Laman

Minggu, 28 Desember 2014

PERAN WALISONGO



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Sejarah Kebudayaan Islam, merupakan salah satu mata pelajaran PAI ditingkat Madrasah Aliyah yang menekankan pada kemampuan mengerti dan memahami sejarah para pendahulu islam untuk mematangkan jiwa keislaman peserta didik, mengambil ibarat dari kehidupan para pejuang islam masa lampau dalam rangka penyebarluaskan agama islam. Kurikulumnya telah ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi pendidikan agama islam di Madrasah Aliyah. Maka kurikulum Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah harus sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan. Untuk itu pada makalah ini akan menelaah atau menganalisa materi Sejarah Kebudayaan Islam tingkat Madrasah Aliyah dengan beberapa aspek yakni telaah substansi dan formatif.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah tentang walisongo ?
2.      Bagaimana kontribusi Walisongo ?
3.      Bagaimana biografi Walisongo ?
4.      Bagimana teladan spiritual dan intelektual yang harus diteladani ?
5.      Bagiamana telaah substansi materi Peran Walisongo ?
6.      Bagaimana telaah formatif materi Peran Walisongo ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui sejarah Walisongo
2.      Mengetahui kontribusi yang diberikan Walisongo
3.      Mengetahui biografi Walisongo
4.      Mengetahui teladan spiritual dan intelektual yang harus diteladani
5.      Mengetahui telaah substansi materi Peran Walisongo
6.      Mengetahui telaah formatif materi Peran Walisongo

D.    Manfaat Penulisan
1.      Manfaat teoritis
a.       Dapat memahami materi sejarah kebudayaan islam kelas XII dengan baik.
b.      Dapat menjelaskan materi sejarah kebudayaan islam kelas XII sesuai dengan SK-KD.
c.       Dapat mengambil ibrah dari materi sejarah kebudayaan islam kelas XII dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Manfaat praktis
a.         Bagi pemakalah
Untuk meningkatkan pengetahuan pemakalah, khususnya dalam materi sejarah kebudayaan islam kelas XII di Madrasah Aliyah.
b.        Bagi pembaca
Sebagai dasar pengetahuan bagi mahasiswa agar nantinya dapat mengaplikasikan dan menelaah materi sejarah kebudayaan islam kelas XII di madrasah aliyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Tentang Walisongo
Agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera, selanjutnya penyiaran agama Islam semakin berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara. Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam. Berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih  dari para ulama, Islam sampai ke tanah Jawa.
Pada sisi lain ada yang menyatakan penyebaran Islam di Jawa dirintis oleh para saudagar muslim dari Malaka. Malaka merupakan kerajaan Islam yang mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah. Para saudagar muslim pada mulanya perambah daerah-daerah pesisir utara Jawa. Di daerah-daerah ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang telah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Giri. Melalui kontak perdagangan tersebut, akhirnya masyarakat mengenal Islam.[1]
Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali.[2] Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.[3]
Walisongo sebagai jantung penyiaran Islam di Jawa. Ajaran-ajaran walisongo memiliki pengaruh yang sangat besar di kalangan masyarakat Jawa, bahkan kadangkala menyamai pengaruh raja. Masyarakat Jawa bahkan memberikan gelar sunan kepada walisongo. Kata sunan diambil dari kata susuhunan yang artinya,”yang dijunjung tinggi/ dijunjung di atas kepala,” gelar atau sebutan yang dipakai para raja. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, Walisongo memiliki nilai kekeramatan dan kemampuan-kemampuan diluar kelaziman. Walisongo merupakan Sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang penyiaranIslam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Sekalipun masih terdapat perbedaan pendapat tentang nama-nama walisongo. Namun yang lazim diakui sebagai walisongo sebagai berikut.
1.      Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
2.      Raden Rahmat atau Sunan Ampel
3.      Raden Maulana Makhdum Ibrahim
4.      Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga
5.      Raden Paku (Raden Ainul Yakin) atau Sunan Giri
6.      Raden Qosim Syarifuddin atau  Sunan Drajat Sedayu
7.      Raden Ja’far Sadiq atau Sunan Kudus
8.      Raden Said (Raden Prawoto) atau Sunan Muria
9.      Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Proses Islamisasi Jawa  adalah hasil perjuangan dan kerja keras para walisongo. Proses Islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai, nyaris tanpa konflik baik politik maupun cultural. Meskipun mendapat konflik, skalanya sangat kecil sehingga tidak mengesankan sebagai perang, kekerasan, ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut Islam dengan sukarela.
Kehadiran walisongo bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, karena Walisongo menerapakan metode dakwah yang akomodatif dan lentur. Kedatangan para wali ditengah-tengah masyarakat Jawa tidak dipandang sebagai sebuah ancaman. Para walisongo menggunakan unsure-unsur budaya lama (Hindu dan Budha) sebagai media dakwah. Dengan sabar sedikit walisongo memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke unsure-unsur lama yang sudah berkembang. Metode ini biasa disebut dengan metode  sinkretis.[4]

B.     Kontribusi Walisongo
Walisongo memiliki pendekatan yang khas dalam melakukan dakwah kepada khalayak. Mereka mampu memahami secara detail kondisi sosio-kurtural masyarakat Jawa. Terdapat beberapa bentuk budaya lama telah dimodifikasi para wali, misalnya:
1.      Sunan Kalijaga membolehkan pembakaran kemenyan. Semula pembakaran kemenyan menjadi sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetapi oleh Sunan Kalijaga fungsinya diubah sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa. Dengan suasana ruangan yang harum itu, diharapkan doa dapat dilaksanakan dengan lebih khusuk.
2.      Sunan Kudus melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. Larangan ini adalah bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat setempat yang sebelumnya yang masih kental dengan agama Hindunya. Dalam keyakinan Hindu, lembu termasuk binatang yang dikeramatkan dan suci.
3.      Para wali mengadopsi bentuk atap mesjid yang bersusun tiga, yang merupakan peninggalan tradisi lama (Hindu). Namun, para wali memberikan penafsiran baru terhadap bentuk atap susun tersebut. Bentuk atap itu merupakan melambangkan iman, Islam, dan ihsan.
Apa yang disebutkan merupakan beberapa contoh akomodasi yang dikembangkan oleh para wali dalam melaksanakan dakwah Islam di Jawa khususnya. Namun demikian sesungguhnya kontribusi walisongo dalam penyiaran Islam di Jawa sangat besar sesuai kapasitas personal yang dimilikinya.[5]

C.    Biografi Walisongo
1.      Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Pada akhir abad ke-14, Maulana Malik Ibrahim datang dan mendarat di pantai Jawa Timur yang disertai beberapa orang kawan dekatnya untuk selanjutnya bermukim di Gresik. Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad saw. dan saudara sepupu Raja Chermen (menurut sebagian pendapat Chermen berasal dari India, namun sebagian lagi menyebutnya dari Sumatera). Kehadiran Maulana Malik Ibrahim disertai Raja Chermen untuk mengislamkan Raja Majapahit. Kegiatan dakwah Islam di Jawa dipandang sukses ketika dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Malik Ibrahim pada awal dakwahnya menggunakan pendekatan kekeluargaan dengan menawarkan putrinya untuk diperistri Raja Majapahit. Upaya ini rupanya tidak berhasil, karena belum sampai tujuan, rombongan terkena serangan penyakit hingga banyak yang meninggal. Namun demikian tantangan ini rupanya tidak menyurutkan tekad Maulana Malik Ibrahim untuk berdakwah untuk mengislamkan kerajaan  Majapahit.
Pada langkah berikutnya Maulana Malik Ibrahim mengambil jalur pendidikan dengan mendirikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren adalah adaptasi dari bentuk pendidikan biara dan asrama yang lama dikembangkan pendeta atau biksu dalam agama Hindu dan Budha. Model ini dinamakan pesantren karena merupakan tempat belajar para santri. Konon kata santri diambil  dari kata shastri (bahasa India), yang berarti orang yang mengetahui dan memahami buku-buku suci agama Hindu.
Upaya pendidikan di pesantren oleh syekh Maulana Malik Ibrahim dimaksudkan untuk menampung dan menjawab permasalahan-permasalahan sosial keagamaan serta menghimpun santri. Usahanya ini tidak mengalami banyak kendala, karena Maulana Malik Ibrahim telah memiliki banyak pengikut yang setia serta pendanaan dari hasil usaha dagangnya. Dalam kegiatan sehari-hari Maulana Malik Ibrahim tidak segan-segan membawa para santri untuk bekerja di lahan pertanian seharian penuh. Kemudian Malam harinya, Wali yang juga terkenal dengan sunan Gresik ini mengajar santri dengan pelajaran-pelajaran dasar –dasar keislaman, khususnya Al-Qur’an dan Hadits. Karena kometmen dan konsistensinya dalam mendakwahkan Islam, Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai “Bapak Spiritual Walisongo”.
Dalam perjalanann hidupnya, Maulana Malik Ibrahim tetap bermukim di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya pada tanggal 12 Rabiulawal 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419 M. Maulana Malik Ibrahim akhinya lebih dikenang dengan panggilan Sunan Gresik, setelah meninggal beliau dimakamkan di Perkuburan Gapura Wetan, Gresik. Makamnya banyak diziarahi masyarakat Jawa hingga sekarang. Sunan Gresik dianggap sebagai penyiar Islam pertama di tanah Jawa.[6]
Maulana Malik Ibrahim dipanggil juga Syekh Magribi yang dalam Babad Tanah Jawi disebut Makdum Brahim Asmara. Maulana Malik Ibrahim merupakan wali tertua di antara walisongo yang menyiarkan Islam di Jawa Timur, khususnya di Gresik. Maulana Magribi datang ke Jawa tahun 1404 M. Beliau berasal dari Samarkandi di Asia Kecil. Dari Asia Kecil beliau bermukim dulu di Campa dan kemudian datang ke Jawa Timur. Kedatangan beliau jauh sesudah agama Islam masuk di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari batu nisan seorang wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 476 H. atau 1087M.[7]
Menurut Walisana, Mawlana Malik Ibrahim itulah mula-mula tetalering, nenek moyang pertama bagi wali-wali. Malik Ibrahim adalah ulama dari tanah Arab trah (keturunan) Raulullah dari cicit beliau Zainal ‘ Abidin bin Hasan bin ‘Ali. Dari anak cucu beliaulah lahir wali-wali di jawa, yaitu sunan Ampel, Sunan Gresik, dua orang putra beliau, sedangkan sunanMajagung ialah kemenakan iparnya. Adapun sunan Bonang, Sunan Drajat, adalah cucu-cucu beliau dari sunan Ampel. Sunan Kalijaga pun bisa sampai menjadi wali adalah berkat didikan dan asuhan dari cucu beliau yang bergelar Sunan Bonang. [8]
2)      Raden Rahmat atau Sunan Ampel (Campa, Aceh 1401 – Tuban Jawa Timur 1481)
Raden Rahmat adalah putra Sunan Gresik dari istrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Raden Rahmat sebagai penerus perjuangan ayahnya dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Untuk melancarkan misi dakwahnya pada tahap awal, Raden Rahmat membangun pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Pada pesantren yang diasuhnya Raden Rahmat mendidik kader-kader da'i yang kemudian disebar ke seluruh Jawa. Sunan Ampel telah mendidik murid-murid yang terkenal antara lain Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifudin (Sunan Drajat) yang tak lain keduanya adalah putra Sunan Ampel sendiri, Maulana Ishak (penyebar Islam di Blambangan), Raden Paku (Sunan Giri),   dan Raden Patah (Sultan Demak).
Raden Rahmat dikenal masyarakat dengan gelaran Sunan Ampel, Raden Rahmat dikenal sebagai negarawan, tokoh yang mempunyai gagasan dan perencana berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Menurut bukti sejarah Raden Rahmat sebagai orang yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai sultan pertama Kesultanan Demak Bintoro. Pada akhirnya kesultanan Demak Bintoro menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Kesultanan Demak Bintoro menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan. Masjid Masjid Demak didirikan pada tahun 1479 yang diprakarsai oleh Raden Rahmat bersama dengan para walisongo.
Raden Rahmat [Sunan Ampel] dikenal tegas dan radikal dalam menyampaikann ajaran Islam, khususnya dalam bidang akidah. Raden Rahmat sangat mengkhawatirkan adanya penyimpangan di bidang akidah akibat tradisi masyarakat Jawa, seperti kenduri, slametan, dan sesaji, yang berkembang di kalangan masyarakat. Sekalipun demikian Raden Rahmat tetap memiliki toleransi, sehingga atas pertimbangan wali lainnya tradisi itu tetap dibiarkan, sampai akhirnya pada suatu saat masyarakat mengerti dan menanggalkanya. Karena itu dalam praktiknya, para wali memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi-tradisi.
Raden Rahmat [Sunan Ampel] wafat pada tahun 1481. Beliau dimakamkan di Masjid Ampel, Surabaya. Sampai sekarang makan beliau banyak dikunjungi peziarah dari berbagaai derah diseluruh pelosok Nusantara.[9]
3)      Maulana Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, (Ampel Denta, Surabaya 1465 – Tuban 1525)
Maulana Makhdum Ibrahim adalah putra dari Sunan Ampel dari istri yang bernama Dewi Candrawati. Maulana Makhdum Ibrahim merupakan sepupu dari Sunan Kalijaga yang banyak dikenal sebagai pencipta gending  pertama.
Sebelum terjun dimedan Dakwah, Maulana Makhdum Ibrahim banyak belajar di Pasai, kemudian sekembalinya dari Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim mendirikan pesantren di daerah Tuban. Santri yang belajar pada pesantren Maulana Makhdum Ibrahim, berasal dari penjuru daerah di Tanah Air. Dalam menjalankan kegiatan dakwahnya Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] mempunyai keunikan dengan cara merubah nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat sebagaimana yang dikenal dalam Islam. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya persuasif terhadap penganut ajaran Hindu dan Budha yang telah lama dipeluk sebelumnya .
Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] sangat memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat yang telah berkembang. Pada masa itu masyarakat Jawa memiliki kegemaran terhadap seni pewayangan yang ceritanya diambil dari ajaran hindu dan budha. Melihat kenyataan yang ada, maka Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] memanfaatkan wayang sebagai media untuk menyampaikan dakwahnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali dan Sunan Bonang pada khususnya, berisi ajaran tauhid dan peribadatan. Setiap bait selalu diselingi dengan syahadatain (dua kalimat syahadat), sehingga kita sekarang mengenal gamelan sekaten, yang merupakan pengucapan masyarakat Jawa terhadap syahadatain. Salah satu tembang ciptaan Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] adalah tembang durma, sejenis macapat yang menggambarkan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah dalam kehidupan dunia yang fana.
Setelah ayah Maulana Makhdum Ibrahim wafat, ia mengadakan musyarawah dengan para wali untuk membahas estafet kepemimpinan di pesantren milik ayahnya. Hasil musyawarah para wali mempercayakan kepada Raden Fatah sebagai penerus kepemimpinan di pesantren Ampel Denta. Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, yang tak lain adalah putra raja Majapahit yang bernama Prabu Brawijaya V. Pada perjalanan selanjutnya, Raden Fatah diangkat dan dinobatkan menjadi sultan pertama kerajaan Demak.
Karya yang berupa catatan-catatan pengajaran Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dikenal dengan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Suluk atau primbon hasil karya Sunan Bonang berbentuk prosa dalam gaya Jawa Tengah dan penggunaan kalimat-kalimatnya banyak sekali  dipengaruhi bahasa Arab. Terdapat pula karya lainnya, yaitu Sekar Damarwulan, Primbon Bonang I dan II, dan Serat Wragul.  Karya-karya Maulana Makhdum Ibrahim ini antara lain bisa ditemui dipepustakaan Universitas Leiden, Belanda. Sunan Bonang meninggal pada tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban, daerah pesisir Utara Jawa yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.[10]
4)      Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga (Tuban akhir abad ke-14 - Demak pertengahan abad ke-15)
Raden Mas Syahid atau dikenal dengan panggilan Sunan Kalijaga, beliau juga dijuluki Syekh Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi bupati Tuban, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Sebutan Kalijaga menurut sebagian riwayat berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang artinya ‘pelaksana’ dan ‘membersihkan’. Menurut pendapat masyarakat Jawa memberikan arti kata qadizaka dengan Kalijaga, yang berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kesucian atau kebersihan.
Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan luas, berpikiran tajam, intelek, Cerdas, kreatif, Dinamis serta berasal dari suku Jawa asli. Dalam menyebarkan  misi dakwahnya, Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] tidak menetap di suatu daerah. Raden Mas Syahidsenantiasa berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, sehingga wilayah dakwah Sunan Kalijaga sangat luas. Raden Mas Syahid dianggap mampu menerapkan sistem dakwah yang cerdas dan aktual, banyak orang dari golongan bangsawan dan cendekiawan memberikan hormat dan simpati terhadapnya. Raden Mas Syahid mempunyai gaya dakwah yang mudah diterima sehingga Sunan Kalijaga dikenal dan dihormati juga oleh lapisan masyarakat awam. Metode dakwah yang diterapkan Sunan Kalijaga bisa dengan mudah diterima oleh semua kalangan masyarakar, mulai rakyat bawah hingga kalangan atas bahkan para penguasa.
Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] juga terkenal sebagai seorang negarawan dan menjadi arsitek sistem pemerintahan Jawa. Sistem kabupaten yang berkembang pada masa sekarang dan telah diterapkan secara nasional sebagai wujud gagasan Sunan Kalijaga. Raden Mas Syahid memiliki pengaruh yang besar dalam kesultanan Demak Bintoro. Raden Fatah sangat menghormati berbagai nasihat dan petunjuk Sunan Kalijaga. Dalam struktur pemerintahan Demak, di samping sebagai ulama dan Da'i Sunan Kalijaga juga menjadi penasihat pribadi Sultan. Dan Atas jasa-jasanya, Raden Fatah sebagai Sultan Demak memberi hadiah sebidang tanah di sebelah tenggara Demak sebagai desa perdikan (bebas pajak), yang persembahkan bagi ahli waris dan keturunan Raden Mas Syahid.
Raden Mas Syahid sebagai orang yang paling berjasa  menggunakan pendekatan kultural dalam berdakwah, termasuk di antaranya wayang dan gamelan sebagai media dakwah. Sunan Kalijaga mengarang berbagai cerita wayang yang islami, khususnya yang bertemakan akhlak atau budi pekerti. Hobi masyarakat Jawa terhadap wayang dapat dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai media menyebarkan dakwah Islam.
Disamping itu Sunan Kalijaga juga terkenal sebagai seniman dan amat berjasa dalam seni suara, seni ukur,  kesusastraan seni busana, dan seni pahat. Salah satu hasil karya Sunan Kalijaga adalah dalam seni batik, corak batik yang diberi motif burung merupakan buah karya Sunan Kalijaga. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu Artinya jagalah dan qila artinya diucapkan dan bila digabungkan maka maksudnya adalah “peliharalah upacanmu sebaik-baiknya”, yang menjadi salah satu ajaran etnik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid ) meninggal pada pertengahan abad ke-15 dan makamnya ada  di desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
5)      Raden Paku atau Sunan Giri, (Blambangan, pertengahan abad ke-15 awal abad ke-16)
Raden Paku adalah putra dari Syekh Maulana Ishak (murid Sunan Ampel). Raden Paku dan dikenal dengan sebutan Sunan Giri adalah saudara ipar dari Raden Fatah, dikarenakan istri mereka bersaudara.
Pada saat ayah Raden Paku mengembara untuk memperdalam ilmu di Pasai, Raden Paku di bawah asuahan seorang wanita kaya raya yang bernama Nyai Gede Maloka atau Nyai Ageng Tandes. Setelah Menginjak dewasa, Raden Paku menimba ilmu di Pesantren Ampel Denta (Surabaya) milik Sunan Ampel . Di sini ia bertemu dan bertaman baik dengan putra Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Raden Paku [Sunan Giri] mendirikan pesantren di daerah Giri sebagai basis dalam menyebarkan dakwah Islam. Dan Mayoritas Santrinya yang diasuh berasal dari masyarakat golongan ekonomi tidak mampu. Dari pesantren milik Sunan Giri ini lahir da'i-da'i yang kemudian mereka menyiarkan agama Islam ke luar Pulau Jawa, seperti Madura, Ternate, Bawean, Kangean, dan Tidore. Kemudian dari hasil usaha santri menyiarkan Islam inilah, pesantren Sunan Giri dikenal luas oleh masyarakat di Tanah Air.
Raden Paku [Sunan Giri] terkenal sebagai seorang pendidik yang mampu menerapkan metode permainan yang bersifat agamis. Karya- karyanya berupa permainan atau tembang di antaranya Gula Ganti, Jamuran, Jelungan, Jor, Ilir-ilir, dan Cublak-cublak Suweng. Karya yang lain yaitu Kitab Serat Wali Sana dan Serat Widyapradana, berisi pengetahuan ilmu faal yang kemudian dikembangkan oleh R. Ranggawarsita. Sunan Giri juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak. Berbagai masalah atau keputusan penting sering  menunggu pertimbangan Sunan Giri.
Pada saat Sunan Giri hendak melaksanakan ibadah haji bersama Sunan Bonang, keduanya menyempatkan singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu keimanan dan tasawuf. Pada sebuah kisah diceritakan bahwa Raden Paku bisa mencapai tingkatan ilmu laduni. Dengan Prestasi yang dicapainya inilah, Raden Paku juga terkenal dengan panggilan Raden ‘Ainul Yaqin. Sunan Giri meninggal sekitar awal abad ke-16, makam beliau ada di Bukit Giri, Gresik, sampai sekarag makamnya banyak diziarahi masyarakat dari berbagai penjuru.[11]
6)      Raden Kosim atau Syarifuddin atau Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, 1470 – Sedayu, Gresik, pertengahan abad ke-16)
Raden Kosim atau Syarifuddin lebih dikenal dengan panggilan Sunan Drajat. Masyarakat mengenalnya juga sebagai Sunan Sedayu, karena ia dimakamkan di dekat Kota Sedayu ( kuarang lebih 30 Km dari Sedayu). Raden Kosim adalah putra Sunan ampel dari istri kedua yang bernama Dewi Candrawati. Raden Kosim mempunyai enam saudara seayah-seibu, diantaranya Siti Syareat (istri R. Usman Haji), Siti Mutma’innah (istri R. Muhsin), Siti Sofiah (istri R. Ahmad, Sunan Malaka) dan Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Di samping itu, ia mempunyai dua orang saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri R. Fatah) dan Dewi Murtasimah (istri R. Paku atau Sunan Giri). Sedangkan istri Sunan Drajat, yaitu Dewi Sifiyah putri Sunan Gunung Jati.
Raden Kosim [Sunan Drajat] mempunyai andil berdakwah dengan pendekatan kultural. Ia menciptakan tembang Jawa yang sampai sekarang  ini masih banyak disenangi masyarakat, yaitu tembang Pangkur, dan Cariosipun Jaka Pertaka.
Raden Kosim memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Sunan Drajat lebih mengedepankan tema-tema kepedulian sosial dan kegotongroyongan dalam aktifitas berdakwah. Raden Kosim senantiasa memberikan teladan dengan memberi pertolongan kepada kaum lemah. Sunan Drajat sangat memahami bahwa menyantuni anak yatim dan fakir miskin merupakan sebuah kewajiban yang diperintahkan.[12]
Sunan Drajat adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati atau yang juga dikenal sebagai Nyai Ageng Manila. Tetapi menurut Widji Saksono, Sunan Drajat yang nama kecilnya Masaih Munad atau Mahmud itu adalah anak Raden Rahmat dengan istri kedua, yaitu Raden Qasim atau Kasim, Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syaripudin, Pangeran Drajat, dan Masaih Munad.[13]
7)      Ja’far Sadiq atau Sunan Kudus, (abad ke-15 – Kudus 1550)
Ja’far Sadiqatau Raden Undung, dikenal dengan panggilan Sunan Kudus, beliau juga dijuluki Raden Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pimpinan Jama’ah Haji (Amir).. Dikenal sebagai seorang pujangga yang luas dan mendalam ilmunya.
Ja’far Sadiq[Sunan Kudus] adalah putra Raden Usman Haji yang menyebarkan agama Islam di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Menurut silsilah Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad saw. Dengan silsilah lengkap sebagai berikut: Ja’far Sadiq bin R. Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim al-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali ra.
Ja’far Sadiq [Sunan Kudus] mendapat julukan wali al-‘ilmi, karena sangat menguasai ilmu-ilmu agama, terutama tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, serta logika. Para santri yang diasuhnya datang dari penjuru pelosok di tanah air untuk menuntut ilmu di pesantrennya. Sunan Kudus menyebarkan dakwahnya di daerah Kudus dan sekitarnya.
Sunan Kudus juga dipercaya sebagai panglima perang Kesultanan Demak. Ia mendapat kepercaan untuk  mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan (bupati) sekaligus pemimpin agama.
Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Pada saat berada di Baitul Maqdis, ia berjasa memberantas penyakit yang banyak menelan korban. Berkat jasanya, Sunan Kudus diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina. Namun ia  mengharapkan hadiah tersebut dikirim ke Jawa. Oleh amir (penguasa setempat), permintaan itu dikabulkan. Setelah pulang ke Jawa, ia mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549. Masjid inilah yang sampai sekarang terkenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Kemudian Sunan Kudus mengganti nama daerah sekitar masjid menjadi Kudus, yang diambil dari nama sebuah kota di Palestina, yaitu Al-Quds.
Ja’far Sadiq [Sunan Kudus] dalam melaksanakan dakwah menggunakan pendekatan budaya, beliau juga memainkan peran sebagai sosok pujangga yang menciptakan berbagai lagu dan cerita keagamaan. Karyanya yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus meninggal di Kudus pada tahun 1550, makamnya berada di dalam kompleks Masjid Menara Kudus dan banyak diziarahi oleh kaum Muslimin dari dari berbagai penjuru di tanah Air.[14]
8)      Raden Umar Said atau Sunan Muria (abad ke-15 – abad ke-16)
Raden Umar Saiddikenal dengan panggilan Sunan Muria, sebab pusat kegiatan dakwah ataupun makamnya terletak di Gunung Muria (sekitar 18 km sebelah utara Kota Kudus). Beliau adalah putra Sunan Kalijaga, semasa kecil ia biasa dipanggil R. Prawoto.
Di dalam berdakwah Sunan Muria memiliki keunikan yaitu menjadikan desa-desa terpencil sebagai medan dakwah Islamnya. Sunan Muria dikenal sebagai wali yang lebih gemar menyendiri, bertempat tinggal di desa terpencil, dan bergaul dengan rakyat kebanyakan. Sunan Muria memberikan pengajaran kepada masyarakat di sekitar Gunung Muria dengan mengadakan kursus-kursus bagi para pedagang, nelayan, ataupun elemen masyarakat kecil lainnya.
Sunan Muria juga merupakan pendukung setia Kesultanan Demak dan ikut andil dalam pendirian Masjid Demak. Beliau memiliki karya tulis yang masih digemari hingga saat ini, yaitu tembang sinom dan kinanti. Dalam sejarah tidak diketahui secara persis tahun meninggalnya dan Menurut perkiraan, Sunan Muria meninggal pada abad ke-16 dan dimakamkan di Bukit Muria, Kudus.
9)      Syarif Hidayatullah atau Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, (wafat: Gunung Jati, Cirebon, 1570)
Syarif Hidayatullah atau Fatahillah dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Beliau adalah salah seorang dari Walisongo yang banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Barat. Syarif Hidayatullah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten.
Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Sadjarah Banten menyatakan kedua nama yaitu Fatahillah dan Nurullah merupakan nama satu orang. Nama aslinya adalah Nurullah, kemudian dikenal juga dengan nama Syekh Ibnu Maulana. Laporan-laporan perjalanan orang Portugis mengenal dengan nama Falatehan atau Tagaril.
Nurullah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai. Penguasaan Portugis atas Malaka pada 1511 dan akhirnya Pasai pada tahun 1521 membuat Nurullah tidak tinggal lama di Pasai. Dia segera berangkat ke Mekah untuk  melaksanakan ibadah haji. Setelah kembali dari Tanah Suci pada tahun 1524, lalu langsung menuju Demak dan memperistri  adik Sultan Trenggana.
Dengan mendapat dukungan dari Sultan Trenggana, Nurullah berangkat ke Banten untuk mendirikan sebuah permukiman muslim. Kemudian dari Banten, Nurullah melebarkan pengaruhnya ke daerah  Sunda Kelapa. Di sini, pada tahun 1526 dia berhasil mengusir bangsa  Portugis yang hendak mengadakan kerja sama dengan Raja Pajajaran. Berkat kemenangannya ini, Nurullah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Di Banten, ia meninggalkan anaknya yang bernama Hasanuddin, untuk memimpin Banten. Dan Hasanuddin inilah yang dalam sejarah diakui sebagai raja pertama Kerajaan Banten.
Sunan Gunung Jati meninggal di Cirebon pada tahun 1570 dan usianya diperkiran sekitar 80 tahun. Makamnya terdapat di kompleks pemakaman Wukir Sapta Pangga di Gunung Jati, Desa Astana Cirebon, Jawa Barat.[15]

D.    Teladan Spiritual dan Intelektual
Walisongo telah menunjukan peranan yang sangat berharga dalam menyiarkan Islam di tanah jawa. Melihat keberhasilan dakwah walisongo, maka sebagai generasi muda Islam, harus dapat meneladani kepribadianya diantaranya melalui:
1.      Sebagai generasi muda harus senantiasa mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt., karena hal itu adalah modal yang paling utama yang harus dimiliki.
2.      Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan generasi muda untuk memperdalam penguasaan ilmu, baik ilmu agama maupun pengetahuan lainnya, sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi diri sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
3.      Unutuk mendapatkan kemuliaan dihari esok, maka generasi muda harus bersedia berjuang dalam rangka meninggikan agama Allah, sesuai bidang yang ditekuninya.
4.      Mengembangkan jalinan silaturahmi dengan cara-cara yang bijaksana, sehingga akan melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5.      Diperlukan keahlian untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan dengan menggunakan cara-cara yang cerdas dan simpatik, sehingga mudah diterima orang lain yang menjadi sasaran dakwah.
Dalam setiap situasi dan keadaan senantiasa menunjukkan kepribadian yang luhur serta menghindarkan diri dari sifat-sifat yang kurang terpuji. Demikian beberapa sikap yang dapat diungkapkan, sebagai upaya meneladani kepribadian dan perjuangan Walisongo. Wujudkan sikap-sikap tersebut dalam diri dan kepribadianmu.[16]
BAB III
TELAAH MATERI

A.    Telaah Substansi
Substansi yang telah ada sudah cukup lengkap, namun belum ditemukannya pengertian wali dan sunan, padahal banyak sekali membahas tentang itu. Pada buku Metode Da’wah Wali Songo  karangan Nur Amin Fattah Kami menemukan pengertian Wali dan Sunan yakni sebagai berikut.
1.      Pengertian Wali
Perkataan wali berasal dari bahasa Arab. Jamaknya Auliya’ yang berarti orang-orang yang tercinta, para penolong, para pembantu dan juga berarti para pemimpin.
a.       Pengertian wali menurut Al-Qur’an (Q.S. 10 Yunus : 62-63-64)
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak  (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.”
Jadi yang dimaksud waliyullah (wali Allah) dalam ayat tersebut di atas adalah orang-orang yang selalu bertaqwa kepada Allah dan mereka tidak mempunyai rasa takut dan bersusah hati.
b.      Pengertian wali menurut hadist nabi.
“Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW berkata, Allah SWT berfirman : Barang siapa memusuhi waliku, maka Aku umumkan perang kepadanya dengan Ku atau sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya dan selalulah hambaku mendekatkan dirinya kepadaKU dengan mengerjakan amalan-amalan sunahnya sehingga Aku mencintainya Maka apabila Aku telah mencintainya Akulah yang akan menjadi pendengarnya yang dengan itu ia mendengar dan penglihatannya yang dengan itu ia melihat dan tangannya yang dengan itu ia memukul dan kakinya yang dengan itu ia berjalan”       (H. Bukhari)
Pengertian wali menurut hadist tersebut ialah orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan apa saja yang diwajibkan kepadanya dan juga selalu melakukan amalan yang sunnah. Dan juga berarti wali adalah orang yang dikasihi oleh Allah (kekasih Allah).[17]
2.      Pengertian Sunan
Para mubaligh Islam pertama-tama menyiarkan dan menyebarkan agama Islam di nusa Jawa yang terkenal dengan sebutan “Wali Songo” itu juga mendapat sebutan atau panggilan “Sunan” di awal namanya. Bahkan sampai sekarang ini, orang lebih terbiasa mengucapkan Sunan dari pada kata wali. Umpanya : Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dll.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata sunan itu berasal dari bahasa Tionghoa “Hokkian-suhunan”, yang berarti pujangga yang disebabkan karena ilmunya.
Sementara beberapa ahli berpendapat kata sunan itu berasal dari kata sesuhunan artinya orang yang diminta, dan ada juga yang berpendapat bahwa kata sunan itu bersal dari bahasa Arab “Sunanun” artinya beberapa sunnah, yang maksudnya orang yang suka mengerjakan perbuatan-perbuatan sunnah.
Jadi kata sunan itu adalah suatu nama atau gelar yang diberikan oleh orang lain ketika para wali itu masih hidup, bukan setelah mati. Sebab para wali itu disuhun atau diminta sesorang bukan hanya keramatnya saja setelah ia meninggal dunia justru malah lebih banyak diminta petunjuknya sewaktu mereka masih hidup, karena mereka itu adalah seorang da’i, yang mengajak manusia ke jalan yang benar.
Konon yang pertama-tama memberi gelar sunan kepada para wali songo itu adalah Raden Patah raja Demak yang pertama Sedangkan ketika Raden Patah memerintah kerajaan Demak Bintoro, para wali itu kebanyakan masih hidup, bahkan yang menobatkan raden Patah jadi Raja di Bintoro Demak adalah para wali itu sendiri. Jadi seolah-olah ada hubungan timbal balik dalam hal memberikan penghormatan.
Sehingga perlu kita ingat bahwa sesungguhnya gelar Sunan itu adalah bukan suatu gelar jabatan, sebagaimana sultan atau raja dan ratu, namun itu merupakan gelar penghormatan.[18]
B.     Telaah Formatif
1.      Standar Kompetensi
Standar Kompetensi pada materi SKI Kelas XII Semester 2 (Genap) ini yakni “Memahami Perkembangan Islam di Indonesia” SK ini sudah sangat sesuai dengan keadaan siswa yang mana sudah berada pada jenjang yang cukup tinggi yakni MA Kelas XII, yang mana siswa sudah cukup mampu untuk memahami materi tersebut karena sudah pernah belajar sebelumnya pada jenjang MI maupun MTs.
2.      Kompetensi Dasar
·         Menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia
·         Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berpartisipasi dalam perkembngan islam diindonesia
·         Mengambil ibrah dari peristiwa perkembangan islam diindonesia
·         Meneladani tokoh-tokoh yang berpartisipasi dalam perkembangan Islam di Indonesia
KD yang ingin dicapai diatas sudah sesuai dengan SK yang telah ada. Dan pada materi Peran Walisongo ini
3.      Alokasi Waktu
Alokasi waktu yang digunakan yakni 2 jam pelajaran (2 x 45 menit), jika dilihat dari materi yang akan diajarkan dengan alokasi waktu yang telah ditentukan maka sangat kurang efektif apabila materi tersebut habis dalam satu kali pertemuan dan akan lebih efektif materi tersebut dihabiskan dalam dua kali pertemuan. Sehingga siswa dapat benar-benar memahami materi Peran Walisongo.
4.      Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam penulisan materi SKI ini sudah cukup mudah dipahami oleh siswa kelas XII, meskipun ada kata ilmiah atau bahasa jawa yang digunakan tetapi ada penjelasan selanjutnya. Contoh pada kalimat “Dengan sabar sedikit walisongo memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke unsure-unsur lama yang sudah berkembang. Metode ini biasa disebut dengan metode  sinkretis.
5.      Model Pembelajaran
Menurut kami model pembelajaran yang dapat digunakan pada materi ini adalah model,
·         Jigsaw (pembelajaran kelompok)
·         Direc Instruction (DI)/ ekspositori (pembelajaran Langsung)
Hal ini karena selain sejarah bisa di ceritkan oleh seorang guru juga sangat efektif menggunakan pembelajaran kelompok.

6.      Metode Pembelajaran
Menurut kami metode pembelajaran yang dapat digunakan pada materi ini adalah metode,
·         Pengamatan
·         Inquiri
·         Diskusi kelompok
·         Karya Wisata
7.      Media Pembelajaran
Menurut kami media pembelajaran yang dapat digunakan pada materi ini adalah media,
·         LCD
·         Laptop
·         DVD
8.      Evaluasi
Soal evaluasi yang terdapat pada modul sudah cukup sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai dan sudah sesuai dengan materi atau isi modul.


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Mereka tinggal di pantai uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradapan baru : mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu – Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan tentang masuknya Islam ke Jawa dan peran para Walisongo. Kami sarankan agar pembaca mencari referensi lain untuk menambah wawasan Anda. Kami mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik dalam segi tulisan, tanda baca, maupun kesalahan lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Budiono Hadi Sutrisno, 2009, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, Yogyakarta: GRAHA Pustaka.
Hasanu Simon, 2008, Misteri Syekh Siti Jenar Peran Wali Songo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Modul, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII.
Nur Amin Fattah, 1997, Metode Da’wah Wali Songo, Pekalongan, C.V.Bahagia. Cet. VI.
Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, 1999, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Saifullah, 2010, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widji Saksono, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung : Mizan Anggota IKAPI.



[1] Modul. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII, hal. 38.
[2] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.21- 22.
[3] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), hal. 16
[4] Modul, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII, hal. 38-39.
[5] Ibid, hal.39
[6] Ibid, hal.39-40.
[7]Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar
Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal.24
[8]Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung : Mizan Anggota IKAPI, 1995), hal-24
[9] Modul, hal.40-41.
[10] Ibid, hal.41.
[11] Ibid, hal.41-42.
[12] Ibid, hal.43-44
[13]Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar Peran Wali Songo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2008), hal.231-232
[14] Ibid, hal.44-45.
[15] Ibid, hal.45.
[16] Ibid.
[17] Nur Amin Fattah, Metode Da’wah Wali Songo,(Pekalongan, C.V.Bahagia. Cet. VI, 1997) hal. 19-20
[18] Ibid, hal. 25-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar