ibrahim dimaksudkan untuk menampung dan menjawab
permasalahan-permasalahan sosial keagamaan serta menghimpun santri. Usahanya
ini tidak mengalami banyak kendala, karena Maulana Malik Ibrahim telah memiliki
banyak pengikut yang setia serta pendanaan dari hasil usaha dagangnya. Dalam
kegiatan sehari-hari Maulana Malik Ibrahim tidak segan-segan membawa para
santri untuk bekerja di lahan pertanian seharian penuh. Kemudian Malam harinya,
Wali yang juga terkenal dengan sunan Gresik ini mengajar santri dengan
pelajaran-pelajaran dasar –dasar keislaman, khususnya Al-Qur’an dan Hadits.
Karena kometmen dan konsistensinya dalam mendakwahkan Islam, Maulana Malik
Ibrahim dipandang sebagai “Bapak Spiritual Walisongo”.
Dalam perjalanann hidupnya, Maulana Malik
Ibrahim tetap bermukim di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam hingga akhir
hayatnya pada tanggal 12 Rabiulawal 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419 M.
Maulana Malik Ibrahim akhinya lebih dikenang dengan panggilan Sunan Gresik,
setelah meninggal beliau dimakamkan di Perkuburan Gapura Wetan, Gresik.
Makamnya banyak diziarahi masyarakat Jawa hingga sekarang. Sunan Gresik
dianggap sebagai penyiar Islam pertama di tanah Jawa.[6]
Maulana
Malik Ibrahim dipanggil juga Syekh Magribi yang dalam Babad Tanah
Jawi disebut Makdum Brahim Asmara. Maulana Malik Ibrahim merupakan
wali tertua di antara walisongo yang menyiarkan Islam di Jawa Timur,
khususnya di Gresik. Maulana Magribi datang ke Jawa tahun 1404 M. Beliau
berasal dari Samarkandi di Asia Kecil. Dari Asia Kecil beliau bermukim
dulu di Campa dan kemudian datang ke Jawa Timur. Kedatangan beliau jauh
sesudah agama Islam masuk di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari
batu nisan seorang wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang wafat
pada tahun 476 H. atau 1087M.[7]
Menurut Walisana,
Mawlana Malik Ibrahim itulah mula-mula
tetalering, nenek moyang pertama bagi wali-wali. Malik Ibrahim adalah ulama
dari tanah Arab trah (keturunan)
Raulullah dari cicit beliau Zainal ‘ Abidin bin Hasan bin ‘Ali. Dari anak cucu
beliaulah lahir wali-wali di jawa, yaitu sunan Ampel, Sunan Gresik, dua orang
putra beliau, sedangkan sunanMajagung ialah kemenakan iparnya. Adapun sunan
Bonang, Sunan Drajat, adalah cucu-cucu beliau dari sunan Ampel. Sunan Kalijaga
pun bisa sampai menjadi wali adalah berkat didikan dan asuhan dari cucu beliau
yang bergelar Sunan Bonang. [8]
2)
Raden Rahmat
atau Sunan Ampel (Campa, Aceh 1401 – Tuban Jawa Timur 1481)
Raden
Rahmat adalah putra Sunan Gresik dari istrinya yang bernama Dewi Candrawulan.
Raden Rahmat sebagai penerus perjuangan ayahnya dalam menyebarkan agama Islam
di tanah Jawa.
Untuk
melancarkan misi dakwahnya pada tahap awal, Raden Rahmat membangun pesantren di
Ampel Denta, dekat Surabaya. Pada pesantren yang diasuhnya Raden Rahmat
mendidik kader-kader da'i yang kemudian disebar ke seluruh Jawa. Sunan Ampel
telah mendidik murid-murid yang terkenal antara lain Raden Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang) dan Syarifudin (Sunan Drajat) yang tak lain keduanya adalah
putra Sunan Ampel sendiri, Maulana Ishak (penyebar Islam di Blambangan), Raden
Paku (Sunan Giri), dan Raden Patah (Sultan Demak).
Raden
Rahmat dikenal masyarakat dengan gelaran Sunan Ampel, Raden Rahmat dikenal
sebagai negarawan, tokoh yang mempunyai gagasan dan perencana berdirinya
kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Menurut bukti sejarah Raden Rahmat
sebagai orang yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai sultan pertama Kesultanan
Demak Bintoro. Pada akhirnya kesultanan Demak Bintoro menjadi pusat penyebaran
Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Kesultanan Demak Bintoro menjadikan masjid
sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan. Masjid Masjid Demak didirikan pada tahun
1479 yang diprakarsai oleh Raden Rahmat bersama dengan para walisongo.
Raden
Rahmat [Sunan Ampel] dikenal tegas dan radikal dalam menyampaikann ajaran
Islam, khususnya dalam bidang akidah. Raden Rahmat sangat mengkhawatirkan
adanya penyimpangan di bidang akidah akibat tradisi masyarakat Jawa, seperti
kenduri, slametan, dan sesaji, yang berkembang di kalangan masyarakat.
Sekalipun demikian Raden Rahmat tetap memiliki toleransi, sehingga atas
pertimbangan wali lainnya tradisi itu tetap dibiarkan, sampai akhirnya pada
suatu saat masyarakat mengerti dan menanggalkanya. Karena itu dalam praktiknya,
para wali memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi-tradisi.
Raden
Rahmat [Sunan Ampel] wafat pada tahun 1481. Beliau dimakamkan di Masjid Ampel,
Surabaya. Sampai sekarang makan beliau banyak dikunjungi peziarah dari
berbagaai derah diseluruh pelosok Nusantara.[9]
3)
Maulana Makhdum
Ibrahim atau Sunan Bonang, (Ampel Denta, Surabaya 1465 – Tuban 1525)
Maulana
Makhdum Ibrahim adalah putra dari Sunan Ampel dari istri yang bernama Dewi
Candrawati. Maulana Makhdum Ibrahim merupakan sepupu dari Sunan Kalijaga yang
banyak dikenal sebagai pencipta gending pertama.
Sebelum
terjun dimedan Dakwah, Maulana Makhdum Ibrahim banyak belajar di Pasai,
kemudian sekembalinya dari Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim mendirikan pesantren
di daerah Tuban. Santri yang belajar pada pesantren Maulana Makhdum Ibrahim,
berasal dari penjuru daerah di Tanah Air. Dalam menjalankan kegiatan dakwahnya
Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] mempunyai keunikan dengan cara merubah
nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat sebagaimana yang dikenal dalam Islam.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya persuasif terhadap penganut ajaran Hindu dan
Budha yang telah lama dipeluk sebelumnya .
Maulana
Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] sangat memperhatikan tradisi dan budaya
masyarakat yang telah berkembang. Pada masa itu masyarakat Jawa memiliki
kegemaran terhadap seni pewayangan yang ceritanya diambil dari ajaran hindu dan
budha. Melihat kenyataan yang ada, maka Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang]
memanfaatkan wayang sebagai media untuk menyampaikan dakwahnya. Syair lagu
gamelan ciptaan para wali dan Sunan Bonang pada khususnya, berisi ajaran tauhid
dan peribadatan. Setiap bait selalu diselingi dengan syahadatain (dua
kalimat syahadat), sehingga kita sekarang mengenal gamelan sekaten, yang
merupakan pengucapan masyarakat Jawa terhadap syahadatain. Salah satu
tembang ciptaan Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] adalah tembang durma,
sejenis macapat yang menggambarkan suasana tegang, bengis, dan penuh
amarah dalam kehidupan dunia yang fana.
Setelah
ayah Maulana Makhdum Ibrahim wafat, ia mengadakan musyarawah dengan para wali
untuk membahas estafet kepemimpinan di pesantren milik ayahnya. Hasil
musyawarah para wali mempercayakan kepada Raden Fatah sebagai penerus
kepemimpinan di pesantren Ampel Denta. Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang]
memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, yang tak lain
adalah putra raja Majapahit yang bernama Prabu Brawijaya V. Pada perjalanan
selanjutnya, Raden Fatah diangkat dan dinobatkan menjadi sultan pertama
kerajaan Demak.
Karya
yang berupa catatan-catatan pengajaran Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)
dikenal dengan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Suluk
atau primbon hasil karya Sunan Bonang berbentuk prosa dalam gaya Jawa Tengah
dan penggunaan kalimat-kalimatnya banyak sekali
dipengaruhi bahasa Arab. Terdapat pula karya lainnya, yaitu Sekar
Damarwulan, Primbon Bonang I dan II, dan Serat Wragul. Karya-karya Maulana Makhdum Ibrahim ini antara
lain bisa ditemui dipepustakaan Universitas Leiden, Belanda. Sunan Bonang
meninggal pada tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban, daerah pesisir Utara Jawa
yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.[10]
4)
Raden Mas
Syahid atau Sunan Kalijaga (Tuban akhir abad ke-14 - Demak pertengahan abad
ke-15)
Raden
Mas Syahid atau dikenal dengan panggilan Sunan Kalijaga, beliau juga dijuluki
Syekh Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi
bupati Tuban, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Sebutan Kalijaga
menurut sebagian riwayat berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka
yang artinya ‘pelaksana’ dan ‘membersihkan’. Menurut pendapat masyarakat Jawa
memberikan arti kata qadizaka dengan Kalijaga, yang berarti pemimpin
atau pelaksana yang menegakkan kesucian atau kebersihan.
Raden
Mas Syahid [Sunan Kalijaga] dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa
besar, berpandangan luas, berpikiran tajam, intelek, Cerdas, kreatif, Dinamis
serta berasal dari suku Jawa asli. Dalam menyebarkan misi dakwahnya,
Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] tidak menetap di suatu daerah. Raden Mas
Syahidsenantiasa berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, sehingga wilayah
dakwah Sunan Kalijaga sangat luas. Raden Mas Syahid dianggap mampu menerapkan
sistem dakwah yang cerdas dan aktual, banyak orang dari golongan bangsawan dan
cendekiawan memberikan hormat dan simpati terhadapnya. Raden Mas Syahid
mempunyai gaya dakwah yang mudah diterima sehingga Sunan Kalijaga dikenal dan
dihormati juga oleh lapisan masyarakat awam. Metode dakwah yang diterapkan
Sunan Kalijaga bisa dengan mudah diterima oleh semua kalangan masyarakar, mulai
rakyat bawah hingga kalangan atas bahkan para penguasa.
Raden
Mas Syahid [Sunan Kalijaga] juga terkenal sebagai seorang negarawan dan menjadi
arsitek sistem pemerintahan Jawa. Sistem kabupaten yang berkembang pada masa
sekarang dan telah diterapkan secara nasional sebagai wujud gagasan Sunan
Kalijaga. Raden Mas Syahid memiliki pengaruh yang besar dalam kesultanan Demak
Bintoro. Raden Fatah sangat menghormati berbagai nasihat dan petunjuk Sunan
Kalijaga. Dalam struktur pemerintahan Demak, di samping sebagai ulama dan Da'i
Sunan Kalijaga juga menjadi penasihat pribadi Sultan. Dan Atas jasa-jasanya,
Raden Fatah sebagai Sultan Demak memberi hadiah sebidang tanah di sebelah
tenggara Demak sebagai desa perdikan (bebas pajak), yang persembahkan bagi ahli
waris dan keturunan Raden Mas Syahid.
Raden
Mas Syahid sebagai orang yang paling berjasa menggunakan pendekatan
kultural dalam berdakwah, termasuk di antaranya wayang dan gamelan sebagai
media dakwah. Sunan Kalijaga mengarang berbagai cerita wayang yang islami,
khususnya yang bertemakan akhlak atau budi pekerti. Hobi masyarakat Jawa
terhadap wayang dapat dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai media menyebarkan
dakwah Islam.
Disamping
itu Sunan Kalijaga juga terkenal sebagai seniman dan amat berjasa dalam seni
suara, seni ukur, kesusastraan seni busana, dan seni pahat. Salah satu
hasil karya Sunan Kalijaga adalah dalam seni batik, corak batik yang diberi
motif burung merupakan buah karya Sunan Kalijaga. Burung dalam bahasa Kawi
disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu
Artinya jagalah dan qila artinya diucapkan dan bila digabungkan maka
maksudnya adalah “peliharalah upacanmu sebaik-baiknya”, yang menjadi salah
satu ajaran etnik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
Sunan
Kalijaga (Raden Mas Syahid ) meninggal pada pertengahan abad ke-15 dan makamnya
ada di desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
5)
Raden Paku atau
Sunan Giri, (Blambangan, pertengahan abad ke-15 awal abad ke-16)
Raden
Paku adalah putra dari Syekh Maulana Ishak (murid Sunan Ampel). Raden Paku dan
dikenal dengan sebutan Sunan Giri adalah saudara ipar dari Raden Fatah,
dikarenakan istri mereka bersaudara.
Pada
saat ayah Raden Paku mengembara untuk memperdalam ilmu di Pasai, Raden Paku di
bawah asuahan seorang wanita kaya raya yang bernama Nyai Gede Maloka atau Nyai
Ageng Tandes. Setelah Menginjak dewasa, Raden Paku menimba ilmu di Pesantren
Ampel Denta (Surabaya) milik Sunan Ampel . Di sini ia bertemu dan bertaman baik
dengan putra Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Raden
Paku [Sunan Giri] mendirikan pesantren di daerah Giri sebagai basis dalam
menyebarkan dakwah Islam. Dan Mayoritas Santrinya yang diasuh berasal dari
masyarakat golongan ekonomi tidak mampu. Dari pesantren milik Sunan Giri ini
lahir da'i-da'i yang kemudian mereka menyiarkan agama Islam ke luar Pulau Jawa,
seperti Madura, Ternate, Bawean, Kangean, dan Tidore. Kemudian dari hasil usaha
santri menyiarkan Islam inilah, pesantren Sunan Giri dikenal luas oleh
masyarakat di Tanah Air.
Raden
Paku [Sunan Giri] terkenal sebagai seorang pendidik yang mampu menerapkan
metode permainan yang bersifat agamis. Karya- karyanya berupa permainan atau
tembang di antaranya Gula Ganti, Jamuran, Jelungan, Jor, Ilir-ilir, dan Cublak-cublak
Suweng. Karya yang lain yaitu Kitab Serat Wali Sana dan Serat
Widyapradana, berisi pengetahuan ilmu faal yang kemudian dikembangkan oleh
R. Ranggawarsita. Sunan Giri juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak. Berbagai masalah atau keputusan penting
sering menunggu pertimbangan Sunan Giri.
Pada
saat Sunan Giri hendak melaksanakan ibadah haji bersama Sunan Bonang, keduanya
menyempatkan singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu keimanan dan tasawuf. Pada
sebuah kisah diceritakan bahwa Raden Paku bisa mencapai tingkatan ilmu
laduni. Dengan Prestasi yang dicapainya inilah, Raden Paku juga terkenal
dengan panggilan Raden ‘Ainul Yaqin. Sunan Giri meninggal sekitar awal abad
ke-16, makam beliau ada di Bukit Giri, Gresik, sampai sekarag makamnya banyak
diziarahi masyarakat dari berbagai penjuru.[11]
6)
Raden Kosim
atau Syarifuddin atau Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, 1470 – Sedayu,
Gresik, pertengahan abad ke-16)
Raden
Kosim atau Syarifuddin lebih dikenal dengan panggilan Sunan Drajat. Masyarakat
mengenalnya juga sebagai Sunan Sedayu, karena ia dimakamkan di dekat Kota
Sedayu ( kuarang lebih 30 Km dari Sedayu). Raden Kosim adalah putra Sunan ampel
dari istri kedua yang bernama Dewi Candrawati. Raden Kosim mempunyai enam
saudara seayah-seibu, diantaranya Siti Syareat (istri R. Usman Haji), Siti
Mutma’innah (istri R. Muhsin), Siti Sofiah (istri R. Ahmad, Sunan Malaka) dan
Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Di samping itu, ia mempunyai dua
orang saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri R. Fatah) dan Dewi
Murtasimah (istri R. Paku atau Sunan Giri). Sedangkan istri Sunan Drajat, yaitu
Dewi Sifiyah putri Sunan Gunung Jati.
Raden
Kosim [Sunan Drajat] mempunyai andil berdakwah dengan pendekatan kultural. Ia
menciptakan tembang Jawa yang sampai sekarang ini masih banyak disenangi
masyarakat, yaitu tembang Pangkur, dan Cariosipun Jaka Pertaka.
Raden
Kosim memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Sunan
Drajat lebih mengedepankan tema-tema kepedulian sosial dan kegotongroyongan
dalam aktifitas berdakwah. Raden Kosim senantiasa memberikan teladan dengan
memberi pertolongan kepada kaum lemah. Sunan Drajat sangat memahami bahwa
menyantuni anak yatim dan fakir miskin merupakan sebuah kewajiban yang
diperintahkan.[12]
Sunan
Drajat adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati atau yang juga
dikenal sebagai Nyai Ageng Manila. Tetapi menurut Widji Saksono, Sunan Drajat
yang nama kecilnya Masaih Munad atau Mahmud itu adalah anak Raden Rahmat dengan
istri kedua, yaitu Raden Qasim atau Kasim, Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu,
Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syaripudin, Pangeran Drajat, dan Masaih Munad.[13]
7)
Ja’far Sadiq
atau Sunan Kudus, (abad ke-15 – Kudus 1550)
Ja’far
Sadiqatau Raden Undung, dikenal dengan panggilan Sunan Kudus, beliau juga
dijuluki Raden Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pimpinan Jama’ah
Haji (Amir).. Dikenal sebagai seorang pujangga yang luas dan mendalam ilmunya.
Ja’far
Sadiq[Sunan Kudus] adalah putra Raden Usman Haji yang menyebarkan agama Islam
di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Menurut silsilah Sunan Kudus
masih keturunan Nabi Muhammad saw. Dengan silsilah lengkap sebagai berikut:
Ja’far Sadiq bin R. Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim al-Samarkandi bin
Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul
Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali ra.
Ja’far
Sadiq [Sunan Kudus] mendapat julukan wali al-‘ilmi, karena sangat
menguasai ilmu-ilmu agama, terutama tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits,
serta logika. Para santri yang diasuhnya datang dari penjuru pelosok di tanah
air untuk menuntut ilmu di pesantrennya. Sunan Kudus menyebarkan dakwahnya di
daerah Kudus dan sekitarnya.
Sunan
Kudus juga dipercaya sebagai panglima perang Kesultanan Demak. Ia mendapat
kepercaan untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia
menjadi pemimpin pemerintahan (bupati) sekaligus pemimpin agama.
Sunan
Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Pada saat berada di Baitul
Maqdis, ia berjasa memberantas penyakit yang banyak menelan korban. Berkat
jasanya, Sunan Kudus diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di
Palestina. Namun ia mengharapkan hadiah tersebut dikirim ke Jawa. Oleh amir
(penguasa setempat), permintaan itu dikabulkan. Setelah pulang ke Jawa, ia
mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549. Masjid inilah yang
sampai sekarang terkenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Kemudian
Sunan Kudus mengganti nama daerah sekitar masjid menjadi Kudus, yang diambil
dari nama sebuah kota di Palestina, yaitu Al-Quds.
Ja’far
Sadiq [Sunan Kudus] dalam melaksanakan dakwah menggunakan pendekatan budaya,
beliau juga memainkan peran sebagai sosok pujangga yang menciptakan berbagai
lagu dan cerita keagamaan. Karyanya yang paling terkenal adalah Gending
Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus meninggal di Kudus pada tahun
1550, makamnya berada di dalam kompleks Masjid Menara Kudus dan banyak diziarahi
oleh kaum Muslimin dari dari berbagai penjuru di tanah Air.[14]
8)
Raden Umar Said
atau Sunan Muria (abad ke-15 – abad ke-16)
Raden
Umar Saiddikenal dengan panggilan Sunan Muria, sebab pusat kegiatan dakwah
ataupun makamnya terletak di Gunung Muria (sekitar 18 km sebelah utara Kota
Kudus). Beliau adalah putra Sunan Kalijaga, semasa kecil ia biasa dipanggil R.
Prawoto.
Di
dalam berdakwah Sunan Muria memiliki keunikan yaitu menjadikan desa-desa
terpencil sebagai medan dakwah Islamnya. Sunan Muria dikenal sebagai wali yang
lebih gemar menyendiri, bertempat tinggal di desa terpencil, dan bergaul dengan
rakyat kebanyakan. Sunan Muria memberikan pengajaran kepada masyarakat di
sekitar Gunung Muria dengan mengadakan kursus-kursus bagi para pedagang,
nelayan, ataupun elemen masyarakat kecil lainnya.
Sunan
Muria juga merupakan pendukung setia Kesultanan Demak dan ikut andil dalam
pendirian Masjid Demak. Beliau memiliki karya tulis yang masih digemari hingga
saat ini, yaitu tembang sinom dan kinanti. Dalam sejarah tidak diketahui
secara persis tahun meninggalnya dan Menurut perkiraan, Sunan Muria meninggal
pada abad ke-16 dan dimakamkan di Bukit Muria, Kudus.
9)
Syarif
Hidayatullah atau Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, (wafat: Gunung Jati,
Cirebon, 1570)
Syarif
Hidayatullah atau Fatahillah dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Beliau
adalah salah seorang dari Walisongo yang banyak memberikan kontribusi dalam
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Barat. Syarif
Hidayatullah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten.
Menurut
Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Sadjarah Banten menyatakan kedua
nama yaitu Fatahillah dan Nurullah merupakan nama satu orang. Nama aslinya
adalah Nurullah, kemudian dikenal juga dengan nama Syekh Ibnu Maulana.
Laporan-laporan perjalanan orang Portugis mengenal dengan nama Falatehan atau
Tagaril.
Nurullah
yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai.
Penguasaan Portugis atas Malaka pada 1511 dan akhirnya Pasai pada tahun 1521
membuat Nurullah tidak tinggal lama di Pasai. Dia segera berangkat ke Mekah
untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah kembali dari Tanah Suci pada
tahun 1524, lalu langsung menuju Demak dan memperistri adik Sultan
Trenggana.
Dengan
mendapat dukungan dari Sultan Trenggana, Nurullah berangkat ke Banten untuk
mendirikan sebuah permukiman muslim. Kemudian dari Banten, Nurullah melebarkan
pengaruhnya ke daerah Sunda Kelapa. Di sini, pada tahun 1526 dia berhasil
mengusir bangsa Portugis yang hendak mengadakan kerja sama dengan Raja
Pajajaran. Berkat kemenangannya ini, Nurullah mengganti nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta. Di Banten, ia meninggalkan anaknya yang bernama Hasanuddin,
untuk memimpin Banten. Dan Hasanuddin inilah yang dalam sejarah diakui sebagai
raja pertama Kerajaan Banten.
Sunan
Gunung Jati meninggal di Cirebon pada tahun 1570 dan usianya diperkiran sekitar
80 tahun. Makamnya terdapat di kompleks pemakaman Wukir Sapta Pangga di Gunung
Jati, Desa Astana Cirebon, Jawa Barat.[15]
D.
Teladan
Spiritual dan Intelektual
Walisongo telah
menunjukan peranan yang sangat berharga dalam menyiarkan Islam di tanah jawa.
Melihat keberhasilan dakwah walisongo, maka sebagai generasi muda Islam, harus
dapat meneladani kepribadianya diantaranya melalui:
1.
Sebagai generasi muda harus senantiasa
mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt., karena hal itu adalah
modal yang paling utama yang harus dimiliki.
2.
Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan
generasi muda untuk memperdalam penguasaan ilmu, baik ilmu agama maupun
pengetahuan lainnya, sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi diri sendiri
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
3.
Unutuk mendapatkan kemuliaan dihari esok, maka
generasi muda harus bersedia berjuang dalam rangka meninggikan agama Allah,
sesuai bidang yang ditekuninya.
4.
Mengembangkan jalinan silaturahmi dengan
cara-cara yang bijaksana, sehingga akan melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5.
Diperlukan keahlian untuk menyampaikan
kebenaran dan kebaikan dengan menggunakan cara-cara yang cerdas dan simpatik,
sehingga mudah diterima orang lain yang menjadi sasaran dakwah.
Dalam setiap situasi dan keadaan senantiasa
menunjukkan kepribadian yang luhur serta menghindarkan diri dari sifat-sifat
yang kurang terpuji. Demikian beberapa sikap yang dapat diungkapkan, sebagai
upaya meneladani kepribadian dan perjuangan Walisongo. Wujudkan sikap-sikap
tersebut dalam diri dan kepribadianmu.[16]
BAB
III
TELAAH
MATERI
A.
Telaah Substansi
Substansi yang telah ada sudah cukup lengkap, namun belum
ditemukannya pengertian wali dan sunan, padahal banyak sekali membahas tentang
itu. Pada buku Metode Da’wah Wali Songo karangan Nur Amin Fattah Kami
menemukan pengertian Wali dan Sunan yakni sebagai berikut.
1. Pengertian Wali
Perkataan wali berasal dari bahasa Arab. Jamaknya Auliya’ yang berarti
orang-orang yang tercinta, para penolong, para pembantu dan juga berarti para
pemimpin.
a. Pengertian wali menurut Al-Qur’an (Q.S. 10 Yunus : 62-63-64)
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.”
Jadi yang dimaksud waliyullah (wali Allah) dalam ayat tersebut di atas
adalah orang-orang yang selalu bertaqwa kepada Allah dan mereka tidak mempunyai
rasa takut dan bersusah hati.
b. Pengertian wali menurut hadist nabi.
“Dari Abu Hurairah ra.
Rasulullah SAW berkata, Allah SWT berfirman : Barang siapa memusuhi waliku,
maka Aku umumkan perang kepadanya dengan Ku atau sungguh Aku mengumumkan perang
kepadanya dan selalulah hambaku mendekatkan dirinya kepadaKU dengan mengerjakan
amalan-amalan sunahnya sehingga Aku mencintainya Maka apabila Aku telah
mencintainya Akulah yang akan menjadi pendengarnya yang dengan itu ia mendengar
dan penglihatannya yang dengan itu ia melihat dan tangannya yang dengan itu ia
memukul dan kakinya yang dengan itu ia
berjalan” (H. Bukhari)
Pengertian wali menurut
hadist tersebut ialah orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan
melakukan apa saja yang diwajibkan kepadanya dan juga selalu melakukan amalan
yang sunnah. Dan juga berarti wali adalah orang yang dikasihi oleh Allah (kekasih
Allah).[17]
2. Pengertian Sunan
Para mubaligh Islam pertama-tama menyiarkan dan menyebarkan agama Islam di
nusa Jawa yang terkenal dengan sebutan “Wali Songo” itu juga mendapat sebutan
atau panggilan “Sunan” di awal namanya. Bahkan sampai sekarang ini, orang lebih
terbiasa mengucapkan Sunan dari pada kata wali. Umpanya : Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, Sunan Kudus dll.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata sunan itu berasal
dari bahasa Tionghoa “Hokkian-suhunan”, yang berarti pujangga yang disebabkan
karena ilmunya.
Sementara beberapa ahli berpendapat kata sunan itu
berasal dari kata sesuhunan artinya orang yang diminta, dan ada juga yang
berpendapat bahwa kata sunan itu bersal dari bahasa Arab “Sunanun” artinya
beberapa sunnah, yang maksudnya orang yang suka mengerjakan perbuatan-perbuatan
sunnah.
Jadi kata sunan itu adalah suatu nama atau gelar yang diberikan oleh orang
lain ketika para wali itu masih hidup, bukan setelah mati. Sebab para wali itu
disuhun atau diminta sesorang bukan hanya keramatnya saja setelah ia meninggal
dunia justru malah lebih banyak diminta petunjuknya sewaktu mereka masih hidup,
karena mereka itu adalah seorang da’i, yang mengajak manusia ke jalan yang
benar.
Konon yang pertama-tama memberi gelar sunan kepada
para wali songo itu adalah Raden Patah raja Demak yang pertama Sedangkan ketika
Raden Patah memerintah kerajaan Demak Bintoro, para wali itu kebanyakan masih
hidup, bahkan yang menobatkan raden Patah jadi Raja di Bintoro Demak adalah
para wali itu sendiri. Jadi seolah-olah ada hubungan timbal balik dalam hal
memberikan penghormatan.
Sehingga perlu kita ingat bahwa sesungguhnya gelar
Sunan itu adalah bukan suatu gelar jabatan, sebagaimana sultan atau raja dan
ratu, namun itu merupakan gelar penghormatan.[18]
B.
Telaah Formatif
1.
Standar Kompetensi
Standar
Kompetensi pada materi SKI Kelas XII Semester 2 (Genap) ini yakni “Memahami
Perkembangan Islam di Indonesia” SK ini sudah sangat sesuai dengan keadaan
siswa yang mana sudah berada pada jenjang yang cukup tinggi yakni MA Kelas XII,
yang mana siswa sudah cukup mampu untuk memahami materi tersebut karena sudah
pernah belajar sebelumnya pada jenjang MI maupun MTs.
2.
Kompetensi Dasar
·
Menjelaskan
perkembangan Islam di Indonesia
·
Mengidentifikasi
peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berpartisipasi dalam
perkembngan islam diindonesia
·
Mengambil
ibrah dari peristiwa perkembangan islam diindonesia
·
Meneladani
tokoh-tokoh yang berpartisipasi dalam perkembangan Islam di Indonesia
KD yang ingin dicapai diatas sudah sesuai dengan SK yang telah ada.
Dan pada materi Peran Walisongo ini
3.
Alokasi Waktu
Alokasi waktu
yang digunakan yakni 2 jam pelajaran (2 x 45 menit), jika dilihat dari materi
yang akan diajarkan dengan alokasi waktu yang telah ditentukan maka sangat
kurang efektif apabila materi tersebut habis dalam satu kali pertemuan dan akan
lebih efektif materi tersebut dihabiskan dalam dua kali pertemuan. Sehingga
siswa dapat benar-benar memahami materi Peran Walisongo.
4.
Bahasa
Bahasa yang
digunakan dalam penulisan materi SKI ini sudah cukup mudah dipahami oleh siswa
kelas XII, meskipun ada kata ilmiah atau bahasa jawa yang digunakan tetapi ada
penjelasan selanjutnya. Contoh pada kalimat “Dengan sabar sedikit walisongo
memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke unsure-unsur lama yang sudah berkembang.
Metode ini biasa disebut dengan metode
sinkretis.
5.
Model Pembelajaran
Menurut kami model pembelajaran yang
dapat digunakan pada materi ini adalah model,
·
Jigsaw (pembelajaran
kelompok)
·
Direc Instruction (DI)/ ekspositori (pembelajaran Langsung)
Hal ini karena selain sejarah bisa di ceritkan oleh seorang guru juga
sangat efektif menggunakan pembelajaran kelompok.
6.
Metode Pembelajaran
Menurut kami metode pembelajaran yang dapat digunakan pada materi
ini adalah metode,
·
Pengamatan
·
Inquiri
·
Diskusi kelompok
·
Karya Wisata
7.
Media Pembelajaran
Menurut kami media pembelajaran yang dapat digunakan pada materi
ini adalah media,
·
LCD
·
Laptop
·
DVD
8.
Evaluasi
Soal evaluasi
yang terdapat pada modul sudah cukup sesuai dengan kompetensi dasar yang akan
dicapai dan sudah sesuai dengan materi atau isi modul.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Mereka tinggal di pantai uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan
abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah
para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka
mengenalkan berbagai bentuk peradapan baru : mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, niaga kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu – Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang
juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat menjadi tambahan ilmu
pengetahuan tentang masuknya Islam ke Jawa dan peran para Walisongo. Kami sarankan agar pembaca mencari referensi
lain untuk menambah wawasan Anda. Kami mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik dalam segi tulisan, tanda baca, maupun kesalahan
lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiono Hadi Sutrisno, 2009, Sejarah
Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, Yogyakarta:
GRAHA Pustaka.
Hasanu Simon, 2008, Misteri Syekh
Siti Jenar Peran Wali Songo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
Modul, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII.
Nur Amin Fattah,
1997, Metode Da’wah Wali
Songo, Pekalongan, C.V.Bahagia. Cet. VI.
Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, 1999, Islamisasi di Jawa,
Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Saifullah, 2010, Sejarah
dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Widji Saksono, 1995, Mengislamkan
Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung : Mizan Anggota
IKAPI.
[2] Saifullah, Sejarah
dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hal.21- 22.
[3] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah
Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka,
2009), hal. 16
[7]Ridin
Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar
Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal.24
[8]Widji Saksono, Mengislamkan Tanah
Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung : Mizan Anggota IKAPI,
1995), hal-24
[13]Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar
Peran Wali Songo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, (Yogyakarta : Pustaka
Belajar, 2008), hal.231-232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar